Mohon tunggu...
Agung Dwi Laksono
Agung Dwi Laksono Mohon Tunggu... peneliti -

Seorang lelaki penjelajah yang kebanyakan gaya. Masih terus belajar menjadi humanis. Mengamati tanpa menghakimi. Mengalir saja...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Terlalu Dini Bokondini; Catatan Perjalanan ke Kabupaten Tolikara

9 Mei 2016   10:27 Diperbarui: 17 Mei 2016   08:05 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 2. Landasan Pacu Bandara Bokondini; Sumber: Dokumentasi Peneliti

Distrik Bokondini, Tolikara, 14 Mei 2015

Perjalanan kali ini masih dalam rangkaian supervisi kegiatan Riset Ethnografi Kesehatan Tahun 2015. Kali ini saya harus kembali menempuh perjalanan ke wilayah Pegunungan Tengah Papua, tepatnya di Distrik Bokondini Kabupaten Tolikara.

Kabupaten Tolikara pada tahun 2014 memiliki luas wilayah daratan yang mencapai 14.263km2. Kabupaten yang beribu kota di Karubaga ini terbagi menjadi 46 kecamatan atau distrik, 541 desa dan empat kelurahan. Kabupaten yang memiliki jumlah penduduk sebanyak 292.009 jiwa (data tahun 2013) ini berbatasan dengan Kabupaten Mamberamo Raya di sebelah Utara, Kabupaten Jayawijaya dan Kabupaten Lany Jaya di sebelah Selatan, Kabupaten Puncak Jaya di sebelah Barat dan Kabupaten Mamberamo Tengah di sebelah Timur (Profil Kabupaten Tolikara Tahun 2014).

Kabupaten Tolikara merupakan kabupaten peringkat 497 dari 497 kabupaten/kota dalam pemeringkatan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) yang didasarkan pada hasil survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilaksanakan pada tahun yang sama. Survei Riskesdas ini dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Indikator pembangun IPKM terdiri dari 30 indikator. Hampir di semua indikator Tolikara mempunyai angka yang kurang bagus, kalau saya tidak boleh mengatakan jelek.

Dalam riset ethnografi kesehatan kali ini kami me’nanam’ dua peneliti untuk grounded di sana, seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat, dan seorang lagi anthropolog. Setidaknya sampai 40 hari mereka menetap dan berbaur dengan masyarakat setempat di Distrik Bokondini.

Perjalanan menuju Distrik Bokondini dari Wamena ditempuh dengan menggunakan mobil double gardan, karena mobil carteran biasa macam avanza atau xenia tak akan mampu menembus sampai ke sana. Semacam off road yang sebentar saja, tiga jam, tidak selama perjalanan off road tahun lalu saat saya harus grounded di Boven Digoel selama dua bulan.

Selain jalur darat, Distrik Bokondini juga bisa ditembus melalui jalur udara. Sudah ada bandara dengan landasan yang cukup bagus, hot mix! Hanya saja tidak tersedia pesawat reguler yang mendarat di bandara yang berkode penerbangan BOE ini. Pesawat yang sering mendarat di bandara ini adalah jenis pesawat carter dari maskapai MAF (Mission Aviation Fellowship) dan Susi Air. Harga sekali carter pesawat rata-rata mencapai Rp. 25 juta.

Gambar 2. Landasan Pacu Bandara Bokondini; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 2. Landasan Pacu Bandara Bokondini; Sumber: Dokumentasi Peneliti
TENTANG BOKONDINI

Distrik Bokondini dihuni masyarakat asli yang didominasi oleh suku Lany. Hanya sebagian kecil saja masyarakat yang bersuku lain, yang pada umumnya adalah para pendatang. Distrik Bokondini sebelumnya bernama Bogondini sejak sebelum zaman kolonial. Sebuah nama yang merujuk pada sungai deras yang melintasi wilayah Pegunungan Tengah berhawa dingin ini, Sungai Bogo.

Gambar 3. Sungai Bogo; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 3. Sungai Bogo; Sumber: Dokumentasi Peneliti

Memasuki wilayah Distrik Bokondini saat pagi seperti mendapati suatu lokasi yang penuh dengan aura magis. Bagaimana tidak? Halimun tebal tak pernah absen menyelimuti wilayah ini di saat pagi hari. Bahkan matahari pun seperti tak bernyali. Setidaknya sampai menjelang siang, sekitar jam 10 pagi.

Gambar 4. Suatu Pagi di Kota Bokondini; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 4. Suatu Pagi di Kota Bokondini; Sumber: Dokumentasi Peneliti

Distrik Bokondini mempunyai kondisi yang hampir sama dengan distrik-distrik lain di wilayah Pegunungan Tengah yang sepi dan minim fasilitas. “Kota Bokondini”, demikian warga yang tinggal di wilayah ini menyebut wilayahnya. Sebuah harapan yang sangat tinggi digantungkan untuk masa depan.

Gambar 5. Berjalan-jalan di Tengah Kota Bokondini; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 5. Berjalan-jalan di Tengah Kota Bokondini; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 6. Sudut Lain Kota Bokondini; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 6. Sudut Lain Kota Bokondini; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Pada saat ini, suku Lany di Bokondini sudah mulai meninggalkan honai sebagai model rumah tinggal. Mereka memodifikasi bentuk honai dengan bahan-bahan yang lebih modern produksi pabrik. Mereka menyebut honai modifikasi ini sebagai “honai semi modern”. Beberapa honai yang masih tersisa rata-rata sudah berumur cukup tua. Sementara generasi yang lahir belakangan lebih memilih rumah papan sebagai pilihan model rumah tinggal yang baru.

Gambar 7. Honai (Kiri); Honai Semi Modern (Kanan Atas); dan Rumah Papan (Kanan Bawah); Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 7. Honai (Kiri); Honai Semi Modern (Kanan Atas); dan Rumah Papan (Kanan Bawah); Sumber: Dokumentasi Peneliti
KONDISI PEREKONOMIAN

Hampir seluruh masyarakat asli bermata pencaharian menjadi petani kebun. Nanas Bokondini merupakan salah satu buah ikonik wilayah ini yang terkenal sangat manis. Di sini lain, buah manis lainnya, Markisa, juga tersedia melimpah. Markisa dijual seharga Rp. 5.000,- per ikat, yang berisi sekitar 5 biji. Sementara nanas yang berukuran besar dijual seharga Rp. 10.000,- per bijinya. Komoditas hasil kebun lain hampir sama dengan hasil di wilayah Pegunungan Tengah lainnya, yang terdiri dari singkong atau kasbi, ketela atauipere atau batatas, talas, jahe, pisang, dan buah merah.

Gambar 8. Menawar Markisa; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 8. Menawar Markisa; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Masyarakat Bokondini membuka lahan baru yang akan dijadikan kebun dengan cara yang masih sangat tradisional, dibakar. Mereka membakar di beberapa lokasi yang cenderung tidak terlalu rapat dengan tanaman keras, hanya perdu-perduan dan rumput liar. Meski tetap juga terkadang merasa cukup miris, masih terselip ketakutan, api akan merambat menjilat pepohonan yang lebih luas dari yang direncanakan.

Gambar 9. Pembukaan Lahan Baru dengan Membakar; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 9. Pembukaan Lahan Baru dengan Membakar; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Di pasar Kota Bokondini, pedagang hasil kebun dan sayur mayur seratus persen dikuasai oleh warga asli, masyarakat pendatang dilarang berjualan komoditas tersebut. Para pendatang, yang umumnya dari Toraja dan Bugis, boleh berjualan komoditas lainnya di kios-kios di sekeliling pasar, kebanyakan adalah komoditas hasil pabrikan. Pasar Bokondini dibuka tiga kali dalam seminggu, yaitu Selasa, Kamis dan Sabtu. Pasar biasa ramai pada pagi hari sampai dengan sekitar pukul 10.00 WIT.

Gambar 10. Pasar Bokondini; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 10. Pasar Bokondini; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Sebagai gambaran kondisi perekonomian di wilayah ini, harga bensin, solar dan minyak tanah cenderung sama di wilayah ini, sebesar Rp. 25.000,- per liter. Harga air mineral 600 ml merek Aqua Rp. 15.000,-, sementara air mineral merek lain Rp.10.000,-. Sebagai pembanding, pada tahun 2012 di Oksibil (ibukota Kabupaten Pegunungan Bintang, salah satu kabupaten di wilayah Pegunungan Tengah yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini), harga air mineral 600 ml merek Aqua sudah mencapai harga Rp. 15.000,- per botol. Sementara kemasan botol yang 1,5 liter dijual seharga Rp. 45.000,-. Jauh lebih mahal daripada harga solar per liter yang hanya seharga Rp. 35.000,-.

BERITA PEMEKARAN

Meski demikian, harapan tak pernah putus, saat ini para tokoh masyarakat Bokondini sedang mempersiapkan pemekaran wilayah. Bokondini akan melepaskan diri dari Kabupaten Tolikara, berdiri sendiri menjadi sebuah kabupaten tersendiri, Kabupaten Bogoga, dengan ibukota Kota Bokondini.

Gambar 11. Kantor Bupati Persiapan Kabupaten Bogoga; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 11. Kantor Bupati Persiapan Kabupaten Bogoga; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Euforia pemekaran ini sangat terasa di Bokondini. Para pemuda berlomba-lomba ikut kursus komputer,“…nanti saya bisa jadi anggota DPR to!” celetuk salah seorang di antaranya. Sementara beberapa yang dewasa lainnya menjamu mewah saat tim yang mengupayakan pemekaran datang berkunjung ke Bokondini. Menyembelih babi seperti menjadi sebuah keharusan saat menjamu tim ini, “Saya dijanjikan menjadi kepala desa pak…”

AKSESIBILITAS PELAYANAN KESEHATAN

Pada saat ini telah ada satu Puskesmas yang berdiri di Distrik Bokondini, Puskesmas Bokondini. Puskesmas yang dikepalai oleh seorang putri daerah ini merupakan Puskesmas perawatan dengan kapasitas tiga tempat tidur. Menurut keterangan dokter Pobi Karmendra (27 tahun), Puskesmas Bokondini merupakan salah satu Puskesmas percontohan di Kabupaten Tolikara. 

Lebih lanjut dokter PTT asal Padang Minangkabau yang masa baktinya habis pada tahun 2015 ini menjelaskan bahwa pada saat ini kondisi pelayanan kesehatan di Distrik Bokondini sudah jauh lebih bagus daripada sebelumnya. “Sejak dipimpin oleh Ona Pagawak, SKM ada perubahan pak. Mama Ona lebih transparan, membuat suasana kerja di Puskesmas lebih kondusif, semua dibicarakan secara terbuka…” jelas dokter Pobi.

Gambar 12. Puskesmas Bokondini; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 12. Puskesmas Bokondini; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Puskesmas yang baru pindah ke gedung baru pada tahun 2014 ini menurut pengakuan para petugas setidaknya melayani empat distrik. “Iya pak, kami melayani empat distrik. Bokondini, Bewani, Kanero dan Kamboneri. Meski kadang masyarakat di Kamboneri lebih memilih berobat di Puskesmas Mamberamo Tengah…,” kilah Habibi Mahmud (23 tahun), perawat kontrak asal Palopo yang bertugas di Puskesmas Bokondini.

Empat distrik! Suatu hal yang mustahil! Distrik adalah sebutan lain dari “kecamatan” di pemerintahan daerah di Jawa, tentu saja dengan paparan wilayah yang lebih luas dan lebih ektrem di Papua. Dalam satu distrik saja seringkali masyarakat cukup sulit untuk mencapai Puskesmas sebagai akibat topografi wilayah Bokondini yang bergunung-gunung. Empat distrik??? bener-bener pusing pala barbie.

Setidaknya ada dua Puskemas Pembantu (Pustu) yang menjadi kepanjangan Puskesmas Bokondini.“Ooo… Pustu ya pak? Ada dua Pustu, tapi… petugasnya gak pernah ada pak…,”terang Habibi. Sejatinya menurut catatan kepegawaian, Puskesmas Bokondini memiliki 26 petugas. Tetapi pada hari Rabu, tanggal 13 Mei 2015 saya mendapati hanya 9 orang petugas saja yang ada diPuskesmas. Semoga mereka sedang dinas luar atau kunjungan lapangan. Semoga.

Untuk pelayanan balita Puskesmas Bokondini menyelenggarakan satu Posyandu saja untuk seluruh wilayah kerjanya pada setiap bulannya. Posyandu yang diselenggarakan di Puskesmas Bokondini ini dilaksanakan pada minggu ke-dua yang dibuka menyesuaikan dengan hari pasaran. Pada pelaksanaan Posyandu terakhir minggu lalu setidaknya ada 30 balita yang datang dan berkunjung. 

Pelayanan Posyandu mencakup timbang badan dan pemberian vaksin. Tidak ada Pemberian Makanan Tambahan (PMT) seperti pelaksanaan Posyandu di tempat lain. Menurut pengamatan saya, balita di Bokondini cenderung stunting (pendek), meski saya tidak bisa mengonfirmasi hal ini karena pencatatan pada KMS yang kurang baik. Tidak ada pengukuran tinggi badan, dan seringkali tanggal lahir dibiarkan kosong tak terisi.

Dalam pelaksanaannya, Posyandu dimobilisasi oleh kader kesehatan untuk menggerakkan masyarakat yang mempunyai balita. Sementara seluruh pelaksanaan Posyandu lainnya dilayani oleh petugas kesehatan. para kader kesehatan ini setiap bulan mendapatkan honor yang lumayan, Rp. 500.000,- setiap bulannya. Angka ini cukup fantastis dibandingkan dengan rekan-rekannya di Jawa yang setahu saya berada pada kisaran Rp. 15.000,- sampai dengan Rp. 50.000,- setiap bulannya.

Untuk memperluas jangkauan pelayanan, menurut dokter Pobi, Puskesmas juga melatih para kader untuk dapat memberikan terapi pengobatan. Perawat Puskesmas, Habibi, menambahkan bahwa hanya dipilih beberapa kader yang dinilai cakap dan pintar untuk dapat memberikan layanan pengobatan tersebut. Ahh… kita tidak sedang membahas UU Praktek Kedokteran dalam diskusi kali ini.

Kondisi yang sangat memprihatinkan pada saat ini adalah kenyataan bahwa pada tahun 2015 ini, sejak Januari sampai dengan saat ini ada 46 orang penderita baru HIV/AIDS yang diketemukan lewat skrining di Puskesmas Bokondini. Sementara jenis penyakit menular seksual lainnya juga diketemukan berbanding lurus dengan penderita HIV/AIDS tersebut. 

Rupanya praktek seks bebas di masyarakat turut mempercepat persebaran penyakit yang lekat dengan stigma ini. “Itu pak… masyarakat di sini itu suka itu… apa… ‘tukar gelang’…”. Tukar gelang adalah tradisi orang Lany saat ada perayaan pesta, yang artinya apabila tukar gelang sudah dilakukan, maka mereka bebas untuk melakukan “hubungan”. Hal ini masih belum ditambah dengan tradisi lain yang di’import’ dari Wamena, “goyang oles”, bergoyang dansa saat pesta-pesta, berpasangan sambil merapatkan badan, oles-oles, yang berlanjut pada tingkatan yang lebih intim.

Banyak hal yang masih harus dibenahi sebelum pemekaran benar-benar dilanjutkan. Banyak PR yang seharusnya diselesaikan. Terlalu dini Bokondini. Terlalu dini…

(ADL)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun