Mohon tunggu...
Agung Dwi Laksono
Agung Dwi Laksono Mohon Tunggu... peneliti -

Seorang lelaki penjelajah yang kebanyakan gaya. Masih terus belajar menjadi humanis. Mengamati tanpa menghakimi. Mengalir saja...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Terlalu Dini Bokondini; Catatan Perjalanan ke Kabupaten Tolikara

9 Mei 2016   10:27 Diperbarui: 17 Mei 2016   08:05 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Posisi Kabupaten Tolikara dalam Peta Papua; Sumber: Pemerintah Provinsi Papua

Memasuki wilayah Distrik Bokondini saat pagi seperti mendapati suatu lokasi yang penuh dengan aura magis. Bagaimana tidak? Halimun tebal tak pernah absen menyelimuti wilayah ini di saat pagi hari. Bahkan matahari pun seperti tak bernyali. Setidaknya sampai menjelang siang, sekitar jam 10 pagi.

Gambar 4. Suatu Pagi di Kota Bokondini; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 4. Suatu Pagi di Kota Bokondini; Sumber: Dokumentasi Peneliti

Distrik Bokondini mempunyai kondisi yang hampir sama dengan distrik-distrik lain di wilayah Pegunungan Tengah yang sepi dan minim fasilitas. “Kota Bokondini”, demikian warga yang tinggal di wilayah ini menyebut wilayahnya. Sebuah harapan yang sangat tinggi digantungkan untuk masa depan.

Gambar 5. Berjalan-jalan di Tengah Kota Bokondini; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 5. Berjalan-jalan di Tengah Kota Bokondini; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 6. Sudut Lain Kota Bokondini; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 6. Sudut Lain Kota Bokondini; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Pada saat ini, suku Lany di Bokondini sudah mulai meninggalkan honai sebagai model rumah tinggal. Mereka memodifikasi bentuk honai dengan bahan-bahan yang lebih modern produksi pabrik. Mereka menyebut honai modifikasi ini sebagai “honai semi modern”. Beberapa honai yang masih tersisa rata-rata sudah berumur cukup tua. Sementara generasi yang lahir belakangan lebih memilih rumah papan sebagai pilihan model rumah tinggal yang baru.

Gambar 7. Honai (Kiri); Honai Semi Modern (Kanan Atas); dan Rumah Papan (Kanan Bawah); Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 7. Honai (Kiri); Honai Semi Modern (Kanan Atas); dan Rumah Papan (Kanan Bawah); Sumber: Dokumentasi Peneliti
KONDISI PEREKONOMIAN

Hampir seluruh masyarakat asli bermata pencaharian menjadi petani kebun. Nanas Bokondini merupakan salah satu buah ikonik wilayah ini yang terkenal sangat manis. Di sini lain, buah manis lainnya, Markisa, juga tersedia melimpah. Markisa dijual seharga Rp. 5.000,- per ikat, yang berisi sekitar 5 biji. Sementara nanas yang berukuran besar dijual seharga Rp. 10.000,- per bijinya. Komoditas hasil kebun lain hampir sama dengan hasil di wilayah Pegunungan Tengah lainnya, yang terdiri dari singkong atau kasbi, ketela atauipere atau batatas, talas, jahe, pisang, dan buah merah.

Gambar 8. Menawar Markisa; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 8. Menawar Markisa; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Masyarakat Bokondini membuka lahan baru yang akan dijadikan kebun dengan cara yang masih sangat tradisional, dibakar. Mereka membakar di beberapa lokasi yang cenderung tidak terlalu rapat dengan tanaman keras, hanya perdu-perduan dan rumput liar. Meski tetap juga terkadang merasa cukup miris, masih terselip ketakutan, api akan merambat menjilat pepohonan yang lebih luas dari yang direncanakan.

Gambar 9. Pembukaan Lahan Baru dengan Membakar; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 9. Pembukaan Lahan Baru dengan Membakar; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Di pasar Kota Bokondini, pedagang hasil kebun dan sayur mayur seratus persen dikuasai oleh warga asli, masyarakat pendatang dilarang berjualan komoditas tersebut. Para pendatang, yang umumnya dari Toraja dan Bugis, boleh berjualan komoditas lainnya di kios-kios di sekeliling pasar, kebanyakan adalah komoditas hasil pabrikan. Pasar Bokondini dibuka tiga kali dalam seminggu, yaitu Selasa, Kamis dan Sabtu. Pasar biasa ramai pada pagi hari sampai dengan sekitar pukul 10.00 WIT.

Gambar 10. Pasar Bokondini; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 10. Pasar Bokondini; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Sebagai gambaran kondisi perekonomian di wilayah ini, harga bensin, solar dan minyak tanah cenderung sama di wilayah ini, sebesar Rp. 25.000,- per liter. Harga air mineral 600 ml merek Aqua Rp. 15.000,-, sementara air mineral merek lain Rp.10.000,-. Sebagai pembanding, pada tahun 2012 di Oksibil (ibukota Kabupaten Pegunungan Bintang, salah satu kabupaten di wilayah Pegunungan Tengah yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini), harga air mineral 600 ml merek Aqua sudah mencapai harga Rp. 15.000,- per botol. Sementara kemasan botol yang 1,5 liter dijual seharga Rp. 45.000,-. Jauh lebih mahal daripada harga solar per liter yang hanya seharga Rp. 35.000,-.

BERITA PEMEKARAN

Meski demikian, harapan tak pernah putus, saat ini para tokoh masyarakat Bokondini sedang mempersiapkan pemekaran wilayah. Bokondini akan melepaskan diri dari Kabupaten Tolikara, berdiri sendiri menjadi sebuah kabupaten tersendiri, Kabupaten Bogoga, dengan ibukota Kota Bokondini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun