Wamena, 04 Mei 2016
Perjalanan yang akan saya tempuh kali ini adalah kali ke-dua saya melangkahkan kaki ke Kabupaten Tolikara, dan kali ke-sekian di wilayah Pegunungan Tengah Papua. Bila pada perjalanan sebelumnya saya menuju dan tinggal di Distrik Bokondini, maka kali ini saya menuju ke pusat pemerintahan Kabupaten Tolikara di Distrik Karubaga.
Sebuah kota kecil yang tak lebih ramai dibanding salah satu kota kecamatan di Jawa. Sebuah perjalanan yang cukup mudah… sangat mudah! Tentu saja bila dibandingkan dengan perjalanan yang harus ditempuh untuk mencapai wilayah Pegunungan Tengah Papua lainnya.
Menempuh perjalanan di wilayah ini hanya bisa dilalui dengan mobil bergardan ganda dari Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya, karena medan jalan darat yang harus ditempuh memang cukup berat, semacam jalur off-road yang cukup menantang. Selain itu sebenarnya jalur ini bisa ditempuh melalui udara, tapi sayangnya tidak memungkinkan untuk kantong kami, karena hanya bisa dengan sistem carter. Tidak ada penerbangan regular di wilayah ini.
Pembangunan Kesehatan di Tolikara
Memandang Kabupaten Tolikara, untuk kali ke-sekian saya harus menurunkan standar harapan setiap kali saya menginjakkan kaki di wilayah Pegunungan Tengah Papua. Ketimpangan masih saja terlihat sangat besar bila kita membandingkan dengan pembangunan di wilayah lain republik ini, termasuk pembangunan di bidang kesehatan. Meski pemerintahan saat ini berkomitmen untuk melakukan akselerasi pembangunan di wilayah ini.
Di Bidang Kesehatan, Kabupaten Tolikara adalah penghuni peringkat paling dasar dari Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM), menempati ranking 497 dari 497 kota/kabupaten di Indonesia. IPKM adalah sebuah indeks pemeringkatan tentang pembangunan kesehatan yang melingkupi seluruh kabupaten/kota di Indonesia. IPKM disusun berdasarkan data Riskesdas 2013 yang dilakukan oleh Badan Litbang Kesehatan, survey Potensi Desa (Podes) dan Pendataan Sosial Ekonomi (PSE) yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik.
Palang Duka
Jam 08.00 WIT kami sudah bersiap di atas Mitsubishi Strada yang akan membawa kami menempuh perjalanan menuju Puncak Mega di Karubaga. Kami berangkat ber-enam, anggota tim peneliti empat orang, plus sopir dan seorang asisten. Koper dan barang lainnya sudah tersusun rapi di bak belakang bersama asisten sopir yang setia menunggui. Sementara kami duduk berjajar rapi di dalam kabin. Mari berangkat!
Sampai setengah jam perjalanan meninggalkan Kota Wamena semuanya aman-aman saja, sampai saat mobil kami mendekati Distrik Kurulu. Terlihat ada mobil tentara dan polisi, serta beberapa mobil double gardan seperti yang kami tumpangi terparkir berjajar di pinggir jalan. Ada apa gerangan?
Nampak jauh di depan… batang pohon utuh bersama dahan, ranting dan daunnya melintang di tengah jalan. Sementara beberapa orang lokal tampak duduk serampangan di depan pohon yang melintang tersebut. Palang!
Lamat kami mendengar suara tangis yang melolong. Semakin kami mendekat, semakin suara tangis itu bertambah keras. Suara kaum perempuan yang berkerumun dengan tangis dengan nada yang cukup menyayat hati.
Kami dihentikan oleh personel tentara dari Koramil Kurulu. Personel tentara berseragam doreng itu menjelaskan bahwa sedang ada anak kepala Suku Mabel yang meninggal dunia. Warga lokal sedang berduka. Tidak seorang pun diijinkan untuk melintas di wilayah ini. Belasan personel tentara dan polisi pun tidak bisa membujuk mereka untuk membuka palang.
“Mereka ngotot tidak mau kasih jalan pak, kami tidak bisa memaksa… daripada jatuh korban yang tidak perlu to,” jelas Letnan Dua Amos Osso, tentara asli Wamena dari Suku Osso yang menjabat Komandan Rayon Militer (Danramil) di Kurulu.
Saya berinisiatif meminta ijin pada personel tentara yang berjaga untuk mengambil foto sebagai dokumen perjalanan kami. “Jangan pak! Mereka bisa marah… kami saja tidak dikasih ijin untuk kelengkapan dokumen laporan ke atasan.” Larang seorang anggota dengan tegas.
Meski akhirnya saya bisa mendapatkan transferan foto via Bluetooth dari para tentara itu yang mengambilnya dengan mencuri-curi dari jarak yang cukup jauh, sehingga gambarnya kurang begitu tajam.
Seorang personel tentara lain asli Medan, Simanjuntak, yang sudah kehilangan logat bataknya, menjelaskan bahwa bukan hanya mereka yang gagal membujuk warga agar membuka palang. “Baru saja itu Bupati datang ke sini mau kasih bantuan supaya itu palang dibuka, tapi ditolak! Mereka hanya mau dibujuk bila menteri yang datang ke sini…”. Dan ternyata bukan hanya sembarang menteri yang diminta, tetapi khusus hanya Menko Polhukam.
Selain itu, cerita lain kami dapatkan bahwa yang membuat masyarakat lokal sangat mencintai putra kepala suku ini adalah karena almarhum adalah inisiator pemekaran Distrik Kurulu menjadi sebuah calon kabupaten baru, memisahkan diri dari Kabupaten Jayawijaya. “Itu almarhum sedang mengurus pemekaran to. Itu Kabupaten Okika… masih berproses di Jakarta…,” jelas Letnan Dua Amos Osso.
Belum puas kami berbincang dengan para tentara yang berjaga sekitar seratus meter dari palang pohon tersebut, ketika datang seorang warga lokal dengan penutup kepala sewarna rambut yang khas Wamena berbicara dengan nada keras, ”Itu mobil kasih minggir… pergi dari sini kalo tidak mau rusak. Ini sebentar rombongan almarhum datang… mana Kapolsek? Kasih pergi ini mobil-mobil…!”
Tidak tersedia pilihan bagi kami selain untuk bersegera menyingkir meninggalkan lokasi, kembali ke Wamena. Karena belum tersedia akses jalur darat lain ke Tolikara, selain jalur yang dipalang tersebut.
Sebelum pergi kami menyempatkan diri untuk berpose sebentar dengan Danramil dan personel tentara lainnya sebelum meninggalkan lokasi. Sekedar sebagai kenangan dan bukti bagi atasan yang menugaskan kami kesini, bahwa kami telah sampai dan menginjakkan kaki di wilayah ini.
Tak seberapa lama kami meninggalkan lokasi, terlihat puluhan motor dan tiga puluhan mobil yang menyertai mobil jenazah di bagian belakang rombongan yang membawa almarhum. Terlihat iring-iringan motor memenuhi badan jalan, dengan para pengendara yang berboncengan sambil menenteng busur beserta anak panah.
Kami lebih memilih untuk meminggirkan kendaraan sejauh mungkin. Kami tidak ingin memancing masalah. Sedikit saja pemicu yang sepele muncul, bisa memancing keributan dengan warga lokal yang sedang sensitif.
Sebenarnya ini adalah pengalaman ke-dua bagi saya menemui palang seperti ini. Pengalaman pertama juga saya dapatkan ketika menempuh perjalanan ke Kabupaten Tolikara, hanya saja menuju distrik yang berbeda, Distrik Bokondini. Pengalaman pada bulan Mei tahun 2015 tersebut terjadi menjelang masuk ke Distrik Bokondini.
Ada beberapa warga lokal yang meletakkan pohon di tengah jalan, dengan meminta ‘upah’ kepada setiap yang melewati jalan tersebut. “Itu mereka meminta ‘pajak’, setelah mereka bersih-bersih jalan atau timbun jalan yang lobang pak…” jelas Mas Kadir, sopir Strada yang mengantar kami.
Kembali ke Wamena
Kami menyempatkan diri untuk singgah ke Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya yang sudah berpindah gedung dari Wamena ke Muai. Mau tidak mau kami harus meminta stempel di instansi yang bertanggung jawab terhadap kesehatan di wilayah Jayawijaya ini, karena untuk mendapatkan stempel dari Dinas Kesehatan Kabupaten Tolikara sudah tidak memungkinkan dengan alokasi waktu yang kami miliki. Meski kami masih berniat menunggu satu-dua hari lagi dengan melihat kemungkinan palang dibuka.
Dengan sedikit penjelasan tanpa argumentasi panjang lebar, Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya mau membubuhkan tanda tangan dan stempel di dokumen kami. Rupanya mereka sudah mahfum dengan fenomena palang seperti yang kami alami.
Tentang Penduduk Lokal
Gagal mencapai Karubaga bukanlah akhir dari cerita perjalanan ini. Apapun itu kami tetap bersyukur, banyak pengalaman bisa diambil, banyak pelajaran bisa dipetik.
Sepanjang perjalanan dari mulai berangkat sampai dengan kembali ke Wamena kami dapat menyaksikan hamparan tanah subur yang tidak terkelola dengan baik. Warga lokal kebanyakan berprofesi sebagai pekebun. Hanya saja mereka melakukannya kurang begitu rapi, kalau tidak boleh saya sebut serampangan. Jagung misalnya, ditanam dengan seperti melemparkan bibit biji jagung secara acak saja, tanpa memikirkan jarak antar pohon untuk mengefektifkan pertumbuhan dan hasil yang didapat.
Kebanyakan tanaman yang diupayakan adalah bahan pangan pokok kebutuhan sehari-hari. Tanaman semacam hipere (ketela rambat, dalam beberapa kesempatan telinga saya menangkap seperti ipere), petatas (Ipomoea Batatas L., sejenis ubi jalar), keladi, dan jagung, terlihat mendominasi hasil bumi mereka. Selain juga tanaman sayur semacam kacang panjang dan tomat.
Hari telah malam, jam menunjuk angka 20.15 WIT saat siaran di radio lokal mengabarkan bahwa warga lokal di Kurulu masih teguh, palang masih saja bertengger di tengah jalan. Pada akhirnya inilah yang kami dapat. Sekilas catatan perjalanan ini yang dapat kami sajikan. Pengalaman ini tak akan menyurutkan langkah kami untuk mencoba kembali menyusuri jalan yang sama untuk mengapai Puncak Mega di Karubaga. Suatu saat. @dl.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H