Dengan sedikit penjelasan tanpa argumentasi panjang lebar, Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya mau membubuhkan tanda tangan dan stempel di dokumen kami. Rupanya mereka sudah mahfum dengan fenomena palang seperti yang kami alami.
Tentang Penduduk Lokal
Gagal mencapai Karubaga bukanlah akhir dari cerita perjalanan ini. Apapun itu kami tetap bersyukur, banyak pengalaman bisa diambil, banyak pelajaran bisa dipetik.
Sepanjang perjalanan dari mulai berangkat sampai dengan kembali ke Wamena kami dapat menyaksikan hamparan tanah subur yang tidak terkelola dengan baik. Warga lokal kebanyakan berprofesi sebagai pekebun. Hanya saja mereka melakukannya kurang begitu rapi, kalau tidak boleh saya sebut serampangan. Jagung misalnya, ditanam dengan seperti melemparkan bibit biji jagung secara acak saja, tanpa memikirkan jarak antar pohon untuk mengefektifkan pertumbuhan dan hasil yang didapat.
Kebanyakan tanaman yang diupayakan adalah bahan pangan pokok kebutuhan sehari-hari. Tanaman semacam hipere (ketela rambat, dalam beberapa kesempatan telinga saya menangkap seperti ipere), petatas (Ipomoea Batatas L., sejenis ubi jalar), keladi, dan jagung, terlihat mendominasi hasil bumi mereka. Selain juga tanaman sayur semacam kacang panjang dan tomat. Â Â
Hari telah malam, jam menunjuk angka 20.15 WIT saat siaran di radio lokal mengabarkan bahwa warga lokal di Kurulu masih teguh, palang masih saja bertengger di tengah jalan. Pada akhirnya inilah yang kami dapat. Sekilas catatan perjalanan ini yang dapat kami sajikan. Pengalaman ini tak akan menyurutkan langkah kami untuk mencoba kembali menyusuri jalan yang sama untuk mengapai Puncak Mega di Karubaga. Suatu saat. @dl.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H