Mohon tunggu...
Agung Dwi Laksono
Agung Dwi Laksono Mohon Tunggu... peneliti -

Seorang lelaki penjelajah yang kebanyakan gaya. Masih terus belajar menjadi humanis. Mengamati tanpa menghakimi. Mengalir saja...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kami Tidak Akan Menyerah, Tolikara!

13 Mei 2016   05:55 Diperbarui: 17 Mei 2016   08:10 889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 7. Kebun Jagung yang Tampak Tidak Teratur di Wamena; Sumber: Dokumentasi Peneliti

Sampai setengah jam perjalanan meninggalkan Kota Wamena semuanya aman-aman saja, sampai saat mobil kami mendekati Distrik Kurulu. Terlihat ada mobil tentara dan polisi, serta beberapa mobil double gardan seperti yang kami tumpangi terparkir berjajar di pinggir jalan. Ada apa gerangan?

Nampak jauh di depan… batang pohon utuh bersama dahan, ranting dan daunnya melintang di tengah jalan. Sementara beberapa orang lokal tampak duduk serampangan di depan pohon yang melintang tersebut. Palang!

Lamat kami mendengar suara tangis yang melolong. Semakin kami mendekat, semakin suara tangis itu bertambah keras. Suara kaum perempuan yang berkerumun dengan tangis dengan nada yang cukup menyayat hati.

Kami dihentikan oleh personel tentara dari Koramil Kurulu. Personel tentara berseragam doreng itu menjelaskan bahwa sedang ada anak kepala Suku Mabel yang meninggal dunia. Warga lokal sedang berduka. Tidak seorang pun diijinkan untuk melintas di wilayah ini. Belasan personel tentara dan polisi pun tidak bisa membujuk mereka untuk membuka palang

“Mereka ngotot tidak mau kasih jalan pak, kami tidak bisa memaksa… daripada jatuh korban yang tidak perlu to,” jelas Letnan Dua Amos Osso, tentara asli Wamena dari Suku Osso yang menjabat Komandan Rayon Militer (Danramil) di Kurulu.

Saya berinisiatif meminta ijin pada personel tentara yang berjaga untuk mengambil foto sebagai dokumen perjalanan kami. “Jangan pak! Mereka bisa marah… kami saja tidak dikasih ijin untuk kelengkapan dokumen laporan ke atasan.” Larang seorang anggota dengan tegas. 

Meski akhirnya saya bisa mendapatkan transferan foto via Bluetooth dari para tentara itu yang mengambilnya dengan mencuri-curi dari jarak yang cukup jauh, sehingga gambarnya kurang begitu tajam.

Seorang personel tentara lain asli Medan, Simanjuntak, yang sudah kehilangan logat bataknya, menjelaskan bahwa bukan hanya mereka yang gagal membujuk warga agar membuka palang. “Baru saja itu Bupati datang ke sini mau kasih bantuan supaya itu palang dibuka, tapi ditolak! Mereka hanya mau dibujuk bila menteri yang datang ke sini…”. Dan ternyata bukan hanya sembarang menteri yang diminta, tetapi khusus hanya Menko Polhukam.

Gambar 3. Palang Duka di Distrik Kurulu; Sumber: Personel Koramil Kurulu
Gambar 3. Palang Duka di Distrik Kurulu; Sumber: Personel Koramil Kurulu
Rupa-rupanya yang meninggal adalah orang penting yang sangat dihormati oleh warga setempat. Selain sebagai putra dari kepala Suku Mabel yang mendiami wilayah Distrik Kurulu, menurut Danramil Amos Osso, almarhum pernah menjabat sebagai Kabag Keuangan di Kantor Kabupaten Jayawijaya, sebelum akhirnya menjabat sebagai Kepala Dinas Sosial di kantor Kabupaten yang sama.

Selain itu, cerita lain kami dapatkan bahwa yang membuat masyarakat lokal sangat mencintai putra kepala suku ini adalah karena almarhum adalah inisiator pemekaran Distrik Kurulu menjadi sebuah calon kabupaten baru, memisahkan diri dari Kabupaten Jayawijaya. “Itu almarhum sedang mengurus pemekaran to. Itu Kabupaten Okika… masih berproses di Jakarta…,” jelas Letnan Dua Amos Osso.

Belum puas kami berbincang dengan para tentara yang berjaga sekitar seratus meter dari palang pohon tersebut, ketika datang seorang warga lokal dengan penutup kepala sewarna rambut yang khas Wamena berbicara dengan nada keras, ”Itu mobil kasih minggir… pergi dari sini kalo tidak mau rusak. Ini sebentar rombongan almarhum datang… mana Kapolsek? Kasih pergi ini mobil-mobil…!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun