Soe-Timor Tengah Selatan, 29 Mei 2015
Timor Tengah Selatan, demikian nama salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang kali ini menjadi sasaran tujuan kunjungan lapangan kami. Kami berempat berangkat dari Surabaya. Saya sendiri, kang Pranata (seorang anthropolog), dan dua rekan dari tim videografi (seorang sutradara dan seorang lagi kameramen). Bukanlah perjalanan yang terlampau sulit perjalanan supervisi dan pengambilan gambar visual audio Riset Ethnografi Kesehatan kali ini yang harus kami lalui. Tentu saja bila hal ini merujuk pada perjalanan-perjalanan di daerah perifer yang harus saya lalui sebelumnya.
Kabupaten Timor Tengah Selatan terletak satu daratan di Pulau Timor dengan negara pecahan republik ini, Timor Leste. Di sebelah Timur Kabupaten Timor Tengah Selatan hanya dibatasi oleh Kabupaten Belu sebelum mencapai tanah Timor Leste. Pada bagian Utara Kabupaten Timor Tengah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Timor Tengah Utara, sementara di bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Kupang, dan pada sisi Selatan Kabupaten Timor Tengah Selatan secara langsung berhubungan dengan Samudera Hindia.
Gambar 1. Lokasi Kabupaten Timor Tengah Selatan; Sumber: Provinsi Nusa Tenggara Timur
Menurut Kabupaten Timor Tengah Selatan dalam Angka Tahun 2014, kabupaten yang beribukota di SoE ini mempunyai luas daratan mencapai 3.995,36 Km2, dengan tingkat kepadatan 114,26 jiwa per Km2 pada tahun 2013. Jumlah seluruh penduduk pada tahun yang sama mencapai 451.922 jiwa dengan rumah tangga sejumlah 112.446 rumah tangga (Badan Pusat Statistik Kabupaten Timor Tengah Selatan, 2014). Berdasarkan angka jumlah penduduk dan jumlah rumah tangga, maka proporsi dalam setiap rumah tangga terdiri dari 4,02 jiwa, artinya bahwa dalam satu rumah tangga terdiri dari rata-rata empat anggota keluarga, dan beberapa rumah tangga saja yang berisi lima anggota keluarga. Secara kasar bisa kita tarik kesimpulan bahwa Kabupaten Timor Tengah Selatan merupakan salah satu kabupaten yang berhasil dalam program Keluarga Berencana-nya, atau jangan-jangan…? Ahh… biarkan saja menggantung tanpa jawab, agar bisa dijadikan bahan refleksi.
Lingkaran Setan
Derajat kesehatan yang buruk, tingkat pendidikan yang rendah, serta kemiskinan, merupakan tiga kondisi yang bila kita cermati seperti membentuk lingkaran setan. Ketiganya secara siklis saling mempengaruhi, kejatuhan dalam satu kondisi menjadi penyebab kejatuhan kondisi yang lainnya. Hal inilah yang sepertinya tengah terjadi di Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Menurut hasil pemeringkatan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) tahun 2013 yang didasarkan pada hasil survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun yang sama, menempatkan Kabupaten Timor Tengah Selatan pada ranking 474 dari 497 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Sedang pada IPKM sebelumnya, tahun 2007, Kabupaten Timor Tengah Selatan berada pada posisi ranking 399 dari 440 kabupaten/kota yang ada pada saat itu. Menilik posisi peringkat Kabupaten Timor Tengah Selatan pada IPKM tahun 2007 dan 2013, terlihat bahwa tidak terjadi peningkatan derajat kesehatan masyarakat sebagai hasil dari pembangunan kesehatan yang telah dilakukan.
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2013 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa ada sekitar 31,71% penduduk berumur 10 tahun ke atas di Kabupaten Timor Tengah Selatan yang tidak memiliki ijazah sama sekali, artinya angka tersebut merupakan gabungan antara yang tidak bersekolah sama sekali dan yang tidak lulus Sekolah Dasar. Sementara hasil survei yang sama menyebutkan bahwa sejumlah 34,81% penduduk di atas 10 tahun yang memiliki ijazah Sekolah Dasar. Hanya 2,91% penduduk saja yang tercatat memiliki ijazah di atas SLTA.
Berdasarkan catatan BPS Kabupaten Timor Tengah Selatan dalam “Kabupaten Timor Tengah Selatan dalam Angka Tahun 2014”, tercatat terjadi penurunan jumlah penduduk miskin di kabupaten tersebut. Hal ini terjadi dalam kurun waktu lima tahun, antara tahun 2006-2011. Tetapi antara tahun 2011-2012 kembali terjadi peningkatan tipis persentase penduduk miskin sebesar 0,57%, menjadi 27,53% (lihat Gambar 2).
Dalam mengukur kemiskinan BPS menggunakan pendekatan kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, BPS memandang kemiskinan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.
Status Gizi Balita
Bila kita mencermati status gizi balita di Kabupaten Timor Tengah Selatan pada tahun 2013 maka kita akan mendapati kenyataan yang sungguh memprihatinkan. Hampir separuh balita (46,48%), merupakan balita dengan status gizi buruk dan kurang. Angka ini jauh di atas angka Provinsi Nusa Tenggara Timur yang berada pada kisaran 33,07%, dan rentangnya semakin jauh lagi bila dibandingkan dengan angka nasional yang hanya berkisar 19,63%.
Status gizi balita ini menjadi lebih memprihatinkan lagi bila kita cermati dari indikator tinggi badan per umur. Lebih dari 70% balita di Kabupaten Timor Tengah Selatan merupakan balita stunting atau pendek. Dan lagi-lagi angka ini jauh di atas prevalensi provinsi maupun nasional.
Meski demikian, cakupan angka penimbangan balita di Kabupaten Timor Tengah Selatan sedikit lebih tinggi dibanding angka provinsi maupun nasional. Artinya bahwa kepedulian masyarakat terhadap anak-anak sudah cukup baik, hanya saja kemiskinan yang bisa menjadi salah satu kendala yang cukup serius untuk faktor pertumbuhan balita.
Perjalanan Menuju Desa
Perjalanan kami kali ini hanya membutuhkan waktu sekitar empat jam saja dari ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kota Kupang, untuk mencapai ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan di SoE. Meski kami masih harus menambah lagi dengan enam jam perjalanan untuk mencapai Desa Nenas-Kecamatan Fatumnasi, desa tempat tinggal dua ethnografer kami yang sedang grounded di sana. Enam jam tambahan yang sungguh menyebalkan karena kami salah memilih kendaraan untuk menempuh jalanan yang rusak, longsor dan berbatu.
Pada akhirnya pengalaman menyebalkan menempuh sisa perjalanan menuju Desa Nenas seakan terbayarkan dengan pemandangan lanskap saat memasuki cagar alam Mutis di lereng Gunung Mutis. Lanskap yang sungguh membuat kami tak pernah berhenti berdecak mengucap syukur diberi kesempatan melihat pemandangan seindah ini.
Desa Nenas di Kecamatan Fatumnasi
Desa Nenas merupakan salah satu desa yang terletak di lereng Gung Mutis. Topografinya berupa lereng-lereng dengan variasi ketinggian yang beragam, naik-turun perbukitan. Letaknya yang tersembunyi di lereng gunung dan di balik hutan membuat Desa Nenas selalu berhawa dingin dengan angin yang bertiup kencang yang seakan tak pernah berhenti untuk membuat badan menggigil sepanjang hari. Tubuh letih kami benar-benar tak kuat menahan gempuran seperti ini, yang membuat kami ber-empat hampir tumbang pada akhir perjalanan.
Mutis, demikian nama gunung itu, yang dalam bahasa Dawam artinya “lengkap”. Menurut kepercayaan orang Molo Gunung Mutis merupakan asal atau cikal bakal orang Timor secara keseluruhan, mereka secara lengkap hadir di dunia melalui Gunung Mutis. Oleh karena itu masyarakat Desa Nenas sangat terbuka dengan kedatangan orang luar, karena mereka menganggap demikianlah memang seharusnya mereka bersikap untuk menyikapi “lengkap”nya Mutis.
Desa Nenas dalam pandangan kami merupakan salah satu desa yang sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan desa lain di Indonesia. Desa Nenas lebih merupakan desa auto pilot, karena kepala desa terpilih mengajukan diri menjadi anggota DPRD, dan akhirnya benar-benar terpilih menjadi anggota dewan, meski tetap saja nasib Desa Nenas tak juga beranjak naik.
Masyarakat di Desa Nenas termasuk dalam sub suku Molo, yang merupakan salah satu bagian dari suku Timor. Oleh sebab itu mereka dikenal sebagai orang Molo. Dalam keseharian mereka masih menggunakan bahasa Dawam sebagai salah satu media komunikasi antar orang Molo. Nenas sendiri dalam bahasa Dawam diartikan sebagai “terkenal”.
Orang Molo di Desa Nenas kebanyakan sudah tinggal di ‘rumah sehat’, sebutan untuk rumah yang dibangun untuk menggantikan ‘rumah bulat’, rumah asli warga suku Molo. Meski pada saat malam mereka lebih sering berada di rumah bulat karena kondisinya yang hangat, cukup untuk menahan dari gempuran hawa dingin di luar.
Kami sendiri tinggal di rumah sehat bersama keluarga bapak Anderias Tambelab (58 tahun), sekretaris Desa Nenas. Meski yang kami diami adalah rumah salah seorang pejabat desa, jangan pernah membayangkan kemewahan yaan akan kami terima. Kondisinya sama saja dengan rumah penduduk lainnya. Kami tidur hanya beralaskan karpet plastik tipis di atas plesteran semen.
Hampir mirip dengan desa-desa lain di pelosok republik ini, kehidupan di Desa Nenas berjalan sangat lambat. Hampir seluruh penduduk bermata pencaharian sebagai petani. Beberapa menjadi tukang ojek, guru, dan berdagang kelontong kecil-kecilan. Ada juga seorang pendatang dari Madura yang berprofesi menjadi tukang kayu.
Hampir seluruh jalanan yang ada di desa ini merupakan jalan berbatu yang cukup terjal, menyisakan sedikit saja jalan tanah. Kondisi ini membuat hanya kendaraan-kendaraan tertentu saja yang bisa menempuh jalur ini, termasuk beberapa motor tulang ojek yang sudah mengalami modifikasi pada rantai-gir dan roda ban-nya yang menjadi lebih bergigi.
Dalam observasi memang terlihat balita-balita di Desa Nenas mempunyai kecenderungan stunting, sebagaimana penampakan orang-orang dewasa di desa ini yang juga cenderung pendek. Meski lagi-lagi saya tidak bisa mengkonfirmasi hal ini dengan data riil, karena pencatatan di Posyandu sama sekali tidak mencantumkan angka tinggi badan, dan tanggal kelahiran pun seringkali dibiarkan kosong melompong.
Kebanyakan balita di Desa Nenas mengkonsumsi bubur nasi tanpa tambahan apapun. “Balita sekarang makannya bubur nasi pak. Iya nasi saja… tanpa tambahan apapun. Kalo dulu ya bubur jagung. Kan belum ada beras… ada beras baru sekitar mulai tahun 70-80-an…,” jelas pak Nuel, nama panggilan Imanuel Anin (50 tahun), seorang mantri tani yang tinggal di Desa Nenas.
Hampir tidak ada variasi makanan lain yang menjadi asupan balita di desa ini, kecuali ASI yang dalam pengakuan masyarakat diberikan sampai mereka berumur dua tahun lebih, kecuali beberapa balita yang sudah “kesundulan”, kedahuluan adiknya lahir, dan juga beberpa balita lain yang disebabkan ibunya sakit atau tidak keluar air susunya.
Ada fenomena menarik yang ditunjukkan balita Darfa Tambelab (20 bulan). Sejak berumur 12 bulan, Darfa mengkonsumsi kopi yang dimasukkan ke dalam botol dot. Dua kali sehari, secara rutin pagi dan sore, cucu ke-dua sekretaris desa tersebut meminta dibuatkan minuman kesukaan saya ini. Diker Tambelab (33 tahun), ayah si Darfa, cuek saja dan membiarkan anak balitanya dengan lahab menyeruput kopi lewat botol dotnya.
Ketersediaan Pelayanan Kesehatan
Desa Nenas masuk sebagai salah satu wilayah kerja Puskesmas Fatumnasi yang terletak di Desa Fatumnasi. Puskemas Fatumnasi sendiri memiliki tenaga sejumlah 18 orang dengan lima bidan dan satu tenaga dokter umum PTT. Ada lima desa yang harus di-cover Puskesmas Fatumnasi, yaitu Nenas, Fatumnasi, Kuanoal, Nuapin dan Mutis.
Pada masing-masing desa ‘ada’ fasilitas pelayanan kesehatan. Desa Nuapin misalnya, ada Polindes yang stand by di sana. Sedang di Desa Mutis ada Polindes yang jadwal bukanya seminggu sekali menunggu bidan penanggung jawab wilayah datang dari Puskesmas. Kondisi ini sama dengan Polindes di Kuanoal yang pelayannya ada empat kali dalam sebulan sesuai dengan kedatangan bidan dari Puskesmas Fatumnasi. Sedang di Desa Nenas sendiri sudah ada Puskesmas Pembantu (Pustu) permanen yang dijaga oleh seorang perawat. Hanya saja posisi rumah perawat yang berada di SoE dan adanya keperluan-keperluan lain membuat kondisinya seperti kurang terurus.
Untuk mengatasi masalah akses yang cukup jauh dari desa ke Puskesmas, masyarakat di lima desa ‘urunan’ secara tanggung renteng untuk membangun rumah tunggu persalinan di samping gedung Puskesmas. “Kondisinya sudah sangat memprihatinkan pak. Ini sedang kami upayakan untuk setiap desa urunan kembali untuk membangun yang semi permanen…,” jelas Alfred Duka, SKM Kepala Puskesmas Fatumnasi. Rumah tunggu persalinan yang dibangun berbahan kayu lokal ini sejak tahun 2011 ini memang terlihat miring seperti mau roboh.
Ada kebijakan menarik yang dikeluarkan oleh Kabupaten Timor Tengah Selatan berupa Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir, Bayi dan Anak Bawah Lima Tahun. Kebijakan ini lebih merupakan terjemahan dari kebijakan Revolusi KIA yang digagas di tingkat provinsi.
Secara garis besar kebijakan ini mengatur tentang pembagian peran antar komponen di wilayah tersebut, termasuk di dalamnya mengatur secara rinci tentang denda terhadap masing-masing pihak yang tidak melaksanakan perannya. Satu contoh misalnya pada saat ibu melahirkan di rumah bulat ditolong oleh dukun, padahal seharusnya menurut regulasi tersebut seharusnya melahirkan di fasilitas pelayanan kesehatan ditolong oleh tenaga kesehatan. Maka denda yang diatur adalah si ibu didenda Rp. 200.000,- karena tidak melahirkan di fasilitas kesehatan, si dukun didenda Rp. 200.000,- karena berani menolong persalinan, si suami ibu didenda Rp. 200.000,- karena tidak SIAGA, tidak mau mengantar istri melahirkan ke fasilitas kesehatan. Pada saat si ibu nifas melakukan sei (dipanggang), sebagai salah satu adat kebiasaan orang Timor, maka juga akan dikenakan denda Rp. 200.000,-. Dan apabila ibu hamil tidak melakukan memeriksakan kehamilan di tenaga kesehatan atau ibu nifas tidak memeriksakan diri pasca nifas maka akan dikenakan denda sebesar Rp. 100.000,-.
Mekanisme atau standar operasional prosedur (SOP) tentang pembayaran atau penarikan denda ini diatur dalam regulasi tersendiri. Hal ini diatur dalam Peraturan Bupati Timor Tengah Selatan nomor 51 tahun 2014 tentang Tata Cara Pembayaran Denda Administrasi dan Pengurangan/Keringanan.
Sepertinya tujuan dikeluarkannya kebijakan tentang pelayanan kesehatan ibu dan anak ini baik… sangat baik! tetapi menurut pandangan saya, sekali lagi menurut pandangan saya, kebijakan ini menjadi tidak tepat saat pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan tidak memenuhi sarana dan prasarana yang menjadi kendala akses selama ini. Bukankah fasilitas pelayanan kesehatan sangat minim? Tidakkah tenaga kesehatan belum benar-benar eksis hadir di wilayah? Bagaimana dengan kondisi jalan berbatu yang terjal? Kami yang sehat saja berasa remuk redam menempuh jalur tersebut, bagaimana dengan ibu hamil?
Potensi Sumber Daya
Desa Nenas merupakan desa hortikultura yang sangat dikenal sebagai penyuplai sayuran sampai ke Kota Kupang. Beragam jenis sayur-mayur menjadi andalan pendapatan masyarakat Desa Nenas yang didominasi oleh petani. Sayuran semacam wortel, labu siam, daun bawang, kentang dan bawang preh merupakan produk sayuran andalan. Jadi kebutuhan sayuran bukanlah masalah bagi penduduk yang hidup di lereng Gunung Mutis ini.
Karbohidrat utama bagi seringkali didapatkan dari jagung, ubi jalar, singkong dan beras. Ada sedikit sawah di wilayah Desa Nenas yang dapat membantu suplai kebutuhan beras di daerah berhawa dingin ini, meski seringkali beras yang dikonsumsi adalah beras Raskin. Yak… memang tercatat ada sekitar 147 keluarga miskin dari 287 keluarga, atau 51,22%, yang mendapatkan jatah beras dari pemerintah setiap bulannya.
Beberapa protein hewani bisa didapatkan dari telur ayam, ayam, babi, kambing maupun sapi. Tetapi sayangnya perekonomian masyarakat membuat konsumsi protein hewani semacam itu merupakan barang mewah bagi mereka, hanya telur ayam yang disajikan beberapa kali dalam sebulan. “Sebenarnya ada juga pak itu apa… daging dan ikan di Pasar Kapan (di Kecamatan Kapan), tetapi ada (kendala) faktor ekonomi pak…” jelas Imanuel Anin (50 tahun), seorang Mantri Tani yang menjadi guide dadakan kami. Lebih lanjut pria suku Timor bermarga Anin ini menjelaskan bahwa ada protein hewani yang cukup populer bagi Masyarakat di Desa Nenas, yaitu “Ikan Blek”, sebutan masyararakat setempat untuk ikan kalengan atau sarden.
Kesempatan mendapat protein hewani lainnya adalah pada saat ada kematian. Apabila ada seorang suku Molo meninggal dunia, maka berbondong-bondong kerabatnya menyumbangkan ternaknya berupa sapi, babi, kambing ataupun ayam. Seringkali memang mereka menyisakan satu-dua saat menjual ternaknya, karena memang dimaksudkan untuk hal yang demikian. Pada saat-saat tersebut daging yang tersedia sangat melimpah, masyarakat bisa sampai berhari-hari mengkonsumsi daging, bahkan menurut pak Nuel sampai (maaf) busuk pun akan dikonsumsi.
Sumber protein lain berupa protein nabati bisa didapat dari kacang merah dan kacang tanah. Hanya saja konsumsi kacang merah seringkali lewat sayur sup saja. Tidak ada kemampuan untuk membuat kreasi lain agar tumbuhan kaya protein ini menjadi lebih sering dikonsumsi. Sedang kacang tanah lebih sering diolah menjadi campuran sambal goreng.
Mampir ke Surga
Pada kesempatan lain saya bersama mas Zaldi (kameramen) berkesempatan mengambil gambar lanskap di lereng Gunung Mutis yang agak tinggi. Lelofui, demikian lereng tersebut diberi nama oleh orang Molo. Saat datang menginjakkan kaki pertama kali di lereng itu saya seperti tersentak. Terpaku tidak bergeming. Hanya mampu berdiri tanpa sanggup berkata apapun, hanya berdesis… “Ini surga…”. …dan lalu bagaimana saya bisa berhenti bersyukur?
Pada akhirnya kami harus pulang. Terbersit keengganan di antara kami dan orang Nenas, seakan tidak ikhlas meninggalkan dan ditinggalkan. Seperti ada tali yang mengikat kami untuk kebersamaan kami selama seminggu terakhir. Seutas selendang hasil tenunan mama inang dikalungkan di setiap leher kami oleh nona manis Molo Evi Tambelab, seakan kembali menegaskan bahwa ada sesuatu yang tinggi telah mengikat kami.
(ADL)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H