Mohon tunggu...
Agung Dwi Laksono
Agung Dwi Laksono Mohon Tunggu... peneliti -

Seorang lelaki penjelajah yang kebanyakan gaya. Masih terus belajar menjadi humanis. Mengamati tanpa menghakimi. Mengalir saja...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tour de Nenas; Catatan Perjalanan ke Kabupaten Timor Tengah Selatan

9 Mei 2016   09:00 Diperbarui: 9 Mei 2016   12:34 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Untuk mengatasi masalah akses yang cukup jauh dari desa ke Puskesmas, masyarakat di lima desa ‘urunan’ secara tanggung renteng untuk membangun rumah tunggu persalinan di samping gedung Puskesmas. “Kondisinya sudah sangat memprihatinkan pak. Ini sedang kami upayakan untuk setiap desa urunan kembali untuk membangun yang semi permanen…,” jelas Alfred Duka, SKM Kepala Puskesmas Fatumnasi. Rumah tunggu persalinan yang dibangun berbahan kayu lokal ini sejak tahun 2011 ini memang terlihat miring seperti mau roboh.

a8-57302045cf7e6185051460b9.jpg
a8-57302045cf7e6185051460b9.jpg
Gambar 8. Rumah Tunggu Persalinan; Sumber: Dokumentasi Peneliti

Ada kebijakan menarik yang dikeluarkan oleh Kabupaten Timor Tengah Selatan berupa Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir, Bayi dan Anak Bawah Lima Tahun. Kebijakan ini lebih merupakan terjemahan dari kebijakan Revolusi KIA yang digagas di tingkat provinsi. 

Secara garis besar kebijakan ini mengatur tentang pembagian peran antar komponen di wilayah tersebut, termasuk di dalamnya mengatur secara rinci tentang denda terhadap masing-masing pihak yang tidak melaksanakan perannya. Satu contoh misalnya pada saat ibu melahirkan di rumah bulat ditolong oleh dukun, padahal seharusnya menurut regulasi tersebut seharusnya melahirkan di fasilitas pelayanan kesehatan ditolong oleh tenaga kesehatan. Maka denda yang diatur adalah si ibu didenda Rp. 200.000,- karena tidak melahirkan di fasilitas kesehatan, si dukun didenda Rp. 200.000,- karena berani menolong persalinan, si suami ibu didenda Rp. 200.000,- karena tidak SIAGA, tidak mau mengantar istri melahirkan ke fasilitas kesehatan. Pada saat si ibu nifas melakukan sei (dipanggang), sebagai salah satu adat kebiasaan orang Timor, maka juga akan dikenakan denda Rp. 200.000,-. Dan apabila ibu hamil tidak melakukan memeriksakan kehamilan di tenaga kesehatan atau ibu nifas tidak memeriksakan diri pasca nifas maka akan dikenakan denda sebesar Rp. 100.000,-.

Mekanisme atau standar operasional prosedur (SOP) tentang pembayaran atau penarikan denda ini diatur dalam regulasi tersendiri. Hal ini diatur dalam Peraturan Bupati Timor Tengah Selatan nomor 51 tahun 2014 tentang Tata Cara Pembayaran Denda Administrasi dan Pengurangan/Keringanan.

Sepertinya tujuan dikeluarkannya kebijakan tentang pelayanan kesehatan ibu dan anak ini baik… sangat baik! tetapi menurut pandangan saya, sekali lagi menurut pandangan saya, kebijakan ini menjadi tidak tepat saat pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan tidak memenuhi sarana dan prasarana yang menjadi kendala akses selama ini. Bukankah fasilitas pelayanan kesehatan sangat minim? Tidakkah tenaga kesehatan belum benar-benar eksis hadir di wilayah? Bagaimana dengan kondisi jalan berbatu yang terjal? Kami yang sehat saja berasa remuk redam menempuh jalur tersebut, bagaimana dengan ibu hamil?   

Potensi Sumber Daya

Desa Nenas merupakan desa hortikultura yang sangat dikenal sebagai penyuplai sayuran sampai ke Kota Kupang. Beragam jenis sayur-mayur menjadi andalan pendapatan masyarakat Desa Nenas yang didominasi oleh petani. Sayuran semacam wortel, labu siam, daun bawang, kentang dan bawang preh merupakan produk sayuran andalan. Jadi kebutuhan sayuran bukanlah masalah bagi penduduk yang hidup di lereng Gunung Mutis ini. 

Karbohidrat utama bagi seringkali didapatkan dari jagung, ubi jalar, singkong dan beras. Ada sedikit sawah di wilayah Desa Nenas yang dapat membantu suplai kebutuhan beras di daerah berhawa dingin ini, meski seringkali beras yang dikonsumsi adalah beras Raskin. Yak… memang tercatat ada sekitar 147 keluarga miskin dari 287 keluarga, atau 51,22%, yang mendapatkan jatah beras dari pemerintah setiap bulannya.

Beberapa protein hewani bisa didapatkan dari telur ayam, ayam, babi, kambing maupun sapi. Tetapi sayangnya perekonomian masyarakat membuat konsumsi protein hewani semacam itu merupakan barang mewah bagi mereka, hanya telur ayam yang disajikan beberapa kali dalam sebulan. “Sebenarnya ada juga pak itu apa… daging dan ikan di Pasar Kapan (di Kecamatan Kapan), tetapi ada (kendala) faktor ekonomi pak…” jelas Imanuel Anin (50 tahun), seorang Mantri Tani yang menjadi guide dadakan kami. Lebih lanjut pria suku Timor bermarga Anin ini menjelaskan bahwa ada protein hewani yang cukup populer bagi Masyarakat di Desa Nenas, yaitu “Ikan Blek”, sebutan masyararakat setempat untuk ikan kalengan atau sarden.

Kesempatan mendapat protein hewani lainnya adalah pada saat ada kematian. Apabila ada seorang suku Molo meninggal dunia, maka berbondong-bondong kerabatnya menyumbangkan ternaknya berupa sapi, babi, kambing ataupun ayam. Seringkali memang mereka menyisakan satu-dua saat menjual ternaknya, karena memang dimaksudkan untuk hal yang demikian. Pada saat-saat tersebut daging yang tersedia sangat melimpah, masyarakat bisa sampai berhari-hari mengkonsumsi daging, bahkan menurut pak Nuel sampai (maaf) busuk pun akan dikonsumsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun