Mohon tunggu...
Syahroni Batik
Syahroni Batik Mohon Tunggu... Penulis - Sedang Belajar Agribisnis

Selain menulis artikel ilmiah, Tertarik juga menulis artikel-artikel ringan di media massa

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menilik Peran Agripreneurship sebagai Buffer Economic dalam Mewujudkan "No Poverty" dan Zero Hunger melalui Paradigma New Normal

11 Oktober 2020   14:01 Diperbarui: 11 Oktober 2020   14:08 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Heiko Janowski on Unsplash

Indonesia sebagai negeri agraris menjadikan sektor pertanian sebagai tumpuan penting dalam pembangunan nasional. Sejak Indonesia merdeka, sektor pertanian menjadi 'nadi' bagi pembangunan nasional dibawah pemerintahan orde lama. 

Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa program pemerintah diawal kemerdekaan yang pro kepada sektor pertanian seperti program Rencana Kasimo untuk meningkatkan produksi bahan pangan dan pengesahan Undang-undang Pokok Agraris (UUPA). 

Setelah berakhirnya masa pemerintahan orde lama, Indonesia memasuki era pemerintahan orde baru yang dimulai pada tahun 1966, pada saat itu sektor pertanian menjadi 'primadona' bagi pembangunan nasional. Pada era orde baru, peran penting dan strategis sektor pertanian dituangkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita I sampai Repelita VI). 

Setelah reformasi atau berakhirnya orde baru, sektor pertanian masih juga menjadi prioritas dalam pembangunan nasional melalui program Revitalisasi Pertanian. Hal demikian terjadi, karena sektor pertanian memiliki peranan penting dan strategis dalam menopang ketahanan pangan dan berkontribusi positif pada perekonomian di Indonesia.

Pertama, peran sektor pertanian dalam menopang ketahanan pangan tertuang dalam Undang-undang No. 18 Tahun 2012.  Pada undang-undang tersebut, ketahanan pangan didefinisikan sebagai suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap individu di suatu negara yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. 

Peranan sektor pertanian dalam ketahanan pangan nasional tidak hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan pangan individu di Indonesia dengan meningkatkan kapasitas produksi dalam negeri, melainkan juga berperan untuk meningkatkan kualitas produksi dan distribusi pangan, sehingga masyarakat dapat dengan mudah untuk mengakses pangan yang berkualitas.

Kedua, peranan sektor pertanian dalam perekonomian tercermin dari kontribusinya terhadap nilai produk domestik bruto, penyerapan tenaga kerja, investasi dan neraca perdagangan. Menurut Kementan (2020), kontribusi sektor pertanian dalam arti sempit (di luar perikanan dan kehutanan) pada tahun 2019 yaitu sekitar 1.490  triliun rupiah atau sebesar 9,41 persen dari PDB Nasional. 

Sedangkan tingkat pertumbuhan PDB sektor pertanian dari tahun 2015-2019 adalah sebesar 3,37 persen atau lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan PDB Nasional yang mencapai 5,03 persen (Kementan 2020). Dalam hal penyerapan tenaga kerja, pada tahun 2019 pangsa pasar tenaga kerja di sektor pertanian sebesar 25,19 persen atau 31,87 juta orang dari total angkatan kerja sebesar 133,56 juta orang. 

Penyerapan tenaga kerja sektor pertanian pada Februari 2020 merupakan yang terbanyak yaitu sebesar 29,04 persen jika dibanding dengan sektor perdagangan besar dan eceran yaitu sebesar 18,63 persen dan industri pengolahan sebesar 14,09 persen. Penyerapan tenaga kerja sektor pertanian mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 28 persen per tahun. 

Neraca perdagangan sektor pertanian memiliki tren positif yang dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 11,89 persen per tahun. Begitu pun dengan nilai investasi, rata-rata pertumbuhannya positif dalam kurun waktu tahun 2014 -- 2019. Oleh karena itu, sektor pertanian sangat penting untuk terus didorong dan dikembangkan.

Agripreneurship secara bahasa berasal dari dua kata yaitu 'agriculture' yang berarti pertanian, dan 'entrepreurship' yang berarti kewirausahaan. Secara sederhana, dapat dipahami bahwa agripreneurship merupakan kemauan dan kemampuan pelaku usaha di sektor pertanian untuk mengumpulkan informasi, mengolah informasi, mengidentifikasi peluang, serta berani mengambil risiko untuk menciptakan peluang ekonomi baru, seperti produk baru, dan metode produksi baru serta gagasan- gagasan dan ide-ide yang inovatif ke pasar. 

Hal ini sejalan dengan Macher (1999), yang mendefinisikan agripreneurship sebagai perkawinan yang menguntungkan antara pertanian dan kewirausahaan, di mana pertanian dijalankan sebagai sebuah usaha bisnis.

Agripreneurship dipandang perlu untuk di tumbuh kembangkan disebabkan perannya yang penting dalam mendorong pertumbuhan bisnis yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi. 

Oleh karena itu, agripreneurship pada hakikatnya sangat berperan dalam membantu terwujudnya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs).

SDGs merupakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang terdiri dari 17 tujuan dengan 169 target yang memiliki tenggat waktu sampai tahun 2030. SDGs diusulkan untuk menjadi agenda pembangunan global, pertama kali diusulkan oleh pemerintah Kolombia, Peru, Guatemala dan Uni Emirat Arab sebelum konferensi Rio+20 pada tahun 2012. 

Pada 21 Oktober 2015, Tujuan ini baru secara resmi dicanangkan bersama oleh negara-negara lintas pemeritahan pada resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai ambisi pembangunan bersama hingga tahun 2030. 

Hakikat dari adanya SDGs adalah untuk menjaga peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan, menjaga keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat, menjaga kualitas lingkungan hidup serta pembangunan yang inklusif dan terlaksananya good governance yang mampu menjaga peningkatan kualitas kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Upaya untuk mewujudkan SDGs saat ini, dihadapkan pada suatu kondisi ketidakpastian dan tantangan untuk beradaptasi pada sebuah tatanan kehidupan baru yang disebut new normal, sebagai dampak mewabahnya Corona Virus Diseases yang ditemukan pada tahun 2019 (COVID-19). New normal mengharuskan setiap individu harus memperhatikan dan menerapkan protokol kesehatan mulai dari menghindari kerumunan (social distancing), menjaga jarak (physical distancing), memakai masker, dan sering mencuci tangan. 

Sehingga hal ini berdampak pada kegiatan di sektor riil yang harus bertransformasi dan beradaptasi dengan kondisi new normal. Dampaknya pada sektor riil dapat dilihat dari arus barang yang terhambat, kesulitan menemukan bahan baku, adanya tambahan biaya untuk kesehatan para pekerja, sampai pada harus mendigitalisasi kegiatan pemasaran dan transaksi. 

Hal ini diperparah dengan nilai tukar yang merosot serta pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mengalami resesi karena tumbuh secara negatif selama 2 triwulan berturut-turut di tahun 2020. Oleh karena itu, dalam upaya mewujudkan SDGs terutama dalam mencapai tujuan meniadakan kemiskinan (No Poverty) dan meniadakan kelaparan (Zero Hunger) menjadi sebuah tantangan tersendiri pada kondisi new normal.

No Poverty merupakan tujuan pertama SDGs, yang redaksinya adalah "Mengakhiri kemiskinan di manapun dan dalam semua bentuk". Selain No Poverty, tujuan lain SDGs yang mendapat tantangan pada new normal adalah tujuan tidak adanya kelaparan (Zero Hunger). Zero Hunger adalah tujuan kedua SDGs yang dalam redaksinya yaitu "Mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan nutrisi yang lebih baik dan mendukung 

Pada kondisi new normal, upaya untuk mewujkudkan no poverty dihadapkan pada tatangan banyaknya sektor usaha yang pailit, sehingga pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi hal yang tidak dapat dihindari. PHK akan berdampak pada bertambahnya jumlah pengangguran yang menurut data Badan Pusat Statistik pada Februari 2020, pengangguran di Indonesia bertambah 60 ribu orang yang diperparah dengan meningkatnya jumlah angkatan kerja sebanyak 1,73 juta orang. 

Swaramarinda (2014) dan Rahmawati et al. (2015) menyimpulkan, bahwa pengangguran mempunyai dampak terhadap kemiskinan atau jumlah penduduk miskin. Oleh karena itu, ketika jumlah pengangguran meningkat, maka dalam jangka panjang jumlah masyarakat miskin akan meningkat yang berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat.

Begitu pun dengan tujuan zero hunger pada kondisi new normal juga dihadapkan pada tantangan distribusi bahan makanan yang terganggu, kegiatan produksi yang macet, serta daya beli masyarakat yang menurun akibat dari penerapan protokol kesehatan yang sangat ketat. 

Menurut data yang dirilis oleh BPS (2020), pengeluaran konsumsi rumah tangga mengalami penurunan yaitu pada triwulan IV-2019 sebesar 2.303,6 triliun rupiah, menurun menjadi 2.280,5 triliun rupiah di triwulan I-2020. Hanum (2018) menyimpulkan, bahwa konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan rumah tangga, jumlah tanggungan keluarga, dan pendidikan.

Oleh karenanya, dalam upaya mewujudkan no poverty dan zero hunger, dibutuhkan peranan agripreneurship sebagai penyangga ekonomi (buffer economic) melalui paradigma new normal. Pertama, peranannya dalam penciptaan lapangan kerja yang berlandaskan inovasi. 

Seorang agripreneur memiliki kemampuan untuk menghasilkan ide-ide dan gagasan yang inovatif baik dalam menghasilkan produk baru, metode produksi baru, pasar baru sehingga diharapkan mampu beradaptasi dengan kondisi new normal. Penciptaan lapangan kerja berlandaskan inovasi pada akhirnya akan menekan angka pengangguran sehingga jumlah masyarakat miskin akan menurun.

Kedua, perannya dalam peningkatan pendapatan. Kemampuan mengambil risiko dan menghasilkan inovasi yang dimiliki seorang agripreneur akan mendorong terjadinya peningkatan pendapatan. Hal ini dapat dilakukan misalnya melalui transformasi bisnis dari bisnis konvensional menjadi bisnis berbasis digital. Transformasi bisnis menjadi sesuatu yang harus dilakukan di kondisi new normal agar bisnis dapat survive dan berkelanjutan.

Ketiga, peningkatan gizi dan kesehatan. Agripreneurship akan mampu mengelola pertanian secara efisien sehingga menghasilkan produk olahan pertanian dalam bentuk makanan dan minuman yang sehat, bergizi dan ramah lingkungan. Sehingga hal ini diharapkan mampu mengurangi stunting dan malnutrisi terutama di kondisi new normal, yang pada akhirnya dapat mewujudkan zero hunger.

Kelima, peningkatan ketahanan pangan secara keseluruhan dalam perekonomian nasional. Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan infrastruktur pedesaan, penelitian pertanian dan perluasan pelayanan, pengembangan teknologi dan tanaman serta bank genetik ternak dalam upaya untuk meningkatkan kapasitas produksi agrikultur.

Maka dapat disimpulkan, agripreneurship memiliki peranan yang sangat penting dan strategis sebagai buffer economic dalam mendukung terwujudnya SDGs terutama tujuan no poverty dan zero hunger melalui paradigma new normal. 

Peranan agripreneurship dapat dilihat dari kontribusinya pada berbagai pembangunan sosial dan ekonomi seperti penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan, pengentasan kemiskinan dan peningkatan gizi, kesehatan dan ketahanan pangan secara keseluruhan dalam perekonomian nasional. Pertanian berkelanjutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun