Mohon tunggu...
Adjie Firmansyah
Adjie Firmansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Haii, saya Adjie Firmansyah, dari Bantul, Yogyakarta. Saya membuat Artikel untuk tugas kampus mata pelajaran Pancasila yang diampu Dosen Ibu Setiati Widi.

Ikuti saya di Instagram : @_adjief atau di Facebook : Firmansyah Adjie

Selanjutnya

Tutup

Money

Resesi Ekonomi, Kota Wisata dan Kota Pelajar Kini Bebas dari Kebingungan Wisatawan dan Pelajar Asing

8 November 2020   23:00 Diperbarui: 8 November 2020   23:08 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada 2 Maret 2020, Presiden Indonesia Joko Widodo mengumumkan untuk pertama kalinya kasus Covid-19 pertama terjadi di Indonesia. Berawal dari 2 kasus, per 14 Mei 2020 jumlah kasus Covid-19 di Indonesia sudah mencapai 16.006. Jumlah kasus Covid-19 di Indonesia terus meningkat. Pemerintah pusat dan daerah terus mendorong jarak praktis dan melaksanakan kebijakan PSBB. Namun seruan alienasi artifisial dan penerapan kebijakan PSBB di beberapa daerah justru berdampak pada kegiatan ekonomi dan pendidikan Indonesia. Selama pandemi Covid-19, beberapa perusahaan, toko, lokasi wisata, sekolah, dan universitas harus ditutup. Dorong orang untuk membatasi aktivitas di luar rumah dan menjauh dari keramaian. Tentunya hal ini memindahkan aktivitas kantor dan sekolah ke rumah, yang melahirkan istilah “bekerja dari rumah” dan “bekerja dari rumah”.

Tidak ada kekacauan di Kota Jogja

Membatasi keberadaan aktivitas di luar keluarga awalnya membuat sebagian orang gelisah. Persis seperti yang terjadi di kota Jogja. Dikenal sebagai kota pariwisata dan pelajar, kota ini mulai mengalami perubahan drastis saat pandemi Covid-19 di Indonesia. Kota Jogja saat ini tidak seramai biasanya. Kota yang selalu ramai dikunjungi wisatawan dan pelajar asing dari berbagai daerah, kini mulai terasa sepi. Jogja yang merupakan kota pariwisata dan pelajar, kini sudah tidak ada lagi antusiasme wisatawan maupun pelajar luar negeri yang membuat khawatir sebagian orang. Bagaimana nasib pedagang toko suvenir tanpa turis dan pelajar luar negeri, penjual nasi sayur, dan pelaku industri pariwisata?

Jika Anda berjalan melalui Malioboro, Tugu Jogja dan Alun-Alun Kidul di Alun-Alun Utara yang jaraknya 0 kilometer, Anda pasti akan merasakan suasana yang berbeda dari tempat-tempat tersebut. Sebelum pandemi Covid-19, tempat-tempat yang disebutkan sebelumnya biasanya menjadi pusat keramaian, dan banyak turis bahkan pelajar manca negara berkeliaran di sana untuk hiburan. Tidak hanya wisatawan dan pelajar luar negeri yang tertarik ke sana, bahkan banyak pedagang kaki lima, pedagang angkringan, pedagang toko suvenir, tukang becak, supir gerbong dan profesional lainnya juga tertarik dengan kawasan tersebut. Mereka mengadu nasib di kawasan wisata tersebut untuk mencari kebutuhan yang memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga.

Tentu ada wabah Covid-19 di Kota Jogja yang membuat wisatawan tidak bisa mencapai Kota Jogja. Selain itu, pemerintah telah mengeluarkan peraturan yang mewajibkan masyarakat untuk melakukan perawatan fisik dan melarang bepergian ke luar kota. Hal tersebut mengakibatkan tidak ada wisatawan yang datang ke Kota Jogja. Mario Polo, yang biasanya penuh dengan turis, memang pendiam. Banyak toko di area tersebut tutup.

Penurunan ekonomi di kota pariwisata dan pelajar

Banyaknya tempat wisata dan toko suvenir yang tutup telah memperlambat perekonomian Jogja. Perlambatan ekonomi di Kota Jogja dipengaruhi oleh minimnya wisatawan. Alhasil, tempat wisata dan toko oleh-oleh di kota Jogja ramai dikunjungi wisatawan. Selain itu, banyaknya mahasiswa luar negeri yang kembali ke rumahnya membuat warung sayur dan nasi serta ruang asrama mahasiswa di sekitar kampus kosong.

Nurcahyo Nugroho (26/4/2020), Anggota Komite B DPRD Yogyakarta, mengatakan lumpuhnya sektor pariwisata dan pendidikan sangat mempengaruhi UMKM dan pekerja informal. Saat ini, karena tidak adanya turis, beberapa usaha kecil dan menengah sudah mulai tutup. Nurcahyo juga menambahkan, sejak mahasiswa luar negeri mulai kembali ke rumah masing-masing dan warung makan milik masyarakat juga tutup, jumlah warung makan pun semakin berkurang.

Meski begitu, keterpurukan ekonomi di Kota Jogja masih bisa diminimalisir. Kami merekomendasikan agar pemerintah kota bekerja sama dengan UMKM atau pedagang kecil yang terkena Covid-19. Misalnya, memberikan bantuan sembako dan berkumpul mungkin memerlukan transaksi pasar di kota Jogja atau pedagang beras untuk membeli produk dari mereka. Selain itu, pengadaan masker dan alat pelindung diri Pemkot juga dapat menarik minat peserta UMKM yang memiliki passion atau bisnis di industri menjahit. Oleh karena itu, peredaran uang terus berlanjut, sehingga selama pandemi Covid-19, UMKM dan pedagang tetap bisa mendapatkan penghasilan.

Oleh karena itu, pemerintah kota perlu memberikan kewenangan kepada peserta UMKM dan pekerjaan lain yang terkena dampak. Diharapkan orang-orang yang terkena dampak ini dapat selamat dari pandemi Covid-19. Akhirnya banyak pelaku usaha yang tidak bangkrut dan usahanya tetap terjaga, sehingga tidak kehilangan penghasilan dan bisa memenuhi kebutuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun