Ilustrasi - teror bom (Shutterstock)
Saya meyakini, kejadian ledakan dan tembak-tembakan di Sarinah kemarin akan memenuhi headline media. Benar saja, hampir seluruh media sosial maupun jurnalistik, nasional dan internasional memberitakan kejadian ini. Banyak kacamata (termasuk saya tentu) menghujat aksi teror yang konon katanya dikomandani oleh ISIS. Tapi dalam tulisan ini, saya tidak ingin mengulas ISIS secara mendalam, mengomentari trending topic tentang aksi heroik para polisi, tapi lebih ingin menjernihkan persoalan ini kepada pemerintah dan publik bahwa urusan keamanan, terlebih jika sudah berurusan dengan terorisme, seyogyanya tidak hanya dibebankan kepada aparat keamanan.
Tentu saja sesuai tugas dan fungsi, jajaran POLRI, TNI, BIN, dll sudah melakukan hal-hal yang semestinya. Namun, penanganan komprehensif beyond those boundaries, bagaimana tindakan antisipatif yang lebih sistematis, serta bagaimana korelasi, interdependensi, dan implikasi kejadian kemarin terhadap penyelenggaraan kehidupan bernegara menurut saya perlu lebih ditegaskan dan disosialisasikan lebih masif lagi.
Contoh sederhana, urusan kependudukan. Kita tidak pernah serius membenahi sistem kependudukan. KTP yang sedianya akan diberlakukan nasional belum ditindaklanjuti dengan integrasi sistem. Jika seluruh penduduk sudah terdata dengan rapi, sistematis, one single identity for one Indonesian citizen, terintegrasi dengan urusan perpajakan, pelayanan kesehatan dan pendidikan, dan senantiasa di-update mengikuti dinamika kependudukan (tempat tinggal, keluarga, pekerjaan, dll), maka kita bisa mengetahui identitas tetangga yang tinggal bersebelahan dengan kita. Pemerintah juga dapat dengan mudahnya menelusuri jika ada individu atau korporasi yang mengemplang pajak, kemudian melakukan transaksi keuangan di luar kewajaran untuk pembelian senjata, dsb.
Untuk itu, peran Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, BKKBN, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, dan tentu saja aparat POLRI menjadi sangat sentral. Bahkan Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM dengan sistem pembuatan paspor dan pengawasan yang ketat juga dapat memantau mobilisasi orang ke dalam dan luar negeri. Kerjasama yang solid dengan Interpol juga perlu mendapat perhatian lebih untuk mengantisipasi hal-hal seperti kejadian kemarin. Setidaknya, jika kita sudah memiliki daftar orang yang terindikasi terlibat dalam jejaring teroris internasional, upaya antisipatif dapat dilakukan.
Contoh lain, untuk urusan kepemudaan. Konon, mereka yang terlibat jejaring teroris internasional sudah “dibina” sejak mereka masih belia. Seyogyanya Kementerian Pemuda dan Olah Raga dapat mengantisipasi hal ini dalam implementasi kebijakan dan program-program prioritasnya. Tidak hanya semata membangun tempat olah raga (fisik belaka), tetapi lebih menaruh perhatian pada bagaimana para pemuda dirangkul dalam kegiatan-kegiatan yang positif, mendata seluruh organisasi kepemudaan dan ormas yang ada, menciptakan kolaborasi program dengan para pemuda, menyediakan ruang publik serta arena untuk berkreasi dan berinovasi, dsb.
Tentu saja kesemuanya tidak bisa dilaksanakan sendiri; kolaborasi dengan Kementerian lain, seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta institusi dan kelompok-kelompok komunitas di tingkat grassroot menjadi keharusan.
Kedua urusan tersebut seyogyanya dikoordinasikan dengan baik, agar kebijakan dan program yang dihasilkan dapat terarah dan segera dieksekusi oleh seluruh elemen masyarakat. Kementerian Koordinator PMK (saya sering mendengar banyak orang memplesetkan inisial ini sebagai Puan Maharani Kiemas) dapat merangkul seluruh elemen lembaga dan masyarakat; tidak hanya mengkoordinasikan kementerian/lembaga di bawahnya saja. Kementerian Koordinator Polkam, Kementerian Koordinator Perekonomian juga sah-sah saja duduk bersama dan mendudukkan isu ini sebagai isu prioritas yang harus ditangani bersama.
Isu lain yang menurut saya juga urgent adalah kepemilikan senjata. Aneh rasanya jika ada warga sipil yang menenteng senjata laras panjang dan sejumlah granat di tempat umum; dan mungkin saja masih memiliki sejumlah senjata dari berbagai jenis yang tersimpan rapi di gudang untuk dipergunakan di aksi-aksi selanjutnya (hal ini tentu tidak kita harapkan). Bagaimana ini bisa terjadi? Apakah tidak memungkinkan dilakukan pembatasan kepemilikan senjata bagi warga sipil? Atau malah tidak diperbolehkan sama sekali? Jika POLRI berkelit bahwa senjata dan bahan peledak tersebut di-supply dari luar negeri, maka pertanyaan saya selanjutnya adalah bagaimana bisa lolos dari kepabeanan? Apakah otoritas pelabuhan/terminal tidak memeriksa lebih mendalam surat-surat kepemilikan, asal senjata, dsb?
Kemudian, kebijakan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi juga harus diprioritaskan untuk mempermudah negara dalam menyelenggarakan segala urusan kepemerintahan; bukan malah mencederai publik dengan tayangan asusila, kekerasan, SARA, dsb. Disinilah peran Kementerian Komunikasi dan Informatika, Komisi Penyiaran Indonesia, para penyedia jasa telekomunikasi, termasuk TV nasional. Di beberapa channel TV didapati masih menayangkan film animasi yang muatannya tidak mendidik anak-anak, sinetron yang masih menjual kekerasan, dll.
Dalam kutipan Kompas beberapa waktu lalu, Ahok menyatakan akan memperbanyak CCTV di seluruh penjuru Jakarta. Hal ini tidak salah, namun seyogyanya kita patut mendudukkan persoalan pada misalnya, bagaimana memastikan bahwa seluruh CCTV yang dipasang juga di-record dengan baik (selalu dalam posisi ON), dan dapat diputar kembali sewaktu-waktu; bagaimana petugas keamanan mampu menganalisis (dan mencurigai) pergerakan orang ke dalam dan keluar gedung; bagaimana CCTV bisa diintegrasikan dengan sistem keamanan gedung sehingga bisa melokalisir situasi yang tidak diinginkan, dan lain sebagainya.
Teknologi informasi juga harus dipergunakan otoritas imigrasi untuk mendata serta mendokumentasikan pergerakan orang dari dan ke luar negeri, oleh kepala daerah untuk mencatat urbanisasi/transmigrasi dari dan keluar suatu daerah tertentu, oleh otoritas pelabuhan/terminal untuk merekam mobilisasi angkutan barang dari satu pelabuhan/terminal ke pelabuhan/terminal lain, dsb.
Dan terakhir, kita sebagai individu dan anggota masyarakat harus memposisikan diri sebagai elemen bangsa yang selalu aware dengan dinamika perubahan di sekeliling kita. Siapa tetangga sebelah kita, darimana ia berasal, apa latar belakangnya, bagaimana aktivitasnya, namun bukan bermaksud untuk “menjaga jarak”. Jika sedari dini sudah bisa diantisipasi bersama Ketua RT/RW/Lurah/Camat, maka aktivitas-aktivitas yang berkesan mencurigakan bisa segera dihentikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H