Mohon tunggu...
adjatwiratma
adjatwiratma Mohon Tunggu... Administrasi - Jurnalis, Guru

"Terus Bergerak Untuk Bermanfaat"

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Oh PPDB Bikin Galau?

20 Juni 2019   11:28 Diperbarui: 20 Juni 2019   11:53 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kang Adjat, Bagaimana pendapatnya tentang PPDB yang "lagi-lagi kisruh" ?

Sejumlah orang tua meminta sistem zonasi dalam PPDB dihentikan, kenapa ? apa masalahnya ?. Seperti diketahui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan peraturan Nomor 51 tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019. Permendikbud itu mengatur kuota PPDB tahun ajaran 2019/2020 dibagi menjadi tiga jalur, yakni Jalur Zonasi, Jalur Prestasi, dan Jalur Perpindahan Orang Tua.

Jalur Zonasi mewajibkan sekolah negeri untuk menerima peserta didik yang berdomisili sesuai zonasi, di mana seleksi dilakukan berdasarkan jarak antara domisili peserta didik ke sekolah. Tiap sekolah negeri wajib menerima peserta didik dengan kuota maksimal 90 persen dari daya tampung. 

Kuota ini pun berlaku bagi peserta didik yang tidak mampu dan penyandang disabilitas. Lalu jalur prestasi diperuntukkan bagi peserta didik yang berdomisili di luar zonasi. 

Peserta didik didaftarkan berdasarkan prestasi dari nilai USBN/UN atau hasil perlombaan atau penghargaan akademik/non akademik. Peserta dapat menyertakan bukti prestasi seperti sertifikat atau piagam hasil perlombaan. 

Serta jalur terakhir adalah jalur Perpindahan Orang Tua. Jalur ini berlaku untuk siswa yang orang tuanya mendapat perpindahan tugas. Melalui bukti surat penugasan dari instansi, lembaga, kantor, maupun perusahaan yang mempekerjakan orang tua, jalur ini juga berlaku untuk calon siswa yang tempat tinggalnya terkena bencana alam.

Apakah masyarakat sudah paham aturan di atas itu ? atau orang tua "galau" hanya karena jika dulu-dulu gak perlu pusing daftarin anak sekolah langsung ke lembaga yang dikehendati, sementara saat ini tidak demikian.

Saya termasuk orang yang setuju adanya zonasi sekolah, masalahnya adalah pelaksanaan sistem zonasi harusnya diterapkan bukan hanya dengan pendekatan administratif, tapi juga faktual. Selain itu, penerapan sistem ini juga harus disertai dengan survei populasi, dan yang juga harus dilakukan adalah pemerataan kualitas guru dan sarana prasarana pendidikannya.

Banyak orang tua calon peserta didik baru yang mengeluh sistem PPDB yang diterapkan saat ini, khususnya bagi mereka yang tinggal di daerah perbatasan. Tidak sedikit yang karena masalah alamat domisili, justru harus mendaftar di sekolah yang lokasinya lebih jauh dari rumahnya, padahal ada sekolah yang jaraknya lebih dekat tapi berbeda wilayah administratif. 

Hal ini tentu harusnya bisa diselesaikan dengan "diskresi" kepala sekolah. Dasar faktual harus menjadikan pertimbangan utama untuk bisa menerima peserta didik tidak sekedar domisili berdasarkan catatan kependudukan administratif. Untuk pengecualian ini sebetulnya ada celah aturannya, karena kuota zonasi menurut permendikbud adalah 90 persen, artinya ada 10 persen untuk yang dapat dikecualikan. 

Namun kewenangan Kepala Sekolah untuk melakukan "diskresi" tidak leluasa diberikan, karena praktek "koruptif" menjadi pengalaman buruk masa lalu. Maksudnya, bisa saja ada oknum Kepala Sekolah yang menggunakan kewenangan itu untuk memasukan calon peserta didik tertentu untuk diterima disekolahnya. Tentu hal ini bukan tanpa solusi, transparasi adalah jawabannya. Sistem harus dibuat dengan memungkinkan pihak lain melakukan pengawasan. Pertimbangan dasar faktual ini perlu ditentukan radius ideal bagi calon siswa yang dikecualikan tersebut.

Sistem online yang diterapkan membuat cara baca data yang masuk secara otomatis, kelemahan komputerisasi adalah tidak ada tatap muka (wawancara) dan survei lapangan sebagai dasar dari pengambilan keputusan. Tapi ini jauh lebih "fair," selama keamanan data terjaga, dan jaringan tidak mengalami gangguan.

Hal lain yang dikeluhkan para orang tua adalah saat harus memilih sekolah, terutama bagi siswa dengan nilai tinggi. Tidak meratanya kualitas guru dan sarana prasarana setiap sekolah, membuat masih banyak orang tua yang menginginkan anaknya bersekolah di sekolah tertentu. Persoalan ini sangat darurat harus diselesaikan pemerintah. Penghapusan stigma sekolah favorit dan non favorit harus dijawab dengan memberikan perlakuan yang sama kepada semua sekolah.

 Sayangnya sampai saat ini, hal itu belum dapat sepenuhnya terwujud. Harus diakui ada sekolah dengan guru-guru berprestasi dengan fasilitas memadai, namun ada sekolah dengan fasilitas yang tidak begitu istimewa.

Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang dilakukan setiap tahun harusnya tidak selalu kisruh setiap tahun. Ironisnya masalah selalu sama. Orang tua dibuat gelisan, khawatir anak mereka tidak diterima sekolah. Kegelisaan orang tua itu menular pada anak.

Selain soal pilihan sekolah, sistem zonasi yang tidak disertai dengan sistem populasi membuat penyebaran siswa setiap sekolah di setiap wilayah menjadi bermasalah. Pemerintah harus dapat memetakan berapa jumlah sekolah yang ada dalam satu wilayah, dengan jumlah calon peserta didik potensial yang tinggal di wilayah tersebut. 

Sehingga tidak ada sekolah yang sepi peminat, di tempat lain banyak calon peserta didik baru yang ditolak karena sudah melebihi kuota yang dimiliki sekolah. Tidak setiap kecamatan memiliki jumlah satuan pendidikan SD, SMP dan SMA/SMK yang sama. 

Di daerah bahkan satu kecamatan belum tentu punya SMA, atau punya SMA tapi tidak punya SMK. Atau ada pula di daerah-daerah perkotaan dengan jumlah penduduk padat, mereka harus bersangin ketat untuk bisa memasukan anak-anak mereka ke Sekolah Dasar. Persoalan jumlah siswa alih jenjang dan daya tampung sekolah yang belum memadai juga menjadi soal yang harus diperhatikan, agar kebijakan yang tujuanya baik itu bagus juga dalam pelaksanaanya.

Manajemen penerimaan peserta didik baru harus terus dibenahi dengan tidak hanya pada tataran aturan, tapi juga pelaksanaanya. Tujuan utama sistem zonasi untuk membuka akses dan keadilan pendidikan bagi semua harus dirasakan masyarakat. 

Saya setuju, semua anak punya hak yang sama dan tidak boleh ada diskrimnasi, tidak ada hak ekslusif dalam mendapatkan layanan pendidikan. Dalam hal ini sekolah negeri, dengan layanan dan fasilitas yang disediakan Negara sejatinya mengadopsoi sistem layanan publik.

Mengakhiri "kisruh" PPDB, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Ri jangan menunggu waktu lama untuk melakukan "Revolusi" pemerataan layanan pendidikan. Sistem zonasi nantinya bisa juga diterapkan tidak hanya bagi siswa tapi juga para guru dan tenaga kependidikan. 

Namun yang terpenting dari semangat tidak ada diskriminasi dalam pendidikan adalah pemerataan kualitas guru dan pemerataan layanan pendidikan di seluruh Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun