Mohon tunggu...
Aulia Diza Rachmawatie
Aulia Diza Rachmawatie Mohon Tunggu... -

Tidak hanya sekedar informatif, naratif dan pasif

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari Ujung Ke Ujung

25 Februari 2016   10:22 Diperbarui: 25 Februari 2016   10:36 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matahari sepertinya sedang bersemangat untuk memancarkan sinarnya, langit biru pun tak senggan memberikan pesonanya. Desiran ombak terus menghampiri para wisatawan yang menikmati Pantai Glagah di Kulon Progo, Yogyakarta. Hembusan angin membuat layang-layang berbentuk burung elang kuning mampu terbang begitu tinggi. Suasana seperti ini sangat pas untuk melepaskan kepenatan dari segala rutinitas bersama dengan orang terkasih. Tapi masih ada semangat untuk mencari rezeki sesuap nasi untuk keluarganya, seperti Ibu Sukastina si penjual layang-layang. Lapak layang-layang berada tidak jauh dengan bibir pantai, warna-warni burung berterbangan ketika angin menghampirinya. Dengan tergopoh-gopoh seorang perempuan berlari mendekati lapaknya yang hanya rakitan bambu ini dari arah persewaan kamar mandi. Perempuan ini mengawasi lapak layang-layangnya bersama sang suami dari persewaan kamar mandi.

 
[caption caption="Ibu Sukastina, Penjual Layang-Layang "][/caption]Wanita berambut pendek ini sudah lama membuka lapak menjual layang-layang semenjak tahun 1991. Awalnya Bu Sukastina ini membuka lapak pertamanya di sekitar Pantai Parangritis, namun pada tahun 2006 usaha layang-layang pindah ke Pantai Glagah setelah peristiwa gempa bumi Yogyakarta. Usaha ini dia lakukan bersama dengan keluarganya, dari pencarian bahan-bahan sampai pembuatan layang-layang. Dia dibantu oleh sang suami untuk memilih pilah pohon bambu, kain parasit dan benang. “Ya yang milih suami saya, suami saya milihnya dari Purworejo. Pohon bambunya lebih kuat dan tidak mudah berjamur, mempengaruhi terbangnya layang-layangnya”, ucap perempuan asli Yogyakarta. Kain yang digunakan menggunakan kain parasit, “Pertamanya dulu pake kertas biasa, tapi kalau anginnya kuat malah jadinya sobek. Terus punya ide menggantinya dengan kain parasit yang tahan angin dan kedap dengan air”. Kainnya pun berwarna-warni untuk menarik perhatian pembeli, ada warna biru, merah, kuning, ungu, dan oranye. Warna-warni kain ini dibeli di salah satu toko kain yang berada di daerah di Malioboro. Untuk menerbangkan layang-layangnya menggunakan benang wol yang kuat pula, supaya tidak mudah putus ketika diterpa angin kencang. Benang yang digunakan pun khusus juga dia beli bersama suami di pabriknya langsung, di Klaten. “Ya biar pun jauh, saya dan suami toh hasilnya tidak mengecewakan dan layang-layang tahan lama”, jawab Bu Sukastina dengan senyuman.

Layang-layang yang dia buat tidak hanya bersama dengan suaminya, wanita ini juga mengajak dua anaknya. Anak pertamanya adalah laki-laki, dia bekerja sebagai seorang wiraswasta yang umurnya masih 21 tahun. Anak sulung ini tidak melanjutkan tingkat pendidikannya karena waktu test penerimaan mahasiswa di perguruan tinggi negeri ini tidak diterima, dan obsesinya hanya ingin berkuliah di sana. Namun sudah hampir dua kali melakukan test hasilnya pun tetap sama, maka ia menyerah dan memilih untuk membantu ibu dan ayahnya. Anak keduanya merupakan seorang perempuan, yang kini sedang menempuh di bangku perguruan tinggi islam di Yogyakarta. Kedua anak dari pasangan Bu Sukastina dan Pak Yunianta membantu usaha layang-layang yang dimiliki orang tuanya jika mempunyai waktu luang. Jadi keluarga kecil ini membuat layang-layang bersama-sama.

Usaha layang-layang yang dimiliki oleh Bu Sukastina dan suaminya ini sudah pernah mengirimkan hasil karyanya hingga berbagai daerah seperti Sumatera, Kalimantan dan Bali, tidak hanya dalam negeri layang-layang ini pun terbang hingga sampai ke luar negeri seperti Perancis pada tahun 1997. Bu Sukastina menceritakan kesuksesan yang dialaminya dengan raut muka malu, berbicaranya pun sampai tertunduk. Namun, kesuksesan dari layang-layangnya ini mulai turun dengan kondisi moneter yang pernah dialami oleh Indonesia, membuat usahanya sedikit mengalami kemunduran. Hasil karya layang-layangnya pun tak mampu lagi untuk terbang tinggi. Dengan perlahan-lahan usaha yang dilakukan dengan penuh semangat ini Bu Sukastina bersama keluarganya memulai kembali merakit layang-layang untuk terbang tinggi lagi. Ketika merintis dari awal usaha ini kembali, pada tahun 2006 Tuhan memberikan cobaan lagi kepada Bu Sukastina dan keluarga. Gempa bumi yang menggoncangkan tanah Yogyakarta membuat rakitan hasil layangannya yang akan dikirim rusak semua karena tertimpa runtuhan bangunan rumahnya yang berada di Parangtritis ini.

[caption caption="Layang-layang yang dibuat oleh Ibu Sukastina beserta keluarganya "]

[/caption]
“Dua anak saya masih kecil, usaha yang kami rintis kembali jatuh setelah peristiwa itu. Saya dan suami hanya bisa pasrah, ndonga kalih Gusti Allah supaya diberikan kesabaran”, cerita Bu Sukastina dengan mata yang mulai sembab oleh air mata.
Dengan kesabaran dan keikhlasan wanita yang kelahiran tahun 1973 di Yogyaakarta ini memulai kembali merakit layang-layang, namun tidak lagi di Pantai Parangtritis dia mengilhami untuk melakukan buang sial. Bu Sukastina berpindah berjualan di Pantai Glagah. Jarak yang ditempuh dari rumahnya pun sangat jauh, hampir 21 kilometer ditempuh untuk membuat layang-layang ini terbang kembali. Menghabiskan waktu tempuh hampir satu jam perjalan dari rumahnya hingga tempat yang memberikan mereka rezeki ini.

“Waktu awal mau buka di sini tidak mendapatkan restu dari anak saya yang kedua, katanya terlalu jauh dan nggak bisa membantu karena kesibukan sekolah pada saat itu mulai padat. Pelan-pelan suami ngasih tahu alasan kami membuka lapak di sini bagaimana dan si cilik mulai paham. Tidak mudah emang dengan jarak yang ditempuh, namun kecintaan saya dan suami kepada layang-layang kami rela menempuh jarak jauh”, ujar Bu Sukastina.
Hasil karya layang-layang Bu Sukastina dan keluarga ada dua macam variasi, berukuran sedang dan besar. Untuk ukuran sedang dihargai sebesar Rp 25.000, sedangkan yang berukuran besar diberandol harga sekitar Rp 40.000 – Rp 50.000. ”dihargai sebesar Rp 25.000, sedangkan yang berukuran besar diberandol harga sekitar Rp 40.000 – Rp 50.000. ”Ya saya akui harga jual lebih
mahal ketimbang di tempat yang dulu, tapi itu sudah termasuk hitungan modal membuat layang-layang dan ongkos bensin dari rumah saya hingga sampai sini. Selain itu juga untuk kebutuhan sehari-hari”. Layang-layang ini hanya terbang pada hari Minggu dan hari libur dari jam 9 pagi hingga matahari terbenam pukul 6 petang.

Bu Sukastina dan suami merupakan salah satu orang yang mempunyai semangat tinggi untuk mempertahankan hidupnya dengan dua anaknya. Dari ujung ke ujung Bu Sukastina dan suami memperjuangkan layang-layangnya untuk tetap terbang tinggi walaupun jarak yang ditempuh jauh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun