[caption caption="Gapura dan meriam di kampung pungkuran "][/caption]
Melintas Pantura sebelum masuk kota Semarang tentu melewati sebuah kota kecil yang ramai dan padat atau istilah bulenya super crowded bernama Kaliwungu, kota kecamatan diKendal Jawa Tengah. Bagi wisatawan religi tentunya Kaliwungu sudah tak asing lagi karena banyak tokoh penyebar agama Islam dimakamkan di Kaliwungu. Kaliwungu menjadi tujuan peziarah untuk berziarah ke makam Kyai Guru/K.H Asy'ari, Sunan Katong, Sunan Pakuwojo, Pangeran Djuminah dan tokoh yang lainya.  Menurut ibu saya serta cerita masyarakat yang turun sudah temurun dan penegasan sumber literer yang minim, Sejarah Kaliwungu sendiri dimulai sejak diutusnya Sunan Katong dan Sunan Pakuwojo yang memberi nama Kaliwungu, dari karya Ahmad Hanam babad tanah kendal diketahui bahwa Sunan Katong pada masa Walisongo datang ke daerah ke Kaliwungu  yang saat itu masih menjadi wilayah Majapahit (mungkin di era keruntuhan Majapahit dan kemunculan kerajaan Demak Bintoro).
Sunan Katong dan bertemu dengan pemimpin lokal bernama Suromenggolo atau Pakuwojo yang notabene adalah seorang adipati dan empu yang sakti. Sunan Katong mengislamkan Pakuwojo dengan syarat sebuah pertarungan adu kasekten. Setelah kalah maka Pakuwojo pun masuk Islam dan diberi gelar Pangeran Pakuwojo. Sungai tempat pertempuran kedua tokoh tersebut dinamai Kaliwungu dan pohon kendal yang menjadi tempat persembunyian pakuwojo menjadi nama daerah yang kini menjadi kabupaten kendal.
Perkembangan selanjutnya adalah penyebaran Islam oleh Kyai Guru/ Kyai Asy'ari oleh kerajaan Mataram di Jogja pada abad 16 untuk menyebarkan agama. Kaliwungu pada masa lampau  merupakan sebuah kadipaten dibawah bendera Mataram.  Dalam bidang pemerintahan kadipaten Kaliwungu dipimpin oleh RM hadimanggolo I sebagai salah satu dari 7 orang adalah keturunan panembahan Djuminah putra dari Penembahan Senopati dari istri Retno Dumilah (putri bupati madiun).
Kondisi politik di mataram saat itu sedang goyah dan dikuasainya mataram oleh Inggris. Pada waktu itulah adanya usulan pemindahan pemerintahan kadipaten Kaliwungu ke Kendal pada tahun 1812 oleh patih Wiromenggolo. Wiromenggolo adalah wakil dari Raden tumenggung Prawirodiningrat I adipati Kaliwungu ke-15. Pemindahan kadipaten tersebut jelas ada unsur politis karena pada saat itu Deandels sedang membangun jalur Groote Postwegdari Anyer sampai Panarukan.
Pembaca yang budiman, cerita meloncat ketika Kaliwungu pada masa perang revolusi seorang bernama Haji Syafi'i berjasa karena menampung para pejuang kemerdekaan bunker miliknya dibawah tanah dirumahnya. Â Haji Syafi'i yang seorang pedagang batik dan memproduksi batik sendiri turut beliau lahir pada tahun 1903 dan wafat di tahun 1979. Haji Syafi'i membeli tanah dan bangunan yang dulu berdiri pendopo kadipaten Kaliwungu. Kenapa bisa dibeli dan kenapa bangunan pendopo tersebut beralih fungsi sebagai musholla tidak diketahui secara pasti. Sekarang diatas bekas kadipaten berganti menjadi sebuah mushalla dan sebuah madrasah. Menurut ingatan buk yah juga pada saat berumur 12-13 tahun pendopo kadipaten tersebut masih digunakan untuk persinggahan para pejabat keraton yang akan melaksanakan grebeg mulud di Kaliwungu. Dahulu para punggawa dan prajurit keraton singgah di kadipaten Kaliwungu lengkap dengan senapan laras panjangnya yang khas dan sebuah kereta kencana yang kini disimpan di pendopo kabupaten Kendal. Yang tersisa dari tempat berdirinya kadipaten kaliwungu sekarang adalah sebuah gapura bertuliskan "Pungkuran" dengan huruf Jawa dan sebuah meriam kecil yang berada ditengahnya.
Gapura tersebut masih sangat kokoh tapi sedikit tidak terawat, meriam yang berada ditengah gapura tersebut sebelumnya terletak agak didepan gapura. Namun almarhum pak Asrori (putra dari almarhum Haji Syafi'i) bersama warga pungkuran memindahkan meriam tersebut persis ditengah gapura karena dijalur jalan kampung Pungkuran. Buk yah bertutur bahwa pada tahun 1970-an di halaman pendopo kadipaten yang sekarang menjadi halaman mushalla ada taman dengan pohon beringin besar seperti di alun-alun keraton Jojga atau Solo. Selain pohon beringin juga ada pohon buah kawesto yang ditanam disekitar kadipaten konon cerita ditanam oleh orang keraton entah siapa buk yah tidak tahu pasti hehe ..sekarang hanya tinggal gapura dan meriam yang masih ada, bangunan tersebut menyimpan kenangan akan kejayaan dan perang. Â
Kaliwungu pada masa lampau adalah bagian dari pemerintahan monarki penguasa Jawa, kemudian terbentur dengan budaya kolonial  membawanya kepada mordernitas. Situs merefleksikan sejarah, gapura dan meriam tersebut adalah inskripsi, biografi historis yang merekontruksi ingatan peristiwa masa lalu, historis, kultur, supremasi, dan estetika. Religiositas tradisionalis menjadi warisan yang tersisa dari gempuran sporadis modernitas dikampung santri. Semoga kita tidak amnesia pada sejarah hehehe..salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H