Mohon tunggu...
De Nawar Mohammad
De Nawar Mohammad Mohon Tunggu... wiraswasta -

M. Adi Winarto—lebih akrab dipangil Ucok atau Unyil—kelahiran Situbondo 10 Maret 1984.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Melirik Kuda-Kuda Betina dari Timur

8 Juni 2012   19:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:13 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13391817491474396252

JEMBER (31/5)—Siang itu matahari amat terik. Hawa panas pun melingkupi area Hotel Bandung Permai di jalan Hayam Wuruk. Meskipun di setiap sudut gedung terpasang AC. Namun wajah-wajah mereka tetap senang, terpancar siluet bahagia yang berkilau. Sekitar 25 orang sedang asyik-masyuk obrol santai di meja makan sambil menikmati jamuan yang disuguhkan panitia. Yakni para peneliti Pusat studi Hak Asasi Manausia (PUSHAM) Universitas Airlangga.

Pertemuaan kali ini, merupakan kali kedua dalam setahun. Di mana pertemuan itu, merupakan inisiatif para peneliti Pusham Unair yang ingin menyodorkan suatu kontemplasi atas peran politik dalam membangun keseteraan gender. Pertemuan itu diformasi dengan ‘Forum Grup Diskusi’ (FGD) Kaukus Simpul Jember yang terdiri dari politisi perempuan, aktifis, serta pedagogi dari universitas-universitas di Jember yang berasal dari daerah Probolinggo, Jember, Situbondo, Bondowoso, dan Banyuwangi. Seperti yang diutarakan Bapak Hendra; “FGD ini dibuat sebagai inisiasi dalam menjejaring isu-isu jender. Sehingga para politisi perempuan yang berada di DPRD bisa melek atas problema-problema yang dihadapi para kaumnya. Sehingga bisa mengambil kebijakan dalam mengukuhkan kaumnya, demi kesederajatan.”

Mulanya di awal Januari tahun 2012 peserta FGD Kaukus Simpul Jember hanya dihadiri oleh sekitar belasan anggota; dengan mayoritas aktifis dari pelbagai organisasi masyarakat. Tak pelak pertemuan itu hanya menghasilkan refleksi atas kinerja para aktifis. Sedangkan kebijakan-kebijakan yang dicetuskan para politisi perempuan (legislatif) hanya sebuah dramaturgi politik. Namun amat berbeda dengan pertemuan kedua, kali ini, yang bisa menemukan simpulnya. Mulai dari menyamakan persepsi-objeksi untuk kesetaraan jender hingga membuat opsi-opsi program yang mendukung kesetaraan jender. Bahkan FGD berhasil membuat program diskusi tiap 3 bulan sekali.

Lebih dari itu, tiap legislatif memaparkan hasil observasi mereka atas kinerjanya. Mulai dari isu-isu yang menyangkut jender hingga perlindungan anak di masing-masing daerah. Daerah Jember mengidentifikasi isu jender mulai dari minimnya perlindungan TKW, perdagangan anak (human trafficking), serta birokratisasi pelayanan publik yang tidak efektif. Situbondo, minimnya penanganan masalah perempuan dan anak terlantar, praktik pencaloan TKW yang ilegal kian masif, dampak imlementasi perda prostitusi yang belum jelas, serta maraknya pernikahan dini yang dilakukan oleh keluarga miskin (yang minim pendidikan). Bondowoso, maraknya jumlah TKW ilegal serta perceraian akibat nikah-dini. Dari data Pengadilan Agama (30/12/2011): faktor krisis akhlak: 139 kasus, faktor cemburu: 208 kasus, cerai talak: 487 kasus, dan faktor gugat cerai: 544 kasus. Menilai faktor-faktor tersebut penyebab perceraian di Bondowoso dikarenakan faktor ekonomi. Maklum Bondowoso merupakan kota miskin di area se-eks kerasidenan Besuki. “Masyarakat Bondowoso masih banyak yang buta huruf serta ekonomi masyarakatnya masih rendah, jadi memungkinkan orang tua menyuruh nikah-dini bagi putra-putrinya,” ucap ibu Murti, aktifis jender dari Edelweis. Probolinggo, kasus yang kerap terjadi dan berakibat fatal terhadap kaum perempuan adalah KDRT dan pernikahan dini.

Menyimak data-data yang dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa kaum perempuan masih jauh dari kesetaraan. Mulai dari hidup yang layak dan sebagai istri.

Istal Kebijakan

Selama ini, kasusistik kesetaraan jender masih belum efektif dan tepat sasaran. Masih banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan, penganiayaan, bahkan produk hukum patrilineal. Semisal upah buruh perempuan lebih rendah, status janda masih menjadi tabu bahkan momok di mata sosial, serta perempuan selalu dianggap kaum inferior. Apalagi pelayanan publik dan kesejahteraan yang dihasilkan oleh produk-produk Perda masih jauh dari cita-cita perjuangan falsafah Pancasila yang berlandaskan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Adil bagi setiap WNI, tanpa pandang status jender.

Problema-problema yang menyangkut HAM, khususnya kesetaraan jender, perlu menjadi topik isu utama dalam komunikasi politik di daerah. Sebab komunikasi merupakan jalan utama dalam mengentaskan problema-problema tersebut. Dr. Rachmah Ida menyodorkan konsep komunikasi politik budget-jender dalam FGD Kaukus Perempuan Simpul Jember Ke-1 (25/01/2012) dalam membangun komunikasi politik; kesetaraan jender, dengan berbagai pihak demi terwujudnya kebijakan-kebijakan yang membawa kesetaraan jender. Pertama, komposisi komunikasi politik harus menyangkut semua lembaga pemerintahan, para analisii (LSM, lembaga riset, pusat kajian jender, dsb) serta media massa yang bertendensi pada rakyat, agama, kelompok dsb. Dengan begitu, kasus-kasus yang menyangkut kesetaraan jender dan perlindungan terhadap anak akan diserap, menjadi refleksi, lalu diimplementasikan dalam bentuk Perda. Sehingga kesetaraan jender dan pemenuhan HAM mampu menjadi produk sistem politik yang optimal.

Tapal Kuda

“Kultur masyarakat di daerah tapal kuda masih kental dengan tradisi pesantren. Jadi kita bisa ambil inisiatif dalam memerjuangkan hak-hak kaum perempuan, begitu yang diungkapkan oleh Ibu Ulfiah, legislatif (PKNU) dari Situbondo, di sela-sela pemaparannya kepada audiens. Selanjutnya, hanya sebagian ormas yang serius menangani kasus-kasus keperempunan. Di sini, seharusnya, ormas harus intenif dan progresif dalam melaporkan kejanggalan sosial—yang menyangkut tentang keperempuanan. Namun, sisi lain dari itu, Ummal Khoir (KPI Jember) membantah bahwasanya birokrat tak serius dalam menggelontorkan dana untuk ormas-ormas.

Di sini, seakan terjadi kontradiksi antara ormas dan badan legislatif dalam sistem komunikasi. Ada kesalah-pahaman. Seakan benang kusut. Maka dari itu forum yang digagas Pusham Unair bisa menjembataninya, sebagai upaya eningkatkan keejahteran dalam membangun maslahat—kesetaran jender. “Kalau kita sebagai perempuan tidak berjuang untuk kaum kita sendiri, maka kaum kita akan banyak menjadi korban penindasan-kejahatan,” seru Eri Andriani dri Rumah Perempuan Jember. “Maka kita perlu berjuang, kalau perlu merogoh kocek sendiri untuk mengangkat (menyederajatkan) harga-martabat kaum perempuan. Tak perlu tunggu donasi bantuan dari birokrat,” keluh salah satu aktifis BMI cabang Jember. Dengan begitu para perempuan di sekeliling kita bisa hidup sejahtera, damai-bahagia, serta bermartabat di mata dunia.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun