Menjadi mahasiswa yang hidup jauh dari orang tua alias menjadi perantau di kota yang jauh dari tempat tinggal membuat seseorang menjadi terlatih untuk mandiri dan bekerja keras.
Selain berfokus pada prestasi akademik, menjadi mahasiswa perantau juga diharuskan untuk dapat me-manage segi keuangan mereka.
Bayangkan saja, ketika uang jatah bulanan yang enggak seberapa itu harus berkelahi dengan keperluan praktikum atau iuran tugas akhir yang cukup besar. Tentu saja bagi mereka yang berasal dari golongan menengah kebawah akan berada pada kesulitan jika mereka tidak ahli dalam mengatur keuangan, khususnya jika sudah masuk akhir bulan.
Kini, di kehidupan sehari-hari mahasiswa Universitas Negeri Semarang muncul fenomena baru yang dianggap bisa menjadi pendulang pundi-pundi pendapatan tanpa harus terikat dalam suatu pekerjaan yang tetap.
Mereka menawarkan jasa yang dianggap lebih menggiurkan dibanding pemesanan jasa lain yang melalui aplikasi. Ya, mereka menawarkan jasa antar jemput (Anjem) dan jasa titip (Jastip).
Terkhusus jastip, mereka bukan hanya sekadar menitipkan untuk pembelian makanan saja seperti di aplikasi oren, melainkan bisa juga untuk mengantar suatu barang atau titip untuk membelikan suatu produk di suatu tempat, seperti di mall atau pusat perbelanjaan lain.
Sedangkan anjem, mereka hanya menawarkan jasa mengantarkan penumpang yang notabenenya adalah mahasiswa ke berbagai tempat. Mayoritas adalah mengantar atau jemput dari kampus ke kos, atau mungkin sebaliknya. Sedangkan rute lain yang cukup ramai digunakan adalah tempat pemberhentian kendaraan menuju luar kota seperti stasiun, terminal , atau bahkan bandara. Biasanya mereka yang menggunakan rute ini digunakan untuk pulang ke rumah atau bepergian ke suatu tempat.
Awalnya ikut-ikutan akhirnya keterusan
Sebetulnya, fenomena ini sudah muncul dari beberapa tahun yang lalu. Sejauh yang penulis tau, profesi ini sudah mulai merebak sejak pasca pandemi. Namun, jumlahnya tak semasif sekarang yang bahkan jika dihitung atau dilihat mereka yang berkecimpung dalam geliat jasa ini mungkin sudah 100-an lebih.
Tidak bisa dipungkiri bahwa mayoritas dari mereka yang terjun ke jasa ini adalah mahasiswa-mahasiswa yang ingin menambah uang saku mereka. Entah sekadar menambah uang jajan atau memang sangat membutuhkan sebagai pegangan.
Namun semakin kesini, semakin banyak pula tipe mahasiswa yang memiliki motivasi berbeda untuk menjadi bagian dari anjem/jastiper. Mereka tidak semata-mata mencari uang, namun mereka hanya gabut dan mengisi waktu senggang. Bahkan, ada juga modelan mahasiswa laki-laki yang menjadi driver anjem dan hanya menerima customer lawan jenis saja. Parahnya, mereka yang seperti ini terkadang mematok tarif dibawah rata-rata dari driver lain dan malah minta dibayar seikhlasnya. Entah murni ingin berbagi atau ada udang di balik bakwan, saya tidak paham.
Bagi penulis yang juga telah ikut bergabung menjadi driver selama 1 tahunan merasa resah dengan hal demikian. Namun rasanya hal seperti ini merupakan hal yang lumrah bagi mahasiswa, toh siapa tau mereka jadi bisa dapat jodoh dari yang semula langganan order di salah satu driver. Sesuai dengan falsafah jawa, "witing tresna jalaran saka anjem saben dina" , eh salah "saka kulina" maksudnya hehe.