Mohon tunggu...
Aditya Ikyan Haikal
Aditya Ikyan Haikal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Semarang

Viva Historia! - Sekalipun hidupmu tak tentu arah, kau tetap punya sejarah. Belajar dari itu, dan raih masa depan impianmu.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Problematika Sekolah Dasar di Pedesaan: Cerita Mahasiswa KM 5

7 April 2023   14:15 Diperbarui: 7 April 2023   14:20 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum membaca lebih jauh, hal pertama yang harus diketahui adalah tulisan ini merupakan cerita pribadi dari penulis dan tidak mewakili seluruh cerita dari mahasiswa kampus mengajar. Sehingga subjektifitas adalah hal mutlak pada tulisan ini. 

Sebagai informasi awal, program Kampus Mengajar sudah mencapai angkatan yang ke-5, dimana setiap angkatan diisi oleh mahasiswa yang melakukan penugasan selama satu semester.

Melansir pernyataan dari Nadiem Makarim, total mahasiswa yang telah mengikuti program Kampus Mengajar selama lebih dari 2 tahun ini adalah 70.000 mahasiswa. Dimana pada angkatan 5 ini menjadi jumlah pendaftar terbanyak dengan mencatatkan angka sampai 43.121 mahasiswa.

Dari banyaknya mahasiswa yang mengikuti program ini, tentu saja penempatannya juga berbeda-beda. Ada mahasiswa yang menempati lokasi penugasan di sekolah daerah perkotaan, ada juga yang di pedesaan dengan fasilitas yang seadanya. Salah satunya adalah saya.

Per tulisan ini dibuat, total masa penugasan yang sudah dijalani adalah tujuh minggu. Tentu saja selama masa itu sudah banyak informasi yang kami himpun mulai dari sejauh apa kualitas siswa, tipikal dan karakteristik siswa, serta berbagai cerita menarik lainnya seperti urban legend yang ada di sekolah. Maklum saja, namanya juga sekolah dasar. Dimana-mana selalu ada, tak terkecuali saya dulu, hahaha.

Namun ada satu cerita yang menarik, yakni permasalahan tahunan sekolah yang notabene berada di daerah pedesaan jauh dari hiruk pikuk kota. Di sekolah tempat saya melakoni penugasan, masalah utama yang terjadi di sini adalah minimnya jumlah siswa yang mendaftar di SD ini.

Kemudian saya telisik lebih jauh kiranya apa yang melatarbelakangi hal tersebut, ternyata permasalahannya cukup kompleks. Mulai dari masyarakat yang sudah memiliki mindset untuk tak memiliki banyak anak, masyarakat yang lebih memilih pendidikan berbasis agama, hingga persaingan sekolah untuk mendapatkan siswa.

Nah hal terakhir ini yang cukup menarik perhatian saya. Saya kira hampir di setiap SD yang ada di desa juga memiliki permasalahan yang sama. Ketika jumlah pendaftar hanya sedikit, maka akan muncul upaya untuk bersaing dengan sekolah lain.

Selain saling berusaha untuk memperbaiki kualitas pendidikan di tiap sekolah, mereka biasanya juga bersaing untuk melakukan pendekatan personal kepada orang tua calon siswa yang ada.

Pada kasus sekolah saya, masyarakat yang bertempat tinggal disini adalah masyarakat yang berbasis agama. Kehadiran sekolah yang berbasis pada hal keagamaan dalam satu desa yang sama mendorong para orangtua untuk menyekolahkan anaknya di tempat tersebut.

Namun hal ini perlahan mulai berubah semenjak SD Negeri juga berkembang kearah yang lebih baik. Dengan melihat kondisi sosial masyarakat yang seperti itu, SD Negeri yang berada pada daerah ini juga melakukan pembiasaan agama pada kegiatan sehari-harinya.

Seiring berjalannya waktu, persaingan antar sekolah tidak hanya terbatas pada sekolah di satu desa saja. Sekolah pada desa lain juga turut datang ke desa untuk menarik orangtua agar menyekolahkan anaknya di tempatnya.

Tak heran persaingan ini perlahan berubah ke persaingan yang cenderung negatif. Berbagai penawaran dilakukan, mulai dari antar jemput sekolahan hingga pemberian sesuatu kepada orang tua calon siswa.

Nah biasanya yang penawarannya lebih baik maka di tempat itulah mereka akan mendaftarkan anaknya untuk sekolah. Ini yang saya khawatirkan jika hal ini terus berkembang hingga sekarang.

Orang tua tidak memilih sekolah berdasarkan kualitas dan kompetensinya melainkan dari menarik atau tidaknya penawaran yang diberikan.

Satu hal yang saya harapkan, semoga praktik ini tidak terus berkembang kedepannya. Karena sekolah tempat saya melakoni penugasan mungkin pernah menjadi korbannya, karena saat ini sekolah ini tidak memiliki siswa kelas 5. Yang artinya tidak ada pendaftar pada tahun tersebut.

Semoga para orangtua di masa yang akan datang dapat lebih selektif dalam memilih sekolah tempat anak menimba ilmu, karena pada dasarnya masa sekolah dasar adalah saat bagi anak untuk mengembangkan kemampuan akademik hingga hal yang berkaitan dengan perkembangan kepribadian anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun