Besok aku bebas. Segala harapan dan kenangan berkecamuk mencambuk urat syaraf dalam tubuhku. Antara riang karena kubisa pulang dan bertemu anakku, pun ketakutanku jika nanti tak seorangpun yang mau menerimaku. Tak mudah mengubah persepsi orang tentangku.
Dua puluh lima tahun bukanlah waktu yang singkat untuk dilewatkan dalam pengasingan. Dua puluh lima tahun bukanlah waktu yang singkat untuk dilewatkan dengan menyaksikan kekerasan setiap pagi. Pun bukan waktu yang singkat untuk dilewatkan tanpa anak dan istriku.
Entah sudah seperti apa anakku kini, dua puluh lima tahun bukanlah waktu yang singkat. Mungkin sekarang dia sudah kuliah pada satu perguruan tinggi ternama, atau mungkin ia sudah bekerja pada kantor yang nyaman, atau mungkin ia sudah tinggal serumah dengan teman hidupnya. Kalaupun ia sudah menikah, semoga ia menjadi suami yang baik. Bukan sepertiku. Ah, entahlah, toh ia juga sudah tak mau lagi bertemu denganku sejak saat itu.
Entah bagaimana istriku kini, masihkah dia cantik seperti saat kutinggalkan. Kurasa masih. Entahlah, apakah ia sudah membangun rumah tangga kembali bersama pria lain yang lebih baik. Atau malah, ah, aku tak berani membayangkan yang terlalu jauh dari kuasaku. Andai saja ia masih mau menerimaku kembali nanti. Ah, mana mungkin. Siapa yang mau menerima mantan narapidana sepertiku. Bahkan mungkin dia juga sudah lupa siapa aku.
Entah bagaimana keadaan ibu dan ayahku kini, masihkah mereka bugar? Entahlah, aku pun tak pernah berani menganggap diriku sebagai anak mereka. Terlalu memalukan sepertinya.
Pagi ini, aku masih bisa berteman kopi dan bermesraan dengan kretek. Tapi seminggu lagi, masih mungkinkah? Entahlah, setidaknya kalaupun aku tak lagi bisa menikmati kopi dan kretek, aku akan sangat bersyukur bisa melihat dunia. Terlalu lama aku terasing dari dunia nyata, dunia dimana aku bisa mendengar jerit anak-anak kecil yang berlarian. Dunia dimana aku dapat menyaksikan ratusan supir bus yang tampak ceria mengendarai senja.
“Jarwo, siapkan barang-barangmu. Besok kamu bebas.”
“Baik, pak. Sudah.”
Seorang petugas tiba-tiba membuyarkan lamunanku.
Ah, sampai dimana tadi? Sampai dimana lamunanku? Sampai pada masa laluku yang kelam? Atau sampai pada masa depan cerah yang kudambakan?
“Jarwo, waktunya sarapan.”
“Aku menyusul saja lah, Tim.”
“Ayolah, ini sarapan terakhirmu di tempat ini bukan?”
“Ya. Baiklah.”
Kulepaskan kata terakhirku sambil tersenyum lega menyambut kebebasan yang dijanjikan padaku esok hari. Aku melangkah bersama Timo, kawan yang lebih lama mendekami tempat terkutuk ini daripadaku.
******************
Senja sudah pergi, udara dingin mulai menghampiri, aku pun masih duduk sendiri terpisah dari kawan-kawanku. Ilusi kegembiraan menyelinap diam-diam ke dalam kepalaku. Masih saja ia hadir dalam wujud yang sama dengan ilusi pagi tadi.
Dalam hening malam ini, tiba-tiba seseorang menepuk bahuku dengan halus dan perlahan. Aku enggan menengok, demi mempertahankan ilusiku.
“Sayang, sudah malam. Tidur dulu.”
“Ehmm, sedikit lagi, sayang.”
“Besok kamu mesti berangkat pagi ke kantor kan, sayang?”
“Iya, sayang.”
“Tidur dulu, sayang. Tidak ada deadline untuk ceritamu ini bukan?”
“Hmmm, iya. Baiklah, sayang.”
Ah, sampai dimana ceritaku? Kali ini benar-benar buyar ilusiku tentang penjara dan kebebasan yang dijanjikan esok pagi. Sampai dimana Jarwo dan Timothy? Ah, ya sudah lah. Lebih baik aku tidur, toh aku juga sudah begitu merindukan pelukan istriku. Selalu ada yang menyenangkan di malam seperti sekarang ini bersama istriku. Mungkin lebih dari sekadar pelukan dan kecupan.
Sudahlah, kuakhiri cerita ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H