Mohon tunggu...
Aditya Wirananda
Aditya Wirananda Mohon Tunggu... Penulis - Biasa saja

Saya hanyalah kata ganti orang pertama dalam Bahasa Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mangan Ora Mangan Kumpul

21 Oktober 2011   13:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:40 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pepatah jawa kuno yang kerap kali terdengar di semua kalangan di Indonesia. Sebuah jargon yang dipegang erat oleh kebanyakan keturunan Jawa. Ya, mangan ora mangan penting kumpul. Makan tidak makan, asal bisa kumpul. Sebuah pepatah yang mengibaratkan pentingnya persaudaraan dan silaturahmi ketimbang harta dan kekayaan.

Saat ini, masihkah pepatah tersebut diterapkan dalam kehidupan nyata? Dan kalaupun masih diterapkan, masih relevan juga kah?

Kenyataannya, saat ini tidak lagi banyak ditemukan perilaku yang menyiratkan berlakunya pepatah itu. Bahkan pada sebagian orang Jawa sendiri. Ada beberapa hal yang menunjukkan lunturnya pepatah kuno itu. Salah satunya budaya merantau.

Kalau memang orang masih memegang erat pepatah itu, mestinya ibukota tak semakin padat setiap harinya. Mestinya setiap pasca lebaran, tidak banyak pendatang baru di ibukota. Namun pada kenyataannya, tetap saja setiap lebaran usai dan setelah musim kelulusan sekolah menengah, ibukota selalu mengalami penambahan penduduk. Alasannya begitu klasik dan sederhana, mengadu nasib. tentu, hijrah para penduduk ke ibukota beralasan untuk mencukupi nafkah, meski pada kenyataannya belum tentu terwujud juga cita-cita agungya. Ini adalah sebuah gambaran sederhana lunturnya wejangan "mangan ora mangan kumpul", dimana setiap personal sudah lebih mementingkan kesejahteraan pribadi ketimbang bertahan bersama sanak kerabat di kampung.

Berikutnya, lebih tampak jelas pada perilaku wakil rakyat di negeri ini. Bukannya mementingkan silaturahmi pada rakyat yang diwakili, justru dengan gencar memenuhi hasrat bergelimang harta. Padahal, banyak juga wakil rakyat yang berasal dari Jawa. Mestinya, kalau memang masih menjunjung wejangan kuno "mangan ora mangan kumpul" tidak akan terjadi perilaku-perilaku demikian. Lha wong dari pepatah tadi sudah jelas bahwa kebutuhan akan harta bukan sesuatu yang kepentingannya di atas silaturahmi.

Namun memang, ketika mulai menilai relevansi pepatah kuno tadi dengan keadaan sekarang, tentu tidak sepenuhnya relevan. Jelas saja, saat ini persaingan semakin ketat, lapangan pekerjaan terbilang sempit, kesejahteraan masyarakat semakin mendekati garis kemiskinan, tentu menjadi penghalang utama untuk mengembangkan budaya "mangan ora mangan kumpul".

Di daerah, lapangan pekerjaan sangat minim. Ditambah lagi tingkat pendidikan masyarakatnya tidak begitu tinggi, ketrampilan yang juga minim, serta arus informasi yang tak sederas di kota. Bagaimana bisa hal yang demikian mendorong masyarakat di daerah untuk tidak merantau? Dan lagi, pepatah "mangan ora mangan kumpul" juga mempersyaratkan adanya satu pihak yang dapat membantu dalam segi finansial. Bayangkan saja, sejuta fakir berkumpul tanpa ada pekerjaan apapun, tanpa keahlian apapun, dan tanpa seorangpun yang menyantuni.

Yah, itulah sekelumit tentang "mangan ora mangan kumpul" di masa ini. Andai bertemu keruwetan dalam tulisan ini, maka anda telah menemukan ilustrasi keruwetan yang sedang terjadi di negara ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun