Mohon tunggu...
Aditya
Aditya Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Sosiologi

Mengharap semua orang senang dengan pikiranmu adalah utopis. Keberagaman pikiran adalah keniscayaan yang indah.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Bukan Tanah yang Salah

20 September 2019   07:32 Diperbarui: 20 September 2019   23:39 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia merupakan Negara agraris di mana sebagian besar masyarakatnya bercocok tanam, dan salah satu tanaman yang dibudidayakan ialah kelapa sawit. 

Di indonesia lahan perkebunan kelapa sawit, menurut Ditjen Perkebunan tahun 2018 mencapai 12,3 Ha, baik itu Perkebunan Rakyat, Perkebunan Swasta Besar, maupun Perkebunan Negara Besar. 

Produksi minyak sawit nasional mencapai 35,36 juta ton dengan produktivitas 3,82kg/Ha, tak khayal kelapa sawit pada tahun 2018 menyumbang devisa bagi negara mencapai 20,54 miliar dollar AS. Angka yang fantastis bukan?

Kelapa sawit dalam kehidupan sehari-hari manusia di berbagai negara sangat mengakar, terbukti dari turunan produk minyak kelapa sawit seperti margarin, sabun mandi, mie instan, kosmetika, makanan ringan, obat-obatan, bahan bakar non fosil, selai, cokelat, sampo, detergen dan masih banyak lagi yang mengandung minyak sawit yang tanpa sadar kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Gambut pada dasarnya lahan basah yang terbentuk dari tanaman, tumbuhan, pohon dan jasad hewan yang menumpuk dan membusuk selama ribuan tahun sehingga membentuk endapan yang tebal. Sedangkan luas dan persebaran lahan gambut di Indonesia mencapai 15-20 juta Ha atau 10.8% dari luas daratan Indonesia. 

Namun apa jadinya budidaya kelapa sawit di lahan gambut? Sawit di lahan gambut ibarat dua mata pisau, yang memberikan dampak terhadap makhluk hidup di sekitarnya. 

Gambut merupakan ekosistem bagi fauna seperti, buaya sinyulong, macan sumatera, beruang madu, tapir, dan sejenis angsa sayap putih. Juga flora seperti, pulai, ramin, jelutung, nanas, meranti, durian, getah sundi, jambuan, geronggang, kayu hitam dan pala. 

Kelembapan gambut harus senantias terjaga, jika tidak, lahan gambut akan melakukan pemberontakan dan masyarakat di lahan gambut dapat kehilangan mata pencahariannya.

sumber: flickr.com/yudanialamsyah
sumber: flickr.com/yudanialamsyah
Penulis yang tinggal di Bukit Nenas, Kota Dumai, Riau, memperhatikan fakta sosial bahwa masyarakat mengalih fungsikan lahan gambut menjadi perkebunan sawit dan membuka lahan dengan menebang pepohonan yang hidup di atas gambut tersebut.

Hal ini tentu membuat sinar matahari mengarah langsung ke gambut yang membuat proses penguapan terjadi semakin cepat dan membuat kelembapan gambut berkurang. 

Sawit dalam pertumbuhannya menyerap banyak air, hal ini juga sangat mempengaruhi kelembapan dari gambut. Dan dari pengamatan langsung penulis yang beberapa kali melangsir sawit milik kakek, gambut yang ditanami sawit mengalami pengeringan. 

Pengeringan lahan gambut memang dapat kembali dibasahi dengan bantuan hujan, namun itu dalam lingkup kecil. Apabila pengeringan dilakukan secara masif untuk kepentingan perkebunan dan dalam keadaan kering, lahan gambut akan sangat mudah terbakar.

Tulisan ini bukan sekadar isapan jempol semata karena ketika penulis menulis artikel ini, Riau dan Kalimantan sedang diselimuti kabut asap yang tebal. Penulis yang sedang berkuliah di Universitas Riau, Kota Pekanbaru sudah seminggu diliburkan dan menghirup udara tidak sehat. 

Bahkan kualitas udara Pekanbaru tanggal, 19 September 2019 menurut BMKG, konsentrasi partikulat menunjukkan angka 363.92 gram/m3. Angka tersebut menunjukkan kualitas udara di Pekanbaru saat ini berada pada level berbahaya. Lantas ini salah siapa?

Buruh sawit sedang melangsir sawit yang dipanen (sumber: star2.com/Malaysian Palm Oil Council)
Buruh sawit sedang melangsir sawit yang dipanen (sumber: star2.com/Malaysian Palm Oil Council)
Hal ini di masa mendatang tentu dapat kita cegah bersama, apabila masyarakat tetap ingin menanam kelapa sawit di lahan gambut, harus memperhatikan beberapa hal seperti ketebalan lahan gambut. 

Ketebalan lahan gambut yang boleh ditanami ialah gambut dengan ketebalan kurang dari tiga meter minimal 70% dari lahan yang mau ditanami sawit, lapisan tanah mineral dibawah gambut tidak boleh terdiri dari pasir kuarsa dan tanah sulfat masam. 

Tingkat kematangan gambut yang boleh untuk pengembangan budidaya kelapa sawit ialah dari tingkat matang dan setengah matang, sedangkan gambut mentah dilarang untuk dibudidaya kelapa sawit. Dan yang terakhir tingkat kesuburan gambut dengan kandungan unsur hara makro dan mikro yang cukup untuk budidaya kelapa sawit.

Kerja sama pemerintah dan masyarakat dalam memberikan edukasi, pengawasan, serta penerapan persyaratan tumbuh kelapa sawit di lahan gambut kepada petani sawit sangat dibutuhkan serta dimasifkan. Untuk membangun industri kelapa sawit di lahan gambut yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, menuju persawitan nasional yang kuat dan hebat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun