Pengeringan lahan gambut memang dapat kembali dibasahi dengan bantuan hujan, namun itu dalam lingkup kecil. Apabila pengeringan dilakukan secara masif untuk kepentingan perkebunan dan dalam keadaan kering, lahan gambut akan sangat mudah terbakar.
Tulisan ini bukan sekadar isapan jempol semata karena ketika penulis menulis artikel ini, Riau dan Kalimantan sedang diselimuti kabut asap yang tebal. Penulis yang sedang berkuliah di Universitas Riau, Kota Pekanbaru sudah seminggu diliburkan dan menghirup udara tidak sehat.Â
Bahkan kualitas udara Pekanbaru tanggal, 19 September 2019 menurut BMKG, konsentrasi partikulat menunjukkan angka 363.92 gram/m3. Angka tersebut menunjukkan kualitas udara di Pekanbaru saat ini berada pada level berbahaya. Lantas ini salah siapa?
Hal ini di masa mendatang tentu dapat kita cegah bersama, apabila masyarakat tetap ingin menanam kelapa sawit di lahan gambut, harus memperhatikan beberapa hal seperti ketebalan lahan gambut.Â
Ketebalan lahan gambut yang boleh ditanami ialah gambut dengan ketebalan kurang dari tiga meter minimal 70% dari lahan yang mau ditanami sawit, lapisan tanah mineral dibawah gambut tidak boleh terdiri dari pasir kuarsa dan tanah sulfat masam.Â
Tingkat kematangan gambut yang boleh untuk pengembangan budidaya kelapa sawit ialah dari tingkat matang dan setengah matang, sedangkan gambut mentah dilarang untuk dibudidaya kelapa sawit. Dan yang terakhir tingkat kesuburan gambut dengan kandungan unsur hara makro dan mikro yang cukup untuk budidaya kelapa sawit.
Kerja sama pemerintah dan masyarakat dalam memberikan edukasi, pengawasan, serta penerapan persyaratan tumbuh kelapa sawit di lahan gambut kepada petani sawit sangat dibutuhkan serta dimasifkan. Untuk membangun industri kelapa sawit di lahan gambut yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, menuju persawitan nasional yang kuat dan hebat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H