Mahkamah Konstitusi telah menetapkan Jokowi-Ma'ruf menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia terpilih untuk lima tahun mendatang. Intensitas persaingan juga mulai menurun dengan bertemunya dua kesatria yang bertarung di Pilpres 2019 di gerbong MRT, ini menandakan pertarungan telah usai. Meski tidak dapat kita pungkiri masih ada  beberapa pihak yang tidak sepakat adanya rekonsiliasi seusai Pilpres.
Kini yang menjadi perbincangan hangat apakah Gerindra akan ikut nyemplung kedalam kolam koalisi pemerintahan atau akan tetap setia menjadi oposisi bersama PKS. Patut kita tunggu keputusan sikap dari Gerindra.
Mari kita tinjau dari teori Dramaturgi yang dicetus oleh Erving Goffman, seorang Sosiolog asal Kanada. Goffman menyadari diri bukan milik sang aktor, tetapi lebih tepatnya sebagai produk interaksi dramatik antara aktor dan audiens. Diri "adalah suatu efek dramatik yang sedang muncul.. dari suatu adegan yang disajikan" (Ritzer 2012: 637).
Selama kompetisi berjalan, kedua belah pihak saling adu visi dan misi, gagasan, serta saling kritik dan menyikut. Sikap ini tentu tidak lain merupakan peran yang dimainkan di panggung sandiwara, Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat berperan sebagai oposisi sedangkan PDIP dan konco berperan sebagai petahana.
Setelah kontestasi usai, Gerindra dalam mengambil sikapnya kedepan akan tetap menjadi oposisi atau malah masuk ke koalisi petahana, tidak lepas dari perdebatan-perdebatan internal Gerindra tentang asumsi publik akibat dari putusannya kedepan.
Isu bahwa PAN dan Demokrat akan bergabung dengan koalisi petahana juga kuat berhembus, kita tentu tidak mau Kabinet Jokowi menjadi gendut dengan partai-partai masuk semua kedalamnya tanpa ada yang menjadi oposisi. Harus tetap ada yang berada di lingkaran oposisi demi keberlangsungan demokrasi agar Indonesia tidak menjadi otokrasi.
Otokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya dipegang oleh satu orang. Istilah ini diturunkan dari bahasa Yunani autokratr yang secara harfiah berarti "berkuasa sendiri" atau "penguasa tunggal".
Oposisi yang diisi hanya oleh PKS tentu tidak mempunyai power lebih di parlemen, oposisi membutuhkan Gerindra sebagai kekuatan untuk mengawasi jalannya pemerintahan melalui DPR RI.
Kita ambil contoh, ketika dalam menjalankan pemerintahan nanti, Pertamina menaikkan harga Premium hal tersebut tentu merugikan rakyat menengah kebawah yang secara finansial tidak stabil, atau melanggar UUD maupun UU, disinilah peran DPR RI sangat dibutuhkan sebagai pengawas eksekutif. Dalam menentukan sikapnya DPR RI juga harus melalui musyawarah di sidang apabila tidak menemui titik temu harus dilakukan voting, bila di sidang kader-kader oposisi hanya sedikit sudah tentu akan kalah.
Kader-kader yang melenggang ke senayan tidak hanya Gerindra, PAN, PKS dan Demokrat, ada PDIP serta partai-partai koalisi petahana yang juga turut duduk di parlemen. Bisa-bisa DPR RI mangguk-mangguk saja nanti, tentunya kita tidak mau DPR RI kedepan akan adem ayem saja melihat pelanggaran maupun hal-hal yang merugikan rakyat terjadi.