Setelah peristiwa aksi penolakan beberapa waktu yang lalu, sosok ahmad dhani pentolan grup band Dewa 19 kembali viral diperbincangkan oleh masyarakat, terutama kalangan elit politik, akibat cuitannya di twitter yang menjurus kepada ujaran kebencian. Dimana hal tersebut tentu tidak dibenarkan, karena telah diatur di dalam UU.
Berikut tiga cuitan Ahmad Dhani di twitter:
Yg menistakan Agama si Ahok... yg di adili KH Ma'ruf Amin...ADPÂ Â
Siapa saja yg dukung Penista Agama adalah Bajingan yg perlu di ludahi muka nya - ADPÂ
Sila pertama KETUHANAN YME, PENISTA Agama jadi Gubernur...kalian WARAS??? - ADPÂ
Menurut ahli Bahasa Indonesia dari Kemendikbud, Suryontoro. Ia berpendapat, tiga cuitan Ahmad Dhani tentang penista agama dalam rentang Februari-Maret 2017 merupakan satu rangkaian. Ketiganya berada dalam satu konteks yang sama. "Konteksnya kan Pilkada 2017,"
Suryontoro menambahkan, ada penguatan ujaran kebencian dari Ahmad Dhani terhadap Ahok. Suryontoro menunjuk penggunaan huruf kapital oleh Ahmad Dhani dalam kalimat yang dicuitkannya 6 Maret 2017: Siapa saja yang dukung Penista Agama adalah Bajingan yang perlu diludahi mukanya - ADP
Menurut Suryontoro, dalam kaidah Bahasa Indonesia, penggunaan huruf kapital berarti definit, atau dapat dipastikan. Itu artinya, dalam cuitan Dhani, kata penista agama dengan huruf awalan kapital jelas ditujukan pada pihak tertentu.
Setelah ahmad dhani divonis 1,5 tahun penjara, reka-rekan politiknya mulai memanfaatkan momentum tersebut untuk menyerang kubu sebelah dengan komentar-komentar kepada media massa bahwasanya rezim takut dan sebagainya.Â
Dari sini begitu jelas terlihat, kubu oposisi juga tidak tinggal diam, kubu oposisi coba utnuk mendapat simpati masyarakat dengan memberikan bantuan hukum kepada tersangka, Ahmad Dhani.
Saya melihat, semakin mendekati hari pemilihan semakin banyak polemik yang timbul, dan ada segelintir orang yang memanfaatkan polemik itu untuk keuntungan kelompoknya. Tentu hal ini akan semakin membuat masyarakat kabur, kabur dalam melihat pemimpin yang benar-benar bersih.
Pilpres 2019 kali ini memang menjadi panggung yang amat panas, jauh berbeda dari pilpres sebelum-sebelumnya. Ini tampak dari kubu oposisi yang dibelakangnya disuport oleh Persatuan Alumni 212 yang mengangkat isu agama, ulama yang dzalimi, dan banyak lagi. Dampak yang dihasilkan tentu saja terbelahnya masyarakat.
Dilapangan memang banyak ulama yang dikasuskan ke polisi, namun kita lihat kembali apa yang membuat itu terjadi. Tidak mungkin ada api tanpa asap. Kita harus jeli dalam melihat kasus, jangan terjebak oleh pendapat-pendapat yang mencoba mempolititsasi keadaan sedangkan penyebab hal itu dapat terjadi kita kabur dalam melihatnya.
Kemudian dalam menerima berita broadcast di aplikasi sosial media juga kita harus dapat mefilternya, lihat sumbernya apakah jelas atau tidak. Sebab dizaman saat ini berita-berita yang tidak bersumber sangat mudah disebar dan tak sedikit pula yang menelan bulat-bulat berita tersebut tanpa ada pemfilteran terlebih dahulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H