Dari segi agamanya, orang Minangkabau umumnya sangat taat dalam menjalankan ajaran agama. Agama Islam mengajarkan mengenai kesetaraan, semua orang sama kedudukannya dimata Tuhan, yang membedakannya hanyalah ketakwaan masing-masing orang. Contohnya didalam sholat berjamaa, tidak ada tempat khusus untuk para pejabat atau tokoh-tokoh penting, siapa yang lebih dulu datang maka akan dapat barisan depat, sebaliknya yang datang lebih lama maka akan dapat barisan yang lebih belakang. Ajaran agama Islam sendiri sudah sangat melekat pada kebudayaan Minangkabau, sehingga timbullah pepatah populer di Minang yaitu “ adat basandi syara’,syara’ basandikan kitabullah” yang artinya adat bersendikan pada syariat Islam,syariat bersendikian kepada kitab Allah Swt, yaitu Al-Quran.
Budaya Merantau
Kata merantau sendiri memiliki arti berlayar ataupun mencari penghidupan di tanah rantau atau pergi ke negeri lain untuk mencari harta, ilmu dan sebagainya. Didalam Minangkabau, kata merantau adalah pergi jauh dari daerah “Ranah Minang” sebagai kampung halaman untuk berbagai keperluan dan dilatarbelakangi oleh berbagai faktor.
Tradisi merantau orang Minang sudah berkembang sejak abad ke-6M. Secara besar-besaran dilakukan masyarakat Minang pad abad ke-14 ke Malaysia (Negeri Sembilan) sehingga sampai saat ini, orang Minangkabau masih berkembang diwilayah tersebut.
Budaya merantau ada beberapa faktor yang mendorongnya, yaitu
a. faktor ekonomi
para perantau melakukan tradisi merantau dalam rangka untuk mencari penghasilan didaerah lain. Ini merupakan efek dari kurangnya lapangan pekerjaan dikampung halaman atau makin besarnya kebutuhan hidup dalam keluarga.
b. faktor matrilineal
seperti yang sudah disinggung dibagian sistem matrilineal tadi, harta keluarga dalam Minangkabau diturunkan kepada perempuan dan pihak laki-laki hanya memiliki hak kecil atau bahkan tidak sama sekali. Hal inilah yang menyebabkan para perantau didominasi oleh kaum lelaki.
c. faktor budaya
terdapat pepatah yang berbunyi “Karatau madang di hulu,babuah babungo balun. Ka rantau bujang dahulu, dirumah paguno balun”. berdasarkan pepatah ini, terdapat kebiasaan dikeluarga Minangkabau untuk mendorong anaknya dalam rangka mencari pengalaman hidup dan wawasan yang lebih luas sehingga bisa digunakan untuk di kampung halamannya pada saat pulang nanti.