Mohon tunggu...
Muhammad Aditya Setiajid
Muhammad Aditya Setiajid Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mau belajar nulis

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Ternyata MRT Sudah Ada di Jakarta Sejak Abad ke-19

30 April 2012   11:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:55 1968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_178162" align="alignnone" width="640" caption="Sahabat Museum di the White house of Weltevreden"][/caption]

Minggu, 29 April 2012 kemaren saya menyempatkan diri ikut komunitas “Sahabat Museum” untuk berkeliling kota Jakarta dalam rangka “Plesiran Tempo Doeloe” yang ke 100. Wah, ternyata acara semacam ini sudah diadakan untuk yang ke-100 kalinya sejak tahun 2003 lalu.

Pagi, sekitar pukul 7.30, kami sudah berkumpul di parkir timur senayan. Pendaftaran ulang pun dilakukan untuk acara yang mengutip biaya 150 ribu rupiah per orang sudah termasuk ongkos bus AC, makan siang dan juga es krim dan makanan kecil ini. Kami mendapatkan nomer bus masing-masing. Saya melihat ada empat buah bus “White Horse” sudah menunggu dengan rapih.

[caption id="attachment_178164" align="alignnone" width="640" caption="Pak Scott sedang menandatangani buku Greetins from Jakarta"]

1335757644918950950
1335757644918950950
[/caption]

Pagi itu juga, panitia sudah menyediakan teh hangat dan jajanan tradisional seperti lemper dan risoles. Lumayan untuk mengganjal perut yang belum sarapan. Sementara sambil menunggu semua peserta hadir, juga dibagikan sebuah buku bagi yang telah memesan sebelumnya. Buku ini berjudul “Greetings from Jakarta, Post Cards of a Capital 1900-1950” karangan Scott Merrilless.Kebetulan Pak Scott yang sudah tinggal di Indonesia lebih dari duapuluh tahun ini juga ikut plesiran dan menjadi salah satu nara sumber. Buku yang dijual seharga 384 ribu ini laris manis dan sekalian biasa mendapatkan tanda tangan pengarangnya.

Sekitar pukul 8 lebih 8 menit (terlambat delapan menit dari jadwal acara), ke empat buah bus pun mulai merayap meninggalkan kawasan Senayan menuju Tanjung Priuk. Lewat tol Arah Grogol yang kebetulan lancar di minggu pagi yang cerah itu.

[caption id="attachment_178165" align="alignnone" width="640" caption="Interior Stasiun Tanjung Priuk yang sedang di renovasi"]

1335757697246864047
1335757697246864047
[/caption]

Tujuan pertama kita adalah Stasiun Tanjung Priuk. Sebuah Stasiun tua yang termegah di Jakarta dan juga Indonesia. Ketika turun dari bus, terlihat bangunan megah bercat putih yang terlihat banyak sekali kesibukan renovasi baik di depan maupun di peron stasiun. Disini, Mas Soni Gumilang dari Indonesia Railway Preservation Society menjelaskan mengenai sejarah stasiun yang dibangun mulai tahun 1914 dan diresmikan pada tahun 1925 ini.

Stasiun ini merupakan “Serambi Muka Hindia Belanda”, demikian keterangan mas Soni ketika menjelaskan mengapa stasiun Tanjung Priuk ini dibuat begitu megah. “Penumpang kapal yang turun di Batavia, akan beristirahat sebentar di Stasiun ini sebelum melanjutkan perjalanannya di Hindia Belanda.”, demikian tambahnya lagi.

[caption id="attachment_178166" align="alignnone" width="640" caption="Kemegahan atap stasiun"]

1335757756198731062
1335757756198731062
[/caption]

Dari penjelasannya dapat disimpulkan bahwa dulu penumpang dapatnaik trem dari Stasiun Tanjung Priuk sampai ke Meesteer Cornelis atau Jati Negara. Dijelaskan juga bagaimana pemerintah Hindia Belanda sudah memikirkan transportasi massal semacam MRT di Batavia sehingga hampir seluruh pelosok kota Jakarta ini dapat dijangkau dengan kereta api atau trem.

Jadi kalau Singapura baru ada MRT di tahun 1980 an, maka Jakarta sudah punya sejak abad yang lalu.” Kata-kata ini mengakhiri penjelasan mas Soni di stasiun Tanjung Priuk sambil para peserta terus saja terpesona menyaksikan kemegahan stasiun yang konon mirip dengan Centraal Station di Amsterdam.

Perjalanan kemudian dilanjutkan ke Pelabuhan Sunda Kelapa yang konon sudah ada sejak jaman baheula ketika pelaut pelaut Nusantara menguasai samudra. Di sini terlihat deretan kapal-kalap pinisi yang gagah. Sayangnya hujan lebat mulai membasahi pelabuhan ini sehingga, kami hanya melihat sebentar dan kemudian kembali ke bus untuk selanjutnya menuju kawasan kota tua.

Bus berhenti di kawasan kota tua, dan perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki sedikit menuju stasiun Jakarta Kota yang lebih kondang disebut Stasiun BEOS. Kami masuk ke peron yang ramai penumpang dan akhir nya masuk ke ruangan khusus di sebelah kanan yang merupakan beranda dari perkantoran stasiun yang juga dibangun pada tahun 1914 dan diresmikan pada 1929 ini.

[caption id="attachment_178169" align="alignnone" width="640" caption="Stasiun Jakarta Kota"]

1335757867375334814
1335757867375334814
[/caption]

Tempat ini sebenarnya merupakan beranda atau tempat menjual tiket yang asli. Namun pintu utama ini sekarang ditutup dan hanya pintu samping yang dibuka.”, demikian penjelasan mas Soni kembali yang selalu antusias kalau menjelaskan tentang kereta api dan stasiun. Di pojok stasiun ini juga terdapat sebuah kantor kecil milik Indonesian Railway Preservation Soceity. Disini dipamerkan benda-benda bersejarah tentang sejarah perkeretaapian di Indonesia yang sudah ada sejak tahun 1860 an di Jawa Tengah.

[caption id="attachment_178171" align="alignnone" width="640" caption="Kantor IRPS di pojok Stasiun BEOS"]

1335757954311142898
1335757954311142898
[/caption]

Ternyata Jakarta dulu memiliki stasiun kecil yang disebut Batavia Noord, yang teletak di sekitar Museum Fatahillah, namun akhirnya dengan berdirinya stasiun Jakarta Kota, stasiun Batavio Noord pun dihancurkan. Stasiun ini disebut BEOS dikarenakan pada awalnya digunakan oleh Batavischee Oosterspoorweg Maatschappij sebagai operator menuju kawasan timur Jakarta.Stasiun yang sekarang ini sebenarnya bernama Jakarta Kota namun orang masih lebih senang menyebutnya BEOS.

[caption id="attachment_178172" align="alignnone" width="640" caption="Suasana Batavia Tempo dulu dijelaskan oleh Pak Andy"]

13357581241484453010
13357581241484453010
[/caption]

Di sini, selain dijelaskan tentang sejarah perkeretaapian, dijelaskan juga sedikit banyak tentang sejarah kota tua oleh nara sumber Pak Lilie Suratminto, penulis buku “Makna Sosio Historis Baru Nisan VOC”. Mengenai kereta api, Pak Lilie menjelaskan bahwa orang Belanda itu sangat hati-hati dan tidak suka spekulasi. Karena takut membuat rel kereta api di Belanda karena kaum Boer atau petani protes bahwa suara kereta api bisa membuat sapi-sapi mereka menjadi mandul dan tidak menghasilkan susu, maka Belanda lebih dahulu membangun kereta api di Hindia dibandingkan di Negri Belanda sendiri. “Setelah dibuktikan bahwa kereta api tidak membuat sapi mandul, barulah kereta api dibangun di Belanda”, demikan tambahnya di akhir penjelasan.

Sambil makan siang, kami terus dijelaskan mengenai sejarah kedatangan orang Belanda oleh Pak Andy Alexander, seorang penggemar riwayat VOC serta periset pertempuran VOC di kota Batavia. Asyik sekali medengarkan ceritanya sampai kedatangan Daendles yang kemudian memindahkan pusat pemerintahan dari Kota Tua ke Weltevreden atau kawasan Monas dan Lapangan Banteng sekarang.

Setelah makan siang dan istirahat, pelesiran dilanjutkan dengan bus melewati Glodok dan Lindeteves, kemudianJalan Hayam Wuruk atau Oost- Molenvliet . Dijelaskan lokasi foto yang ada di kartu pos dan juga keadaannya sekarang seperti Gedung Arsip yang masih ada, Juga Hotel Des Indes yang cantik dan sekarang sudah berubah menjadi Duta Merlin yang jelek. Juga lokasi Societet de Harmonie yang sekarang menjadi tempat parkir dan Genset.

Kemudian mobil belok kiri ke arah Jalan Juanda yang dulunya merupakan daerah pertokoan kaum elit bernamaNoordwijkstraat.Pada saat melewati Jalan Veteran juga dijelaskan tentang Hotel Sriwijaya yang dulunya juga sebuah hotel bernama Lion D’or.Pada Jaman Belanda dulu, orang suka menggunakan nama berbau Perancis yang dianggap lebih keren.

[caption id="attachment_178173" align="alignnone" width="640" caption="Passer Baroe"]

13357583331226799222
13357583331226799222
[/caption]

Perjalanan dilanjutkan ke kawasan Monas dan akhirnya berhenti di sebentar di Passer Baroe untuk mampir ke toko es krim Tropic. Sambil berjalan santai menikmati suasana pusat perbelanjaan yang sudah ada sejak tahun 1820 ini kami pun menikmati es krim yang lezat.

Gedung Schouwburg merupakan salah satu gedung tertua di Weltevreden, demikian penjelasan Pak Scotts sambil menunjuk ke Gedung Kesenian Jakarta yang ada di seberang Passer Baroe tadi.

Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan bus menuju Lapangan Banteng yang dulunya sempat bernama Waterlooplein. Disini kita masuk ke dalam eks Gedung Kementrian Keuangan yang ternyata dulunya merupakan sebuah “Istana” impian Daendles yang ternyata tidak pernah dinikmatinya.

[caption id="attachment_178174" align="alignnone" width="640" caption="The White House of Weltevreden"]

13357584091903990544
13357584091903990544
[/caption]

Gedung ini dijuluki juga The White House of Weltevreden”, inilah kata-kata pembuka mbak Nadia Purwestri, seorang ahli konservasi bangunan bersejarah yang baru saja bergabung di tempat ini dan menjelaskan sejarah mengenai Gedung berlantai tiga ini. Diceritakan juga bagaimana Daendels meminta persetujuan untuk membangun gedung yang baik tenaga kerja maupun pemborongnya banyak menggunakan orang-orang Cina. Daendels sendiri bertempat tinggal di bogor atau Buitenzorg yang artinya without worries dan berkantor di Istana Merdeka. Sedangkan kalau di Jakarta dia menginap di rumah dinasnya di Kawasan Gunung Sahari yang sekarang sudah menjadi lokasi Golden Truly.

Kami memasuki gedung yang didepannya ada sebuah prasasti dalam bahasa latin yang menjelaskan bahwa gedung ini dibangun oleh Daendels pada tahun 1809 namun baru selesai pada 1823 ketika Du Bus menjadi gubernur Jendral.

[caption id="attachment_178175" align="alignnone" width="640" caption="Interior Gedung Istana Daendels"]

13357584702060102332
13357584702060102332
[/caption]

Setelah puas menikmati keindahan interior gedung yang berusia lebih 200 tahun dan dibangun tanpa beton ini, kami kembali ke lapangannya yang luas. Di sini, dijual juga beberapa buku seperti buku The White House of Weltevreden, juga beberapa “T Shirt” Sahabat Museum. Dan yang terpenting adalah pembagian door prize, berupa koin VOC, kartu pos tua, buku The White House od Weltevreden dan grand prize adalah buku Greeting from Jakarta yang diserahkan langsung oleh Pak Scott sendiri.

[caption id="attachment_178176" align="alignnone" width="640" caption="Di atap Gedung Eks Kementrian Keuangan"]

13357585521340284400
13357585521340284400
[/caption]

Setelah berfoto bersama seluruh peserta, akhirnya bus pun kembali ke parkir timur senayan. Sebuah pelesiran seharian yang sangat menyenangkan. Menyaksikan sisa-sia keindahan Jakarta Tempo Doeloe. Semoga kita belajar untuk tidak meruntuhkan bangunan-bangunan tua yang menjadi saksi sejarah kota yang dulunya pernah dijuluki Ratu dari Timur ini.

Sampai jumpa lagi dalam plesiran tempo dulu berikutnya. !

Foto-foto: Dokumentasi Pribadi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun