Mohon tunggu...
Aditya Putra Pratama
Aditya Putra Pratama Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa Jurusan Komunikasi UPN Veteran Jatim. Masih belajar mengungkapkan isi otak dalam sebuah tulisan. Suka apapun yang berhubungan dengan musik 🎼🎧😈

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

SWAMI: Representasi Kritik Sosial Era Orde Baru

27 Maret 2016   09:22 Diperbarui: 27 Maret 2016   09:54 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Album band SWAMI yang dirilis dalam bentuk kaset pita"][/caption]Swami! Band yang berdiri tahun 1989 ini memang menjadi buah bibir pada era-nya. Mungkin generasi sekarang banyak yang tidak tahu band yang satu ini. Padahal band yang digawangi Iwan Fals, Sawung Jabo, Innisisri, Naniel, Nanoe, serta Setyawan Djodi ini berhasil menciptakan karya-karya yang dianggap mewakili semangat di balik kesenjangan sosial, politik, dan ekonomi di era itu.

Memang tidak banyak karya yang diciptakan. Hanya dua album self-titled saja. Tapi dampak yang kita rasakan sampai saat ini sungguh besar. Siapa yang tidak tahu lagu Bento dan Bongkar? Serta maksud yang terkandung dalam lagu-lagu tersebut yang sampai menjadi rahasia umum. Padahal tidak ada official video klip dari lagu tersebut. Memang sengaja tidak dibuat mungkin. Dan percuma jika dibuat di era yang bahkan internet pun belum populer di Indonesia.

Apalagi youtube yang berperan sebagai sarana penyebar video klip dari hampir seluruh band di dunia masih belum ada. Namun tak ada gunanya juga membuat video klip di era itu. Mau ditayangkan dimana? Seluruh media saat itu dikendalikan oleh penguasa pada orde itu. Semua bentuk karya yang berbau kritikan untuk penguasa di era itu tidak boleh tayang di media apapun. Itu juga membuktikan bahwa sebuah band bisa terkenal meskipun tanpa membuat sebuah video klip.

Lagu-lagu mereka memang mencerminkan keadaan rakyat kecil pada era tersebut. Banyak lagu mereka yang dikemas dengan bahasa yang terkesan terang-terangan tetapi mudah diingat. Sehingga masyarakat dengan mudah menerima dan menyerap isi dari karya mereka. Seperti lirik dari lagu Bongkar, “Kalau cinta sudah di buang.. Jangan harap keadilan akan datang. Kesedihan hanya tontonan.. Bagi mereka yang diperkuda jabatan.”  Siapa yang tidak pernah mendengarkan potongan lirik tersebut? Lirik yang mewakili suara rakyat kecil itu seolah membangkitkan semangat seluruh pendengar lagu-lagu mereka.

Gambaran suram dan memprihatinkan dalam bidang sosial dan politik menjadi inspirasi serta semangat mereka untuk membuat lagu yang bercorak kritik sosial. Dan respons positif dari masyarakat terhadap album serta lagu-lagu yang ada di dalamnya tercermin pada meledaknya angka penjualan album ini di pasaran. Sekitar 800 ribu kopi album ludes hanya dalam waktu satu bulan saja. Itu juga bukti bahwa masyarakat saat itu sangat haus akan karya yang berbau kritikan untuk penguasa orde tersebut.

Sulit memang membuat sebuah grup band yang albumnya tidak banyak, tetapi menghasilkan pengaruh yang besar. Bahkan sampai sekarang masih banyak yang ingat lagu-lagunya. Apalagi media yang mendukung karya mereka saat itu tidak banyak. Tak ada promosi lewat televisi maupun video klip yang diunggah lewat youtube. Hanya bergantung pada reaksi masyarakat setelah mendengarkan dua album yang mereka hasilkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun