Baskara tidak perlu minta maaf, apalagi klarifikasi. Lagu peradaban memang lebih keras dan lebih cadas dari musik metal dan rock manapun.
* * *
Saya seorang penikmat dan pemain musik sejak kecil. Masa SD saya diramaikan dengan lagu-lagu sheila on 7 dan dewa-19. Beranjak SMP dan SMA musik saya pun tumbuh lebih cadas, saya membentuk sebuah-dua buah band dan menyanyikan banyak genre yang dianggap keren dan menggelegar seperti metallica, avenged sevenfold, dan system of a down, baik di jamming session atau sampai ikut beberapa festival. Sampai saat ini saya masih mendengarkan lagu-lagu itu, masih hafal bahkan beberapa.
Namun sebagai penikmat musik yang pengetahuannya toh biasa-biasa saja, saya memiliki opini sendiri tentang kasus feast dan baskara ini. Pada sebuah sesi interview 2 bulan lalu, baskara mewakili feast memberikan opininya tentang musik rock dan peradaban seperti ini:
Nggak selamanya kemarahan itu harus disuarakan dengan distorsi gitar dan teriak-teriak. Buat kami, contohnya lagu Peradaban itu lebih keras dari lagu metal manapun yang pernah kami dengar.
Ditengah berbagai kecaman dan hinaan, saya mungkin termasuk segelintir orang yang setuju dengan opini ini, dan saya kali ini akan memberikan pledoi bagi feast/baskara bahwa apa yang ia katakan tidak salah sama sekali.
Musik adalah cara Menyampaikan Pesan
Sejatinya musik adalah cara penyampaian pesan, sama seperti obrolan biasa - kebetulan diiringi musik. Musik telah dipakai sejak jaman prasejarah untuk memuja tuhan, merayu pasangan, hingga menyampaikan pesan kepada khalayak banyak.
Tujuan itu tidak dan tidak akan pernah berubah sampai nanti. Yang berubah adalah cara penyampaian berbagai genre ke audience nya masing-masing. Ada yang suka disampaikan dengan perlahan, ada yang lebih nyaman diteriaki sepanjang jalan. Selera dan society dimana kita berada menentukan musik apa yang kita dengar.
Namun lucunya, walaupun saya bertahun-tahun memainkan dan menyanyikan lagu rock, saya merasa keterikatan saya dengan musik keras ini tidak terlalu kencang. Ya, keras, keren, headbanging, namun tidak relate. Pesan yang disampaikan tidak mampir ke otak saya dan tidak membekas mengubah persepsi saya terhadap sesuatu. Saya seperti menyanyikan sebuah karya musik yang saya tidak paham maknanya.
Berbeda dengan lagu peradaban dimana saya memahami liriknya dengan mudah, menangkap pesan eksplisit dan implisit yang ditujukan, serta mendapatkan emosi yang ingin di-deliver oleh pemainnya. Tidak dengan dengung dan raungan gitar, tapi dengan suara ngantuk dari baskara lah kami para pendengar feast merasa diaduk emosinya dan dicerdaskan ideologinya.
1:0, Peradaban dari Feast lebih amanah.
Musik Keras Gagal Menjadi Anthem Perjuangan
Dulu saya sempat meramalkan, ada tiga genre lagu yang punya possibility besar menembus pasar dan menjadi legenda. Pertama artis cilik yang membawakan lagu anak (ingat tasya kamila?), kedua lagu momentual seperti ulang tahun, kemerdekaan, dan sebagainya (cokelat dgn merah putih terbukti), yang ketiga adalah lagu perjuangan mengisi posisi yang ditinggalkan oleh iwan fals. Ini yang sekarang sedang mencoba diisi oleh berbagai penyanyi indie, salah satunya feast/hindia.
Saya, secara personal, tidak pernah mendengar satu musik dengan genre rock/metal band manapun yang menjadi anthem perjuangan di Indonesia. Di luar negeri, mungkin, tapi di Indonesia musik rock/metal keras gagal mengiringi perjuangan berbagai gerakan progresif. Saya justru mencatat banyak penyanyi pop-rock dan indie yang lebih sensitif dengan pergerakan dan suara kaum marginal. Iwan fals misalnya lebih senang menggunakan genre pop/folks dalam berkarya, Slank dan Efek rumah kaca menggunakan genre pop-rock untuk menyuarakan kegelisahannya. Tidak dengan distorsi gitar, tidak dengan headbanging dan suara yang tajam, tapi dengan lirik yang tidak kalah gaharnya.
Peradaban ada di kamar yang sama. Liriknya jelas berteriak kencang pada otoritas tentang intoleransi, kriminalitas pada kaum marjinal, yang langka ditemui pada musik keras manapun yang pernah saya dengar. Kalaupun ada, saya secara personal tidak pernah mendengarnya. Kalaupun pernah mendengar, pesan tersebut tidak sampai pada saya, apalagi saya gunakan untuk anthem perjuangan saya.
2:0, Peradaban dari Feast lebih dapat dipakai untuk perjuangan.
Musik Keras Gagal Populer
Efektifitas cara penyampaian diukur dari berapa banyak pendengar dan seberapa mereka mengimani pesan tersebut. Benar, berbagai musik keras punya banyak penggemar, tapi dibandingkan jumlah penggemar feast & baskara, berbagai band cadas (yang katanya besar) tersebut hari ini tidak ada apa-apanya. Fans mereka menua, terjebak dalam bubble bahwa rock dan metal masih besar dan merupakan musik paling keren dan anarki.
Mereka lupa generasi terbesar hari ini adalah Millenials dan Gen-Z; generasi yang jauh berbeda dari apa yang mereka pahami. CD sudah usang, radio dan TV sudah tak dihiraukan. Suara mereka tak lagi menjadi panutan bagi banyak orang. Musik keras tak mampu beradaptasi, termakan jaman dan jauh dari kata relevan. Bagaikan masturbasi intelektual yang tak peduli pendengar, mereka perlahan menghilang menyisakan nama besar dan video youtube tanpa gahar.
Feast tentu saja sebaliknya. Mereka hidup dan besar di jaman ini, mengerti cara bicara dengan pendengar dan evangelist setia. Angka tidak bohong, mereka ratusan kali lebih terkenal dan lebih relevan dari berbagai pelaku musik keras tanah air. Dengan popularitas ini, suara mereka lebih didengar, lebih banyak mengubah orang dan memberikan perspektif baru tentang kegeraman individu pada berbagai hal; pemerintah, perlawanan, petani, kapitalisme, dan kehidupan.
3:0, Peradaban dari Feast lebih populer dan influential.
* * *
Jadi kalau anda pelaku musik keras yang membaca tulisan ini, saya punya pesan sederhana. Pertama, jangan marah. Anda memang sudah menua dan harus menerima kekalahan ini secara legowo. Kedua, beradaptasilah. Bila anda ingin eksis kembali, cari cara untuk fight back, kenali audience yang kini ada dan buktikan dengan karya. Buktikan bahwa musik anda jauh lebih keras daripada suara ngantukan baskara yang didengar DAN DIHAPAL lebih dari jutaan masyarakat Indonesia.
Suatu saat nanti tanah air kembali berdiri
Suatu saat nanti kita memimpin diri sendiri
Suatu saat nanti kita meninggalkan sidik jari
Suatu saat nanti semoga semua berbesar hati
Jaman sudah berubah, bung!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H