Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, perbedaan agama seringkali menjadi isu sensitif, terutama dalam konteks pernikahan. Larangan nikah beda agama tidak diberikan tempat atau celah sedikitpun karena di Indonesia sendiri ada hukumnya. KH. Zainuddin MZ Rahimahullah memberikan pandangan beliau mengenai pernikahan beda agama dalam salah satu ceramahnya mengatakan; “Orang yang nikah beda agama diibaratkan seperti keluarga pecel atau gado-gado, dimana semua nilai yang ada didalam keluarga tersebut bercampur aduk”. Islam melarang kawin campuran dengan agama lain, walaupun terdapat dalil yang memperbolehkan menikahi ahlul kitab. Akan tetapi, sebagian mufassir menjelaskan bolehnya kawin dengan ahlul kitab itu dalam beberapa kondisi tertentu (darurat).
Pertumbuhan hubungan antaragama seringkali dihadapkan pada kendala hukum dan sosial. Orang muslim itu tidak mewariskan harta kepada non muslim sekalipun ia merupakan saudara kita. Hal ini menciptakan debat antara nilai-nilai agama dan tuntutan individual untuk kebebasan berpikir dan beragama. Pertimbangan maslahat dan mafsadat menjadi pijakan dalam menetapkan status hukum pernikahan beda agama. Potensi konflik dan ketegangan dalam keluarga, serta banyak cerita kegagalan pelaku nikah beda agama dalam mempertahankan keharmonisan rumah tangga juga menjadi dasar penetapan hukum. Kerancuan dalam rumah tangga jangka panjang akan menjadi masalah besar tentang bagaimana membina dalam menjaga keharmonisan rumah tangga dan nasib anak cucu kita. Dari sini pula, lahir regulasi yang di dalamnya terkait aturan pernikahan beda agama di Indonesia.
Rasulullah SAW bersabda: “Wanita dinikahi karena empat hal, yaitu karena hartanya, kemuliaannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka, pilihlah karena agamanya maka engkau akan beruntung,” (HR Bukhari dan Muslim).
Perspektif Agama
Dalam ajaran Islam, larangan nikah beda agama tercermin dalam ayat Al-Quran dan hadis. Para ulama sepakat mengatakan haram hukumnya seorang muslimah menikah dengan seorang lelaki non muslim. Hukum ini didasarkan kepada dalil-dalil sbb :
1. Surat al-Mumtahanah ayat 10: ”Hai orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka: maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka (muslimah). Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
2. Surat Al-Baqarah ayat 221 : “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.”
Diharamkannya bagi seorang muslim untuk menikahi semua perempuan musyrik yang melakukan kesyirikkan; baik itu penyembah berhala, Yahudi, Nasrani, majusi atau golongan musyrik yang lainnya. Meskipun ayat-ayat tersebut berbicara dalam konteks orang musyrik, namun karena alasan pelarangan yang cukup jelas, yaitu mereka akan mengajak ke neraka, maka ini menunjukkan berlaku pada semua non muslim. Dalam pernikahan muslimah dengan non muslim, dikhawatirkan akan menyebabkan muslimah meninggalkan agamanya, atau paling tidak menyebabkannya tidak bisa mengamalkan agamanya, karena banyak pernikahan sarat dengan nilai agama, dan kecenderungan perempuan mengikuti suaminya.
Perspektif Hukum