Oleh Aditya Pratama, Akademisi
Mulai 1 Januari 2025, pemerintah Indonesia secara resmi akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Kebijakan ini disampaikan sebagai bagian dari strategi pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara sekaligus mengatasi tantangan ekonomi yang semakin kompleks. Namun, penerapannya menimbulkan berbagai pertanyaan di masyarakat: apakah kebijakan ini benar-benar diarahkan untuk menyasar barang dan jasa mewah, atau justru membebani semua lapisan masyarakat, termasuk kalangan menengah ke bawah?
Pajak Barang Mewah atau Semua?
Pemerintah menyatakan bahwa PPN 12% akan difokuskan pada barang-barang premium dan mewah, seperti beras organik premium, daging wagyu, lobster, jasa pendidikan eksklusif, dan konsumsi listrik di atas 3.500 volt ampere. Kebijakan ini, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, bertujuan untuk menciptakan asas keadilan dengan menargetkan kelompok masyarakat desil atas (BBC Indonesia, 2024).
Namun, dalam realitas yang lebih luas, berbagai laporan menunjukkan bahwa barang-barang kebutuhan sehari-hari seperti sabun, deterjen, dan pakaian juga termasuk dalam kategori barang yang terkena PPN 12%. Hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa dampaknya tidak hanya akan dirasakan oleh kelompok kaya tetapi juga masyarakat umum yang mengandalkan barang-barang tersebut untuk kebutuhan dasar (CNBC Indonesia, 2024).
Sistem Pembayaran QRIS dan Pajak Digital
Implementasi sistem pembayaran berbasis digital seperti QRIS juga menjadi bagian penting dalam rencana kebijakan ini. QRIS, sebagai metode transaksi non-tunai, akan terintegrasi dengan mekanisme PPN 12%. Secara teoritis, penerapan QRIS diharapkan dapat mempermudah proses pencatatan dan pengawasan transaksi, termasuk memastikan bahwa setiap pembayaran PPN tercatat secara akurat.
Namun, kekhawatiran muncul dari kalangan pedagang kecil dan konsumen yang lebih sering menggunakan QRIS untuk transaksi harian. Dengan tarif PPN yang meningkat, harga barang-barang yang sebelumnya dianggap "terjangkau" akan naik secara signifikan. Hal ini berisiko menurunkan daya beli masyarakat, terutama bagi mereka yang berada di lapisan ekonomi menengah ke bawah.
Perspektif Akademisi
Sebagai akademisi, saya melihat kebijakan ini memiliki dua sisi. Di satu sisi, penyesuaian tarif PPN merupakan langkah yang dapat meningkatkan pendapatan negara untuk membiayai berbagai program pembangunan. Namun, di sisi lain, kebijakan ini perlu dievaluasi secara mendalam untuk memastikan tidak terjadi beban pajak yang merata pada semua lapisan masyarakat.
Langkah yang bisa diambil oleh pemerintah adalah memberikan insentif atau pengecualian pajak untuk barang-barang kebutuhan dasar yang dikonsumsi oleh masyarakat luas. Selain itu, edukasi publik mengenai penerapan PPN 12% melalui media sosial, seminar, atau workshop perlu dilakukan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif kepada masyarakat.