Oleh: Aditya Pratama
Budaya Fangin Tongin Tjitjong yang pernah menjadi fondasi kehidupan sosial masyarakat Pangkalpinang kini mengalami ancaman serius. Tradisi ini, yang mencerminkan nilai kebersamaan, gotong royong, dan solidaritas, telah mulai terkikis akibat perkembangan modernisasi dan perubahan sosial yang pesat. Hilangnya tradisi ini tidak hanya mencerminkan pergeseran budaya, tetapi juga mencerminkan krisis identitas yang lebih dalam di masyarakat Pangkalpinang. Artikel ini mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya krisis ini, dampaknya pada masyarakat, serta menawarkan pandangan untuk melestarikan budaya lokal di tengah perubahan zaman.
Fangin Tongin Tjitjong: Budaya dan Identitas
Fangin Tongin Tjitjong adalah istilah lokal yang mengandung makna mendalam mengenai kerja sama, saling menghormati, dan menjaga persatuan dalam masyarakat. Tradisi ini dulu dijadikan pedoman dalam interaksi sosial di Pangkalpinang, di mana komunitas bekerja sama untuk menghadapi berbagai tantangan, mulai dari masalah sosial hingga ekonomi. Seperti yang dicatat dalam berbagai kajian, budaya gotong royong di Indonesia, khususnya di daerah-daerah dengan nilai adat kuat, memainkan peran penting dalam membangun ketahanan sosial masyarakat .
Namun, seiring dengan masuknya pengaruh globalisasi dan tekanan modernisasi, praktik-praktik budaya seperti Fangin Tongin Tjitjong semakin tersisih. Banyak masyarakat muda di Pangkalpinang yang mulai menjauh dari nilai-nilai tradisional ini, lebih tertarik pada nilai-nilai individualisme dan materialisme yang diusung oleh perkembangan ekonomi yang pesat.
Krisis Identitas di Tengah Modernisasi
Krisis identitas yang terjadi di Pangkalpinang merupakan fenomena yang umum di banyak daerah yang mengalami transformasi sosial-ekonomi yang cepat. Pergeseran dari masyarakat agraris atau komunal menuju masyarakat industri dan urban sering kali menyebabkan hilangnya tradisi-tradisi lokal. Hilangnya budaya Fangin Tongin Tjitjong ini juga sejalan dengan menurunnya rasa kebersamaan dalam komunitas. Masyarakat tidak lagi melihat gotong royong sebagai kebutuhan kolektif, tetapi lebih fokus pada kepentingan pribadi.
Menurut penelitian oleh Setiawan (2020), modernisasi di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk Bangka Belitung, sering kali berdampak negatif terhadap pelestarian budaya lokal. Urbanisasi, perkembangan teknologi, dan perubahan gaya hidup membuat generasi muda cenderung melupakan atau tidak menganggap penting tradisi nenek moyang mereka . Hal ini mempercepat hilangnya budaya lokal yang seharusnya menjadi identitas unik dari suatu daerah.
Dampak Sosial dari Kehilangan Budaya
Dampak dari krisis identitas ini tidak hanya berpengaruh pada tataran budaya, tetapi juga sosial-ekonomi. Hilangnya nilai-nilai gotong royong seperti Fangin Tongin Tjitjong membuat masyarakat semakin terpecah. Solidaritas yang pernah menjadi kekuatan komunitas berkurang, sehingga muncul jarak sosial antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Fenomena ini juga sejalan dengan penurunan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan komunitas yang seharusnya memperkuat rasa kebersamaan.
Di sisi ekonomi, hilangnya praktik kebersamaan dapat menghambat inisiatif-inisiatif bersama yang selama ini mengandalkan kerja kolektif. UMKM di Pangkalpinang, misalnya, dapat mengalami kesulitan untuk tumbuh jika masyarakat tidak lagi mendukung satu sama lain dalam memasarkan produk lokal atau mempromosikan pariwisata daerah.