Mohon tunggu...
Aditya Pratama
Aditya Pratama Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Pemerhati sejarah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perbanditan di sekitar Perhajian, abad XI-XII

11 September 2023   01:30 Diperbarui: 2 Desember 2023   16:53 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak dahulu kala berhaji memang bukan perkara remeh-temeh. Untuk berhaji orang sungguh memerlukan mental jawara, selain juga dompet yang tebal, dan ini bukan hanya berlaku bagi jemaah dari seberang samudra, melainkan juga bagi orang yang tempat tinggalnya terletak tak jauh dari, atau malah berdekatan, dengan Kota suci Mekkah.

Melewati jalur darat dan laut dalam perjalanan panjang yang memakan waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, jemaah haji sering kali dihadapkan dengan marabahaya yang dihadirkan oleh alam maupun manusia yang berpotensi merenggut bukan hanya harta, tetapi juga nyawa mereka, bagaikan menempuh gunung golok dan gurun pedang.

Jika di zaman kita sekarang perbanditannya berupa korupsi dana haji maka di Hejaz pada di abad XI dan XII ada pula korupsi dan perbanditan yang banyak merugikan jemaah. Setidaknya, itulah yang dibentangkan di antaranya oleh ulama seperti Abu Mo'in Hamiduddin Nasir bin Khusraw (Ibnu Khusraw) dan Abu al-Husayn Muhammad bin Ahmad bin Jubayr (Ibnu Jubayr), serta sejarawan 'Ali IIzzuddin bin al-Athir al-Jazari (Ibnu al-Athir), dalam catatan mereka seputaran perhajian dan keadaan Hejaz (daerah pesisir barat Semenanjung Arab), termasuk Mekkah.

Dalam catatan perjalanannya yang kelak diterbitkan dengan judul Relation du Voyage de Nassiri Khosrau, pelancong sekaligus alim mazhab Ismaili yang berasal dari Balkh, Persia, Ibnu Khusraw (1004-1070) menceritakan pengalamannya saat berhaji ke Mekkah untuk pertama kalinya pada 1047.

Pada sekitaran akhir Mei 1047, keadaan Mekkah cukup sepi, tiada kafilah menghampiri, selain bahan pangan sukar dicari. Di samping itu, saat melawat ke Arafat, dia mendapati bahwa orang-orang di sana begitu ketakutan akan perbanditan orang Arab, kemungkinan badui (1881:106). Akibat keadaan yang tidak baik saat itu, dia pun terpaksa membatalkan rencananya berhaji dan mengungsi ke Yerusalem dan tiba di sana pada Juli 1047.

Tak sampai setahun berikutnya, pada Januari 1048, Ibnu Khusraw berniat mencoba kembali berhaji. Saat singgah di Mesir, dimaklumkanlah bahwa Sultan Mesir akan menyediakan kafilah, lengkap berikut tentara, kuda, unta, dan perbekalan, demi menjamin kesentosaan jemaah haji. Keberadaan tentara dalam kafilah haji tentu mengisyaratkan adanya marabahaya yang siap mengintai jemaah haji dalam perjalanan mereka ke Mekkah.

Sayangnya, tak seberapa lama kemudian dibacakanlah surat dari Sultan Mesir yang mendesak para jemaah agar tak berangkat haji karena bencana kelaparan masih menyelimuti Hejaz. Lantaran niat sudah terlanjur bulat, Ibnu Khusraw pun tetap berangkat. Berlepas dari Qulzoum, dia menyeberangi Laut Merah dan mendarat di Madinah. Dari Madinah dia berjalan kaki ke Mekkah.

Setibanya di Mekkah, dia mendapati kebenaran akhbar yang dibacakan di Mesir. Akibat kesengsaraan yang menyelimuti Mekkah, penduduknya pun menjauhi kota itu. Bahkan orang-orang saleh yang bertugas menjaga Ka'bah (kaum mujawirin) terpaksa meninggalkan Mekkah. Tambahan pula, tiada jemaah haji singgah di sana. Pun demikian, dia sempat berdiam di sana selama dua hari, dan setelah berwukuf di Arafah dia meninggalkan Mekkah untuk kali kedua (1881:161-163, 166).

Dalam hajinya yang ketiga, pada September 1050, dia bertolak dari Aydhab dan melintasi Laut Merah ke Jeddah. Di Jeddah dia mendapati bahwa Amir Mekkah Tajul Ma'ali Shukr bin Abul Futuh biasa memunguti pajak dari para jemaah haji melalui kaki tangannya seperti Gubernur Jeddah. Untungnya, Ibnu Khusraw selamat dari cekikan pajak itu lantaran mengaku sebagai ulama.

Diberitakannya pula bahwa amir ini juga menuntut sejumlah uang dari sultan Kekhalifahan Fatimiyah, uang yang dianggapnya haknya sebagai anak-cucu Ali bin Abi Thalib, meskipun amir ini sebetulnya sudah menerima gaji 3.000 dinar sebulan, belum lagi dana pensiun, kuda-kuda, dan jubah kehormatan yang dikirim dua kali setahun (1881: 167-169).

Menginjak abad XII, sejarawan berkebangsaan Arab bernama Ibnu al-Athir (1160-1233) mencatat dalam kitabnya, Al-Kamil fi at-Tarikh (Riwayat Lengkap), bahwa pada 1119-1120 pernah ada perseteruan antara dua amir Basra yang bernama Ghuzoglu dan Sunqur Alp; keduanya merupakan orang Turk. Perseteruan itu berakhir dengan tersungkur dan terbunuhnya Sunqur Alp yang merupakan pemimpin suku Buldaqi.

Setelah itu, Ghuzoglu, yang merupakan pengikut Syiah bermazhab Ismaili dan menjadi amirul hajj (pemimpin haji) jemaah dari Basra, mendapati kedatangan rombongan jemaah haji dari suku Buldaqi yang dipimpin oleh Ali bin Sukman.

Khawatir rombongan itu akan menuntut balas atas kematian pemimpinnya, Sunqur Alp, dia pun memutuskan untuk membandit saudara seimannya sendiri yang juga sesama bangsa Turk, mulanya dengan cara menyuruh orang Arab badui untuk merampok dan mengabisi mereka.

Berkat perlawanan heroik Ibnu Sukman dan jemaah hajinya, laskar Badui pun mundur, maka terpaksalah Ghuzoglu turun tangan sambil membawa pasukan dalam jumlah besar. Sebagai kesatria yang bukan kaleng-kaleng, Ibnu Sukman pun memberi perlawanan hebat dan berhasil mengantarkan Ghuzoglu ke akhirat (al-Athir, 2016, I:208).

Perbanditan yang lebih durjana lagi terjadi pada Mei 1145, sebagaimana dicatat oleh Ibnu al-Athir. Saat itu, Amir Mekkah Hashim bin Fulayta al-'Alawi al-Husayni, bukannya memberikan perlindungan dan pengayoman kepada jemaah haji, malah merampok mereka di rumah Allah saat jemaah haji itu bertawaf dan shalat di sekitaran Ka'bah (2016, I:375). Sayangnya Ibnu al-Athir tak memberikan keterangan lebih lanjut soal episode kedurjanaan ini.

Pada 13 Mei 1150 Amir Mekkah kembali berulah, kali ini bersama gengnya yang terdiri atas orang Arab badui dan bani Zughb. Mereka mencegat kafilah jemaah haji di al-Gharabi, saat jemaah haji berada dalam perjalanan ke Madinah dari Mekkah. Melihat Amirul Hajj Qaymaz al-Arjuwani yang kinyis-kinyis dan kurang berpengalaman, hasrat mereka untuk menjarah jemaah haji pun menyala-nyala.

Meski al-Arjuwani dan jemaah hajinya berhasil melawan dengan baik, lantaran kalah jumlah, mereka pun terpaksa menyerah dan merelakan harta bendanya dirampas. Yang lebih memilukan lagi, setelah serangan itu banyak sekali jemaah hajinya yang tercecer di gurun dan wafat di sana. Hanya beberapa saja yang bertahan hidup (2016, II:148).

Syahdan, nestapa kembali menyelimuti perhajian. Kali ini, pada seputaran Mei 1157, kafilah haji yang berlepas dari Khurasan dicegat oleh suatu laskar yang juga berasal dari Khurasan yang diawaki oleh para pengikut mazhab Ismaili. Meskipun jemaah haji bertarung habis-habisan, terbunuhnya amirul hajj meremukkan mental mereka. Jadilah mereka menyerah dan bersedia merelakan harta bendanya.

Nahasnya, meski harta benda sudah dirampas, banyak jemaah haji masih pula dipaksa berkuah darah sehingga hanya sedikit saja yang selamat. Di antara yang wafat adalah para ulama, pertapa, dan orang saleh. Menurut al-Athir, ini adalah bencana terburuk yang pernah menimpa jemaah haji asal Khurasan (2016, II:92).

Pada medio 1162 Amir Mekkah lagi-lagi berulah. Kali ini, Amir Mekkah Qasim bin Fulayta bin Qasim bin Abi Hashim al-'Alawi al-Husayni habis-habisan memeras orang-orang saleh yang bertugas menjaga Ka'bah dan orang-orang penting di Mekkah. Tetapi, setelah itu dia segera kabur dari Mekkah lantaran mendengar kabar kedatangan jemaah haji di bawah pimpinan Amirul Hajj Arghush (al-Athir, 2016, II:129).

Setelah serangkaian malapetaka, terdengarlah pula berita baik tentang nasib para durjana. Sebagaimana dicatat Ibnu al-Athir, pada sekitar 1169-1170 (565 Hijriyah), perampokan jemaah haji yang dilakukan oleh 'Abdul Malik bin Muhammad bin 'Ata', yang menghakibatkan banyak kerugian, diketahui oleh khalifah di Baghdad.

Hatta, dikirimlah pasukan dari Baghdad untuk mengepung Ibnu 'Ata.' Dalam pengepungan itu harta keluarganya dijarah sehingga dia pun dimiskinkan. Kemudian si jahanam ini pun berjanji untuk patuh dan tidak akan lagi mencelakai jemaah haji (2016, II:189).

Kemudian, ada pula kabar baik dari 1180-an. Dalam tahun-tahun ini perbanditan yang digalang oleh bani Zughb surut lantaran bani laknat yang satu ini akhbarnya tertimpa azab: jumlah mereka semakin berkurang, tak pula makmur ataupun berjaya, sedangkan musuh-musuhnya semakin ganas (al-Athir, 2016, II:148).

Senyatanya, perbanditan yang menimpa jemaah haji di abad XII tak hanya dilancarkan oleh orang-orang setempat, melainkan juga pendatang seperti bangsa Frank, misalnya. Di tengah hangatnya Perang Salib, seorang bangsawan cum kesatria Frank bernama Raynald dari Chatillon rupanya diakhbarkan gandrung membandit. Dia adalah penguasa Oultrejourdain, yang merupakan kerajaan vassal dari Kerajaan Yerusalem, dan bermarkas di Kerak.

Sebagaimana dicatat al-Athir, pada medio Mei 1181 Raynald, yang disebutnya salah seorang Frank yang terhebat sekaligus terjahat, membandit di dekat Tayma--rencananya setelah itu dia akan menyerang Madinah pula, tetapi batal--yang terletak 200 km di sebelah selatan wilayah kekuasaannya, daerah yang biasanya dilalui oleh kafilah jemaah haji yang bertolak dari Suriah ke Madinah (2016, II:276).

Sebagaimana disimpulkan oleh sejarawan Alex Mallet dalam artikelnya, "A Trip Down the Red Sea with Reynald of Chatillon," perbanditan Raynald ini merupakan strateginya dalam merusak kekuatan militer dan ekonomi Kesultanan Ayubiyah serta menghalangi usaha Salahuddin al-Ayyubi dalam menyatukan Damaskus dan Aleppo, selain juga untuk mengumpulkan harta rampasan, modal penting untuk melancarkan serangan yang lebih besar ke Laut Merah.

Berikutnya, pada seputaran Januari 1183, Raynald mengirim lima kapal, lengkap dengan awaknya yang terdiri atas orang Frank, ke Laut Merah untuk merampok dan menjarah kapal-kapal jemaah haji dan pedagang selama empat puluh lima hari lamanya. Bahkan ada juga laskar Frank yang hendak menyerang Madinah (Mallet, 2008:141-145).

Serangan tersebut dibenarkan pula oleh pelancong asal al-Andalus bernama Ibnu Jubayr (1145-1217). Dalam catatan perjalanannya yang kelak diterbitkan dengan tajuk Travels of Ibn Jubayr: A Medieval Journey from Cordoba to Jerusalem, disebutkan bahwa yang membangun kapal-kapal itu adalah orang Suriah Kristen. Selain membakari enam belas kapal yang berlayar di Laut Yaman, awak kapalnya juga merebut kapal yang bertolak dari Yaman mengangkut barang dagang dan makanan untuk didistribusikan di Mekkah dan Madinah.

Arkian, mereka pun merapat di 'Aydhab dan mencegat kapal jemaah haji yang bertolak dari Jeddah. Di 'Aydhab mereka merampok kafilah dan menghabisi semua rombongannya. Lebih parah lagi, menurut Ibnu Jubayr para awak kapal itu bertujuan ke Madinah untuk mengambil sisa jasad Nabi Muhammad dari makamnya. Tetapi, rencana itu digagalkan oleh pasukan yang dipimpin oleh Husamuddin Lu'Lu', dan mereka pun dihukum mati atas perintah Salahuddin al-Ayyubi (Ibnu Jubayr, 2020:71-72).

Kelak, pada awal 1187, Raynald kembali berbuat onar. Kali ini, dia menyerang jemaah haji dan kafilah dan, oleh karenanya, dianggap melanggar perjanjian dengan al-Ayyubi. Kali ini, yang menjadi korban keganasannya di antaranya adalah kerabat daripada al-Ayyubi. Sebagai balasannya, al-Ayyubi pun mengirim pasukan untuk mengepung Kerak, markas Raynald.

Tak lama kemudian, pada Juli 1187, Raynald, berikut kegaduhan yang diakibatkannya, tamat riwayatnya di tangan Salahuddin al-Ayyubi. Selepas mengungguli pasukan Salib dalam Pertempuran Hattin, al-Ayyubi menghadiahkan hukuman mati kepada Raynald atas afalnya yang sumbang terhadap jemaah haji dan awak kafilah dagang (al-Athir, 2016:322-324).

Selain perbanditan bangsa Frank, Ibnu Jubayr juga menceritakan pasal perbanditan yang dilakukan oleh para syarif yang menghuni Jeddah, baik yang berasal dari garis Ali maupun Ja'far bin Abi Thalib.

Katanya, mereka memperlakukan para jemaah haji dengan cara yang lebih buruk dibandingkan saat memperlakukan para dhimmi (orang Yahudi, Kristen, dan Sabian pembayar jizyah) lantaran mereka kerap kali merebut perbekalan jemaah haji, merampoknya, dan menggunakan segala muslihat untuk membuat para jemaah menyerahkan harta bendanya.

Seakan mengamini pengalaman Ibnu Khusraw seabad sebelumnya, Ibnu Jubayr juga membentangkan bahwa para syarif itu gandrung menarik pajak dari jemaah haji. Mujurnya, di masa kekuasaannya Salahuddin al-Ayyubi menghapuskan pajak untuk jemaah haji, dan sebagai gantinya dia mengirimkan jatah uang dan perbekalan untuk Amir Mekkah, bosnya para syarif di Jeddah.

Tetapi, ironisnya, jika kelak jatah yang dan perbekalan itu terlambat diterimanya maka sang amir dan bawahannya pun akan kembali mencekal jemaah haji. Bahkan, saat berhaji pada seputaran Juli hingga Agustus 1183,Ibnu Jubayr dan rombongannya pernah dicekal oleh mereka atas perintah Amir Mekkah Mukhtir bin Isa sampai akhirnya dibebaskan setelah Salahuddin al-Ayyubi mengirimkan 2.000 dinar dan 2.002 irdabb (sekitar 146 ton) gandum untuk sang amir.

Menurut Ibnu Jubayr, sepak terjang para syarif di Jeddah dan Amir Mekkah--yang tak ragu-ragu merampas harta dan menumpahkan darah jemaah haji--itulah yang membuat perhajian menjadi semakin berbahaya dan rawan penindasan. Bahkan, katanya, para ahli fikih al-Andalus di zamannya berpendapat bahwa ibadah haji tidak diwajibkan bagi Muslim.

Saking jengkelnya, Ibnu Jubayr sampai menyatakan bahwa Hejaz perlu dimurnikan menggunakan pedang, agar dosa dan kenajisan yang bertakhta di tengah penguasanya bisa dicuci bersih dengan darah, sebab sepak terjang mereka sebetulnya justru mengendurkan ukhuwah Islamiyah (2020:91-93).

Dari bentangan menyedihkan di atas, terang-benderanglah bahwa sukacita tak selalu mengiringi perhajian ke Mekkah, dan ada kalanya pelaksanaan salah satu rukun Islam itu justru berdarah-darah. Barangkali, itulah mengapa haji disebut sebagai rukun Islam terakhir, bahkan sebagian ulama menafsirkan bahwa haji hanyalah bagi yang mampu. Semogalah Allah yang Maha Esa memberikan imbalan yang setimpal kepada jemaah haji atas usahanya dalam memenuhi panggilan-Nya. Wallahua'alam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun