Mohon tunggu...
Aditya Pratama 475
Aditya Pratama 475 Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 - Sastra Indonesia - Universitas Pamulang

Be Yourself

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Eksistensi Wayang Kulit Solo Jawa Tengah

16 Desember 2022   14:04 Diperbarui: 16 Desember 2022   14:15 982
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Dokumen Pribadi

Sesuai dengan kemajuan teknologi, peralatan penerangan wayang kulit mengalami berbagai perubahan dari dulu hingga sekarang. Awalnya alat penerangan wayang kulit adalah blencong, namun kemudian berkembang menjadi lampu minyak tanah (keceran) dan petromax, dan sekarang sudah banyak yang menggunakan lampu listrik. 

Selain sebagai sumber hiburan, pertunjukan wayang kulit telah menjadi komponen upacara adat seperti bersih desa, ngruwat, dan lain-lain. Wayang kulit yang dikenal oleh masyarakat Bali sebagai salah satu media transformasi ajaran Hindu banyak dipentaskan dalam upacara-upacara keagamaan, baik dalam setting spiritual sebagai Seni Sakral maupun dalam dimensi Profan yang sarat dengan nilai-nilai religi melalui tuturan. (filsafat agama) dari Dalang, yang diintegrasikan melalui penggalan-penggalan epos Hindu seperti Ramayana dan Mahabarata (Wertta, 2019:128).

Kehadiran kesenian tradisional di Indonesia merupakan kebanggaan yang tak ternilai; Kesenian dan budaya negeri ini begitu beragam sehingga mempercantik setiap daerah. Keanekaragaman seni dan budaya merupakan ciri khas setiap daerah di Indonesia, yang menjadi sumber kebanggaan bagi setiap daerah. 

Keanekaragaman budaya dan seni membedakan suatu lokasi dari tempat lain yang juga memiliki sumber daya seni dan budaya yang tak tergantikan. Budaya ini untuk dilestarikan, dijadikan acuan dalam kehidupan sehari-hari, dan diwariskan kepada generasi mendatang beserta pelajaran moral yang diajarkannya.

Keberadaan suatu kesenian tradisional merupakan sumber kebanggaan, namun dibalik kebanggaan tersebut tersimpan keinginan untuk melestarikan kebanggaan tersebut. Ada beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan, antara lain fakta bahwa para penggiat seni tradisi harus memiliki sejumlah aset agar bisa dianggap berkontribusi pada keberlanjutan. Seperti yang dimiliki dan dipentaskan oleh wayang kulit di Solo, Jawa Tengah, untuk melestarikan keberadaannya, antara lain:

(1) Proses ritual. Ritual merupakan rangkaian kegiatan yang tidak dilakukan oleh sembarang orang; itu mungkin bagian dari tradisi, dan tujuannya simbolis. Hal ini ditunjukkan melalui serangkaian aksi yang dilakukan oleh seorang dalang (komunikator wayang) sebelum pementasan. Komunikator, 

(2) Komunikator adalah salah satu dari tiga komponen dasar komunikasi. Komunikator adalah individu atau kelompok yang mengambil peran berkomunikasi dengan individu atau kelompok lain sebagai target, atau yang sedang dalam proses melakukannya. Fungsi komunikator dalam menyampaikan pesan kepada khalayak sangatlah strategis. Dalang berperan aktif sebagai komunikator dari balik layar, dan 

(3) bahasa. Bahasa masa lalu atau zaman nenek moyang tidak sama dengan bahasa Abad Pertengahan atau abad ke-21, jika diperhatikan evolusi historisnya. Ragam bahasa merupakan kekayaan alam yang dimiliki oleh semua bangsa, termasuk Indonesia, negara kepulauan yang terdiri dari beberapa suku bangsa dan bahasa.

Anak muda di Solo, Jawa Tengah, terus mengapresiasi wayang kulit. Catur Nugroho, dosen pedalangan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, menyatakan seni wayang kulit yang dianggap kuno dan ketinggalan zaman oleh sebagian kalangan, terutama kalangan muda, ternyata masih dipraktikkan hingga saat ini. Bahkan mampu mendukung beberapa individu.

"Karena wayang masih sulit dipahami anak muda dalam skala nasional. Lagi-lagi, wayang bersifat kedaerahan. Lokalitas tetap yang utama. Yang jelas, pertanyaannya adalah bagaimana menghadapi tantangan wayang di abad 21 ini. belum bisa masuk terlalu dalam ke generasi muda saat ini," jelasnya. Catur mengatakan, masih banyak peminat wayang di kalangan milenial daerah atau biasa disebut anak-anak di Solo dan sekitarnya. Sehingga kesulitan yang dihadapi tidak berlebihan. Generasi muda pecinta wayang tidak lepas dari kemampuannya berbahasa Jawa.

"Karena wayang adalah bahasa Jawa, anak-anak milenial agak sulit memahaminya karena kendala bahasa. Namun minat anak muda di Solo dan sekitarnya cukup tinggi. Banyak sanggar wayang, musik, dan kesenian tradisional lainnya telah berdiri. di Solo.Meningkatnya jumlah mahasiswa ISI Surakarta yang mempelajari wayang atau karawitan setiap tahunnya menjadi bukti lebih lanjut .Animasinya semakin berkembang," kata Catur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun