20 tahun yang lalu, ketika pertama kali aku menginjakkan kaki di Jakarta, aku melihat jakarta yang penuh kegemerlapan dan serba modern di setiap sudut kotanya. Mengadu nasib di Jakarta adalah solusi terbaik kala itu dimana Indonesia baru saja "survive" dari jeratan krisis moneter pasca digulingkannya orde baru dan merintis, memasuki era baru yang bertajuk generasi reformasi.
Awal awal terlepas dari krisis moneter, banyak usaha yang gulung tikar dan kalaupun masih survive mereka melakukan efisiensi luar biasa termasuk rasionalisasi jumlah pegawai Di daerah, sudah pasti lowongan kerjaan sangatlah terbatas, maka pemuda pemudi saat itu akan melirik jakarta sebagai oase di tengah padang pasir sempitnya lowongan kerja. Alhasil berbondong-bondong para pemuda pemudi ini mengadu nasib di Jakarta termasuk saya.
Memang benar, Jakarta itu tidak ramah bagi mereka yang unskill person dan hanya menerima mereka-mereka yang punya sedikit pengalaman, mampu bekerja dalam kondisi ekstra keras dan mau digaji seadanya. Alhasil dengan pendapatan di range antara tidak seperti yang diimpikan dengan upah minimum regional, jadilah kami sebagai kelas pekerja low middle income.Â
Dengan pendapatan kelas pekerja low middle income, kita tidak bisa bermimpi untuk mendapatkan rumah  yang layak di Jakarta. Alhasil kamipun hanya puas tinggal di kota-kota satelitnya Jakarta seperti Bekasi, Bogor, Depok, Tangerang, Ciputat, Bojong Gede, Citayam, Cibubur, Serpong dan lain lain dengan catatan bukan di cluster perumahan mewahnya tapi di cluster perumahan sederhana.
Dari sini pun kita membeli rumah dengan pola kredit perumahan rakyat (KPR) dengan range waktu antara 10 - 15 tahun. Biasanya kita membeli perumahan dengan pertimbangan dekat dengan pintu tol atau dekat dengan stasiun KRL Sehingga jarak dan waktu tempuh masih bisa diantisipasi sehingga waktu berangkat kerja tidak terlalu pagi dan waktu sampai ke rumah pun tidak terlalu larut malam.
Namun demikian, kondisi saat ini semakin tidak terkendali, dimana daya tarik Jakarta bukannya semakin meredup namun semakin cemerlang dimata para pencari kerja dan para pengadu nasib. Alhasil semakin banyak urbanisasi dibandingkan dengan jumlah mereka yang eksodus keluar dari Jakarta. Sebagian yang bernasib baik pun hanya bisa mendapatkan status kelas pekerja low middle income. Disisi lain kebutuhan akan papan alias tempat tinggal korelasinya positif dengan semakin banyaknya urbanisasi yang pada akhirnya membuat harga jual properti meningkat seiring dengan munculnya equilibrium baru akibat pergeseran antara supply dan demand atas properti.
Jika mereka yang 20 tahun lalu, sudah membeli properti dengan advantage dekat dengan pintu tol ataupun dekat dengan akses ke stasiun KRL, maka generasi sekarang hingga generasi 10 tahun kebelakang menerima nasib hanya mampu membeli property di kota satelit yang lebih jauh lagi seperti Cibinong, Cibitung, Cikampek, Cisauk, Tiga Raksa, Karawang atau  Tambun, kalaupun masih di kota satelit terdekat tetap saja akses ke pintu tol ataupun ke stasiun KRL semakin jauh.
Konsekuensinya adalah  jarak tempuh semakin jauh yang otomatis waktu berangkat menuju tempat kerja makin pagi bahkan sebelum ada yang berangkat sebelum subuh dan pulang ke rumahnyapun semakin larut malam. Maka waktu yang terbuang di jalan secara akumulasi semakin banyak atau biasa disebut tua di jalan atau jompo di jalan. Kondisi inipun pasti membuat kualitas kehidupannya tergerus apalagi quality time bersama keluarga semakin sedikit.Â
Dari kondisi inilah menjadikan minat generasi-generasi muda untuk memiliki rumah khususnya di seputaran bodetabek berkurang dan lebih memilih untuk kontrak dari satu rumah ke rumah lain dari tahun ke tahun tanpa bisa memiliki sebuah rumah tinggal pribadi yang sesuai harapan dan kemampuan.
Ada beberapa hal yang bisa diambil untuk mengantisipasi kekhawatiran fenomena "jompo" di jalan antara lain sebagai berikut :