Beberapa hal yang mungkin saja menjadi kehancuran Sritex adalah tidak adanya calon pemimpin perusahaan yang memiliki kapabilitas sekelas pendahulunya.Â
Perubahan besar dalam dunia pengelolaan menajemen perusahaan, tidak bisa diserap dengan baik dalam masa transisi kepemimpinan, boleh jadi pemimpin pengganti masih mempertahankan model manajemen lama yang kemungkinan tidak fit dengan kondisi pasar kerja dan karyawan. Walaupun sudah berupaya untuk menarik modal melalui pasar saham dan go public, manajemen kurang agile dalam memanage hot money dari pasar saham yang bisa sewaktu waktu hilang karena adanya pelepasan saham dalam skala besar.Â
Selain itu juga, sudah tidak adanya lagi insentif kebijakan pemerintah sebagaimana yang pernah dinikmati pendahulunya, juga membuat penerusnya harus berfikir keras untuk membuat efisiensi di berbagai lini usaha dengan tidak mengurangi kualitas produksinya.Â
Dan tidak kalah pentingnya adalah adanya resesi global dan pasca pandemi adalah pukulan keras yang bagi para pengusaha adalah penentuan apakah setelahnya bisa survive atau tidak, dan Sritex sang raksasa Tekstil itupun tumbang dalam kepailitan meninggalkan kenangan manis yang mewarnai industri tekstil tanah air. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H