Mohon tunggu...
Aditya Nugraha
Aditya Nugraha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Pendidikan Indonesia

Menulis Cerita Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Dinamika Rupiah dan Tantangan Ekonomi di Era Prabowo

22 Desember 2024   04:11 Diperbarui: 22 Desember 2024   04:11 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1        : Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS Sumber: https://www.cnbcindonesia.com/

Oktober 2024 adalah bulan penuh harapan bagi saya, untuk seorang mahasiswa PGSD yang sebentar lagi akan menyelesaikan semester awal. Sebagai anak kampung yang selalu memantau pergerakan nilai tukar rupiah melalui ponsel jadul, saya merasa ada angin segar ketika mendengar bahwa rupiah menguat ke level Rp 15.450 per dolar AS. Saat itu, saya merasa seolah-olah masa depan Indonesia menjadi lebih cerah. “Prabowo Effect,” demikian media menyebutnya. Pasar optimis dengan susunan kabinet baru yang telah diumumkan. Apalagi ketika nama Sri Mulyani tetap berada di kursi Menteri Keuangan, sosok yang saya idolakan karena dedikasinya menjaga ekonomi Indonesia.

Gambar 2 : Grafik Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS Sumber: https://wise.com/id/ 
Gambar 2 : Grafik Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS Sumber: https://wise.com/id/ 

Saya masih ingat betul obrolan di warung kopi malam itu. “Ini mungkin pertanda bagus untuk kita semua,” ujar Pak Darto, pemilik warung, sambil menyeduh kopi hitam khasnya. Sebagai pedagang kecil, ia berharap nilai rupiah yang kuat akan membuat harga kebutuhan impor, seperti gula dan minyak goreng menjadi lebih stabil. Saya hanya tersenyum, berharap harapannya akan menjadi kenyataan. 

Namun, harapan itu perlahan memudar ketika memasuki Desember 2024. Rupiah yang semula perkasa mulai melemah drastis. Saat membaca berita di ponsel saya yang sudah retak layarnya, hati saya mencelos melihat nilai tukar mencapai Rp 16.120 per dolar AS, angka terendah dalam empat bulan terakhir. Rasanya seperti melihat kapal besar perlahan kehilangan arah di tengah badai. 

Di pasar tradisional dekat rumah, dampaknya mulai terasa. “Harga barang-barang makin mahal, Nak. Ibu nggak ngerti lagi,” keluh Ibu di dapur saat saya pulang dari kampus. Kenaikan harga sembako semakin mencekik untuk keluarga kami yang hanya bergantung pada penghasilan milik ayah. Saya tahu betul bagaimana ibu berusaha keras mengatur keuangan, bahkan seringkali mengorbankan kebutuhannya sendiri agar kami tetap bisa makan tiga kali sehari. 

Langkah pemerintah yang mengumumkan paket kebijakan ekonomi pada 16 Desember memberikan sedikit harapan. Pengurangan tarif listrik untuk rumah tangga menengah adalah kabar baik bagi kami. Namun, kekhawatiran masih tetap ada. Program makan siang gratis untuk anak sekolah, meskipun terdengar menjanjikan, memicu perdebatan di keluarga kami. Ayah, yang biasanya pendiam, dengan cemas berkata, “Bagaimana pemerintah mau biayai semua itu kalau utangnya sudah segini besar? Jangan sampai nanti kita yang harus menanggung bebannya.” 

Sebagai mahasiswa, saya juga mulai mencari jawaban dari berbagai literatur dan diskusi dengan dosen. Saya terinspirasi oleh sistem pendidikan Finlandia yang tidak hanya fokus pada pendidikan gratis tetapi juga memastikan kesejahteraan siswa melalui program makanan berkualitas. Saya membayangkan bagaimana jika pendekatan seperti ini diterapkan di Indonesia, dengan memanfaatkan hasil pertanian lokal. Betapa indahnya jika petani kecil seperti Pak Janu yaitu tetangga kami, bisa menjadi bagian dari solusi bukan korban dari kebijakan ekonomi. 

Di tengah kekacauan ini, saya menyadari bahwa Pancasila, khususnya sila kelima, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, bukan hanya sekadar prinsip, tetapi juga pelita yang bisa membimbing kita melewati badai ekonomi. Saya merenungkan, bagaimana nilai-nilai gotong royong dan keadilan sosial bisa menjadi landasan dalam mencari solusi yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. 

Ketika tahun 2024 mendekati akhirnya, saya berdiri di pasar, mengamati keramaian yang terasa lebih sunyi dari biasanya. Dalam hati saya, ada campuran rasa takut dan harapan. Takut akan masa depan yang penuh tantangan, tetapi juga harapan bahwa dengan langkah konkret dan koordinasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat, kita pasti bisa bangkit. Dan mungkin, suatu hari nanti saya bisa menjadi bagian dari perubahan itu, mewujudkan keadilan sosial dan ekonomi yang benar-benar berpihak pada seluruh rakyat Indonesia.

Referensi:


Ditulis oleh:

1.   Aditya Nugraha_NIM 2400788_1A_PendidikanPancasila_PGSD_2024

2. Dr. Dinie Anggraeni Dewi M.Pd., M.H (Dosen Pengampu Mata Kuliah Pendidikan Pancasila) 

3. Muhammad Irfan Andriansyah S.Pd (Asisten Dosen) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun