Mohon tunggu...
aditya mashudin
aditya mashudin Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

saya mahasiswa universitas muhammadiyah malang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengapa Nilai Tukar adalah Pententu Utama Nilai Tukar Mata Uang

10 Juli 2024   21:48 Diperbarui: 10 Juli 2024   22:02 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Penentu utama nilai tukar mata uang, topik yang sering diperdebatkan dalam diskusi ekonomi global, adalah nilai tukar itu sendiri. Angka ini berfungsi sebagai indikator penting yang mencerminkan kekuatan ekonomi suatu negara. Memahami bagaimana nilai tukar mempengaruhi nilai tukar mata uang sangat penting, karena tidak hanya menentukan berapa banyak mata uang satu negara dapat ditukar dengan mata uang negara lain tetapi juga sangat berdampak pada ekonomi global dan domestik. Pergerakan nilai tukar dapat secara signifikan mempengaruhi tingkat inflasi, serta keseimbangan ekspor, impor, dan kesejahteraan ekonomi secara keseluruhan di suatu negara.

Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan definisi nilai tukar dan nilai tukar mata uang, menyelidiki evolusi historis sistem nilai tukar, dan menentukan berbagai faktor yang mempengaruhi nilai tukar. Selanjutnya, akan mengeksplorasi dampak fluktuasi nilai tukar terhadap ekonomi, peran nilai tukar dalam pasar valuta asing, pengalaman Indonesia dengan krisis nilai tukar, dan kebijakan nilai tukar yang efektif. Pembaca dengan demikian akan mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang mengapa nilai tukar sangat penting dalam dinamika ekonomi dan bagaimana mereka digunakan dalam praktik paritas daya beli.

 Kesadaran seperti itu sangat penting untuk manajemen risiko dan mengidentifikasi peluang dalam ekonomi global yang selalu berubah saat ini. Nilai tukar, juga dikenal sebagai nilai tukar, adalah tingkat yang disepakati di mana penduduk dua negara menukar mata uang untuk tujuan perdagangan. Dua jenis nilai tukar yang sering dirujuk adalah Nilai Tukar Nominal dan Nilai Tukar Riil. Nilai Tukar Nominal adalah kurs yang digunakan dalam pertukaran mata uang langsung, seperti mengkonversi dolar AS ke Rupiah Indonesia. Misalnya, jika kurs Rp14.500 per dolar AS, maka 1 dolar AS sama dengan Rp14.500. Praktis, menukar 20 dolar AS akan membutuhkan Rp290.000 (20 x Rp14.500).

Sebaliknya, Nilai Tukar Riil digunakan untuk membandingkan harga barang dan jasa di berbagai negara. Misalnya, jika tas berharga $ 400 di AS dan Rp 2.000.000 di Indonesia, mengubah harga ini menjadi mata uang umum memungkinkan perbandingan langsung. Jika 1 dolar sama dengan Rp 10.000, maka harga tas di AS adalah Rp 4.000.000. Akibatnya, harga tas di Indonesia adalah setengah dari harga di Amerika . Apresiasi dan depresiasi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perubahan kekuatan nilai tukar. Apresiasi terjadi ketika 1 dolar membeli lebih banyak mata uang asing, menandakan penguatannya, sementara depresiasi terjadi ketika 1 dolar membeli lebih sedikit mata uang asing, menunjukkan melemahnya. 

Real Effective Exchange Rates (REER) berfungsi sebagai indikator yang menggambarkan nilai mata uang suatu negara relatif terhadap beberapa mata uang lainnya, disesuaikan dengan tingkat inflasi atau indeks harga konsumen khusus untuk negara itu. Peningkatan REER menunjukkan bahwa ekspor suatu negara menjadi lebih mahal dan impor lebih murah, berpotensi menunjukkan penurunan daya saing perdagangan.

Secara historis, selama akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, negara-negara besar mengadopsi standar emas, menetapkan nilai tukar mata uang mereka terhadap emas dengan harga resmi. Misalnya, Inggris awalnya mengadopsi standar emas pada abad ke-18, menangguhkannya pada tahun 1797, dan memperkenalkannya kembali pada tahun 1819 . Demikian pula, negara-negara lain seperti Jerman, Prancis, dan Amerika Serikat menerapkan sistem ini selama berbagai periode, memfasilitasi perdagangan internasional karena penentuan langsung nilai mata uang relatif terhadap yang lain. 

Konferensi Bretton Woods pada tahun 1944 menyatukan 44 negara untuk membangun sistem nilai tukar tetap yang dikenal sebagai Sistem Bretton Woods. Di bawah sistem ini, nilai dolar AS dipatok ke emas, sementara mata uang lainnya dipatok ke dolar AS . Sistem ini bertujuan untuk mempromosikan stabilitas ekonomi global dengan mengurangi tarif dan hambatan perdagangan lainnya . Namun, pada awal 1970-an, sistem ini mulai goyah dan secara resmi dinyatakan runtuh pada tahun 1973, memberikan kebebasan kepada negara-negara untuk menentukan sistem nilai tukar mereka sendiri. Selanjutnya, ekonomi global bergeser ke arah nilai tukar mengambang, di mana nilai mata uang berfluktuasi bebas di pasar valuta asing, tidak terikat pada nilai tetap. 

Fleksibilitas ini memungkinkan negara-negara untuk mengadopsi sistem nilai tukar yang disesuaikan dengan kondisi ekonomi domestik mereka. Sebagai contoh, Indonesia telah menerapkan tiga sistem nilai tukar sejak tahun 1970-an: sistem nilai tukar tetap, mengambang terkendali, dan mengambang. Pergeseran kebijakan ini mencerminkan upaya Indonesia untuk mengamankan cadangan devisa dan menstabilkan Rupiah di tengah kondisi ekonomi global yang berkembang.

Beberapa faktor mempengaruhi nilai tukar, termasuk kebijakan moneter. Bank sentral mempengaruhi nilai tukar melalui penyesuaian suku bunga. Suku bunga yang lebih tinggi menarik modal asing, meningkatkan permintaan untuk mata uang domestik dan menghargai nilainya. 

Sebaliknya, suku bunga yang lebih rendah dapat menyebabkan arus modal keluar dan depresiasi mata uang. Selain itu, jumlah uang beredar yang dikendalikan oleh kebijakan moneter mempengaruhi daya beli dan tingkat inflasi, sehingga mempengaruhi nilai tukar. Kebijakan fiskal, yang mencakup pengeluaran pemerintah dan perpajakan, juga berdampak pada nilai tukar. Peningkatan pengeluaran pemerintah dapat memacu permintaan agregat, berpotensi menyebabkan inflasi jika tidak diimbangi dengan produksi yang cukup, yang dapat mendepresiasi mata uang. Kebijakan fiskal yang efektif, bagaimanapun, dapat meningkatkan stabilitas ekonomi dan memperkuat mata uang. Intervensi pemerintah, seperti belanja infrastruktur atau perubahan kebijakan pajak, memiliki dampak langsung dan tidak langsung terhadap nilai tukar. 

Kondisi makroekonomi seperti tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, dan neraca perdagangan merupakan faktor penting yang mempengaruhi nilai tukar. Negara-negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang kuat, inflasi rendah, dan surplus perdagangan biasanya menikmati mata uang yang lebih kuat. Sebaliknya, kemerosotan ekonomi, inflasi tinggi, atau defisit perdagangan sering mengakibatkan depresiasi mata uang. Ketidakstabilan ekonomi, seperti yang terlihat selama krisis keuangan, sering memicu fluktuasi nilai tukar yang signifikan.

Faktor eksternal seperti pergeseran harga komoditas internasional dan kebijakan ekonomi yang diadopsi oleh negara-negara besar juga mempengaruhi nilai tukar. Misalnya, negara-negara pengekspor minyak mengalami dampak nilai tukar yang signifikan ketika harga minyak global berfluktuasi. Demikian pula, kebijakan ekonomi yang ditempuh oleh negara-negara mata uang utama seperti AS, Uni Eropa, dan Jepang memberikan efek global pada nilai tukar [8] [9]. Fluktuasi nilai tukar secara langsung berdampak pada inflasi, sering disebut inflasi impor. Pelemahan Rupiah, misalnya, meningkatkan biaya barang-barang impor, yang menyebabkan kenaikan inflasi domestik. Selain itu, perbedaan tingkat inflasi antar negara dapat semakin melemahkan mata uang, sejalan dengan teori paritas daya beli. 

Inflasi juga mempengaruhi suku bunga bebas risiko, yang pada gilirannya mempengaruhi tingkat tabungan, suku bunga pinjaman, imbal hasil obligasi, dan valuasi saham. Pelemahan nilai tukar secara signifikan berdampak pada lintasan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Fluktuasi nilai tukar menawarkan wawasan tentang kesehatan ekonomi suatu negara; Tingkat stabil menunjukkan stabilitas ekonomi, sedangkan fluktuasi yang sering dapat menghalangi kepercayaan investor. Depresiasi dapat meningkatkan harga impor dan mengurangi daya saing ekspor, yang berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi. Namun, dalam jangka panjang, depresiasi dapat meningkatkan daya saing internasional, merangsang permintaan asing untuk produk dalam negeri, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Perubahan nilai tukar juga secara langsung mempengaruhi neraca perdagangan. Depresiasi mata uang dapat meningkatkan daya saing ekspor dengan menurunkan harga barang yang diperdagangkan relatif, sehingga meningkatkan permintaan ekspor. Namun, dalam jangka pendek, depresiasi dapat mengekang neraca perdagangan dengan menaikkan harga impor dan meredam permintaan impor domestik. Studi empiris menggarisbawahi bahwa pengaruh kurva-J terhadap neraca transaksi berjalan Indonesia lemah, menyiratkan bahwa depresiasi Rupiah tidak secara otomatis memperbaiki neraca transaksi berjalan dalam jangka pendek atau panjang. Peran nilai tukar di pasar valuta asing sangat penting. 

Bank Indonesia menempuh berbagai strategi untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah, terutama melalui intervensi pasar valuta asing. Intervensi ini tidak hanya mencakup operasi pasar spot tetapi juga keterlibatan pasar ke depan yang bertujuan menyeimbangkan penawaran dan permintaan valuta asing. Langkah-langkah tersebut antara lain menerbitkan Sertifikat Deposito Bank Indonesia dan melakukan reverse repo untuk mengatur likuiditas Rupiah dan memitigasi fluktuasi nilai tukar yang berlebihan.

Pasar valuta asing menempati peringkat di antara pasar keuangan terbesar dan paling likuid secara global, dengan transaksi harian melebihi USD 1,5 triliun. Pasar yang sangat likuid ini menguji teori-teori seperti paritas bunga yang ditemukan dan Efek Fisher. Meskipun teori-teori ini mengusulkan bahwa perbedaan suku bunga antara mata uang akan diimbangi oleh perubahan nilai tukar yang diantisipasi, penyimpangan dunia nyata sering mendorong peluang spekulatif. Praktik seperti carry trading, di mana investor meminjam mata uang dengan suku bunga rendah dan berinvestasi dalam mata uang dengan suku bunga tinggi, menggambarkan potensi profitabilitas di tengah risiko tinggi. 

Ini menggarisbawahi perlunya pemahaman mendalam tentang dinamika pasar dan faktor ekonomi yang membentuk nilai tukar. Perekonomian Indonesia menyaksikan krisis nilai tukar yang mendalam pada tahun 1997-1998 selama Krisis Moneter Asia. Krisis ini ditandai dengan depresiasi Rupiah yang tajam, inflasi yang melonjak, dan kolapsnya sektor keuangan. Sejak Agustus 1997, nilai tukar Rupiah menyimpang signifikan, terdepresiasi hingga mencapai titik terendah pada Juli 1998, di mana 1 dolar AS setara dengan Rp 14.150. Krisis dipercepat karena runtuhnya pasar dan kepercayaan publik, diperparah oleh ketidakpastian seputar suksesi kepemimpinan nasional di tengah kesehatan Presiden Suharto yang menurun .

Untuk mengatasi krisis ekonomi, pemerintah Indonesia memberlakukan program stimulus ekonomi. Langkah-langkah termasuk kebijakan fiskal seperti pemotongan pajak untuk sektor-sektor tertentu, insentif investasi, dan peningkatan pengeluaran untuk proyek-proyek infrastruktur. Reformasi struktural bertujuan untuk meningkatkan iklim investasi dan daya saing ekonomi Indonesia, meliputi penyederhanaan peraturan dan percepatan prosedur perizinan berusaha. Inisiatif perlindungan sosial juga diluncurkan, menawarkan bantuan langsung seperti bantuan tunai dan subsidi untuk komoditas penting bagi mereka yang paling terpukul oleh krisis. Bank Indonesia melakukan intervensi tegas untuk stabilisasi nilai tukar Rupiah, memanfaatkan intervensi pasar valuta asing domestik dan penerbitan Sertifikat Deposito Bank Indonesia. 

Langkah-langkah ini bertujuan untuk mendukung pengelolaan likuiditas Rupiah, memperkuat dinamika permintaan dan penawaran valuta asing, serta mengurangi volatilitas nilai tukar yang merugikan perekonomian makro dan mikro nasional. Kebijakan nilai tukar yang efektif mencakup berbagai strategi. Intervensi pasar menonjol sebagai alat yang disukai di antara bank sentral untuk mempengaruhi nilai tukar mata uang. Melalui intervensi, bank sentral dapat membeli atau menjual sejumlah besar mata uang asing untuk melawan fluktuasi nilai tukar yang tidak diinginkan. Intervensi yang berhasil bergantung pada waktu yang tepat dan kondisi pasar yang menguntungkan. Intervensi dilakukan di tengah-tengah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun