Faktor eksternal seperti pergeseran harga komoditas internasional dan kebijakan ekonomi yang diadopsi oleh negara-negara besar juga mempengaruhi nilai tukar. Misalnya, negara-negara pengekspor minyak mengalami dampak nilai tukar yang signifikan ketika harga minyak global berfluktuasi. Demikian pula, kebijakan ekonomi yang ditempuh oleh negara-negara mata uang utama seperti AS, Uni Eropa, dan Jepang memberikan efek global pada nilai tukar [8] [9]. Fluktuasi nilai tukar secara langsung berdampak pada inflasi, sering disebut inflasi impor. Pelemahan Rupiah, misalnya, meningkatkan biaya barang-barang impor, yang menyebabkan kenaikan inflasi domestik. Selain itu, perbedaan tingkat inflasi antar negara dapat semakin melemahkan mata uang, sejalan dengan teori paritas daya beli.Â
Inflasi juga mempengaruhi suku bunga bebas risiko, yang pada gilirannya mempengaruhi tingkat tabungan, suku bunga pinjaman, imbal hasil obligasi, dan valuasi saham. Pelemahan nilai tukar secara signifikan berdampak pada lintasan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Fluktuasi nilai tukar menawarkan wawasan tentang kesehatan ekonomi suatu negara; Tingkat stabil menunjukkan stabilitas ekonomi, sedangkan fluktuasi yang sering dapat menghalangi kepercayaan investor. Depresiasi dapat meningkatkan harga impor dan mengurangi daya saing ekspor, yang berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi. Namun, dalam jangka panjang, depresiasi dapat meningkatkan daya saing internasional, merangsang permintaan asing untuk produk dalam negeri, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Perubahan nilai tukar juga secara langsung mempengaruhi neraca perdagangan. Depresiasi mata uang dapat meningkatkan daya saing ekspor dengan menurunkan harga barang yang diperdagangkan relatif, sehingga meningkatkan permintaan ekspor. Namun, dalam jangka pendek, depresiasi dapat mengekang neraca perdagangan dengan menaikkan harga impor dan meredam permintaan impor domestik. Studi empiris menggarisbawahi bahwa pengaruh kurva-J terhadap neraca transaksi berjalan Indonesia lemah, menyiratkan bahwa depresiasi Rupiah tidak secara otomatis memperbaiki neraca transaksi berjalan dalam jangka pendek atau panjang. Peran nilai tukar di pasar valuta asing sangat penting.Â
Bank Indonesia menempuh berbagai strategi untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah, terutama melalui intervensi pasar valuta asing. Intervensi ini tidak hanya mencakup operasi pasar spot tetapi juga keterlibatan pasar ke depan yang bertujuan menyeimbangkan penawaran dan permintaan valuta asing. Langkah-langkah tersebut antara lain menerbitkan Sertifikat Deposito Bank Indonesia dan melakukan reverse repo untuk mengatur likuiditas Rupiah dan memitigasi fluktuasi nilai tukar yang berlebihan.
Pasar valuta asing menempati peringkat di antara pasar keuangan terbesar dan paling likuid secara global, dengan transaksi harian melebihi USD 1,5 triliun. Pasar yang sangat likuid ini menguji teori-teori seperti paritas bunga yang ditemukan dan Efek Fisher. Meskipun teori-teori ini mengusulkan bahwa perbedaan suku bunga antara mata uang akan diimbangi oleh perubahan nilai tukar yang diantisipasi, penyimpangan dunia nyata sering mendorong peluang spekulatif. Praktik seperti carry trading, di mana investor meminjam mata uang dengan suku bunga rendah dan berinvestasi dalam mata uang dengan suku bunga tinggi, menggambarkan potensi profitabilitas di tengah risiko tinggi.Â
Ini menggarisbawahi perlunya pemahaman mendalam tentang dinamika pasar dan faktor ekonomi yang membentuk nilai tukar. Perekonomian Indonesia menyaksikan krisis nilai tukar yang mendalam pada tahun 1997-1998 selama Krisis Moneter Asia. Krisis ini ditandai dengan depresiasi Rupiah yang tajam, inflasi yang melonjak, dan kolapsnya sektor keuangan. Sejak Agustus 1997, nilai tukar Rupiah menyimpang signifikan, terdepresiasi hingga mencapai titik terendah pada Juli 1998, di mana 1 dolar AS setara dengan Rp 14.150. Krisis dipercepat karena runtuhnya pasar dan kepercayaan publik, diperparah oleh ketidakpastian seputar suksesi kepemimpinan nasional di tengah kesehatan Presiden Suharto yang menurun .
Untuk mengatasi krisis ekonomi, pemerintah Indonesia memberlakukan program stimulus ekonomi. Langkah-langkah termasuk kebijakan fiskal seperti pemotongan pajak untuk sektor-sektor tertentu, insentif investasi, dan peningkatan pengeluaran untuk proyek-proyek infrastruktur. Reformasi struktural bertujuan untuk meningkatkan iklim investasi dan daya saing ekonomi Indonesia, meliputi penyederhanaan peraturan dan percepatan prosedur perizinan berusaha. Inisiatif perlindungan sosial juga diluncurkan, menawarkan bantuan langsung seperti bantuan tunai dan subsidi untuk komoditas penting bagi mereka yang paling terpukul oleh krisis. Bank Indonesia melakukan intervensi tegas untuk stabilisasi nilai tukar Rupiah, memanfaatkan intervensi pasar valuta asing domestik dan penerbitan Sertifikat Deposito Bank Indonesia.Â
Langkah-langkah ini bertujuan untuk mendukung pengelolaan likuiditas Rupiah, memperkuat dinamika permintaan dan penawaran valuta asing, serta mengurangi volatilitas nilai tukar yang merugikan perekonomian makro dan mikro nasional. Kebijakan nilai tukar yang efektif mencakup berbagai strategi. Intervensi pasar menonjol sebagai alat yang disukai di antara bank sentral untuk mempengaruhi nilai tukar mata uang. Melalui intervensi, bank sentral dapat membeli atau menjual sejumlah besar mata uang asing untuk melawan fluktuasi nilai tukar yang tidak diinginkan. Intervensi yang berhasil bergantung pada waktu yang tepat dan kondisi pasar yang menguntungkan. Intervensi dilakukan di tengah-tengah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H