Mohon tunggu...
Aditya Widyantoro
Aditya Widyantoro Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa PPG Prajabatan 2021 dan Guru BK SMPN 1 Prambanan

I am an unpredictable journey

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perilaku Agresif dan Konseling Naratif: Sebuah Upaya Kuratif

6 Juni 2022   16:35 Diperbarui: 8 Juni 2022   08:27 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Memasuki usia remaja konflik yang dihadapi individu akan bervariasi, di sisi lain dengan kondisi emosi yang belum stabil dan pemikiran yang belum matang remaja mungkin kesulitan atau bahkan tidak mampu untuk menyelesaikan konflik yang sedang dihadapinya. Ketidakmampuan ini dapat memunculkan suatu stres atau frustrasi pada remaja yang berakibat pada agresi, agresi dalam diri remaja membuat mereka berupaya untuk melampiaskan hal tersebut dengan melakukan berbagai tindakan negatif yang kemudian disebut dengan istilah perilaku agresif.

Fisher (dalam Arifin, 2015:263) mengungkapkan bahwa terdapat 7 faktor penyebab perilaku agresif salah satunya adalah frustasi. Selain frustrasi, agresi juga disebabkan oleh faktor amarah, biologis, kesenjangan generasi, lingkungan, peran belajar model kekerasan, dan pendisiplinan yang keliru. Perilaku agresif dibedakan menjadi dua yakni perilaku agresif fisik dan verbal. Memukul, berkelahi, merusak barang, menjebak orang lain, acuh secara sengaja terhadap orang lain merupakan beberapa contoh perilaku agresif fisik yang sering dilakukan remaja. Sementara untuk perilaku agresif verbal adalah seperti memaki, berkata kasar, menceritakan kekurangan orang lain, menolak berbicara, dan lain sebagainya.

Perilaku agresif dapat membuat korban merasa malu, tertekan, putus asa, jengkel, depresi, atau bahkan ikut melakukan tindakan agresif sebagai bentuk balas dendam atau pelampiasan atas apa yang diterimanya. Fenomena perilaku agresif juga berpengaruh terhadap pelaku yang melakukan hal tersebut, besar kemungkinan pelaku akan dijauhi oleh teman-temannya yang merasa tidak nyaman dengan kehadirannya. Perilaku agresif dapat menimbulkan rasa bersalah yang menghantui pelaku, kesalahan yang pernah pelaku lakukan akan tertanam ke memorinya dan berakibat pada pelabelan diri sendiri bahwa pelaku merupakan manusia yang bermasalah, pelabelan diri sendiri akan berakibat pada pikiran yang tidak rasional karena sebenarnya pelaku bukanlah sosok yang bermasalah, melainkan sosok yang sedang atau pernah memiliki masalah. Pikiran semacam ini akan mengakibatkan seseorang merasa hina dan merasa tidak akan pernah diterima oleh lingkungan.

Perilaku agresif yang dilakukan remaja merupakan tanggung jawab semua pihak termasuk orang tua, peserta didik, masyarakat, hingga guru. Guru bimbingan dan konseling memiliki peran penting dalam pengembangan peserta didik sesuai dengan Standar Kompetensi Kemandirian Kemampuan Peserta Didik (SKKPD) seperti memberikan referensi dalam pengambilan keputusan dengan mempertimbangkan risiko, mengerti dan menaati norma berperilaku, dan mengekspresikan emosi dengan wajar.

Dalam membantu proses memandirikan peserta didik guru BK dapat melakukan beberapa layanan salah satunya adalah memberikan layanan responsif berupa konseling, konseling merupakan suatu interaksi antara konselor (guru BK) dan konseli (peserta didik) dalam suatu kondisi yang membuat konseli terbantu dalam mencapai perubahan dan belajar membuat keputusan sendiri serta bertanggung jawab atas keputusan yang konseli ambil. Terdapat banyak pendekatan yang dapat digunakan dalam proses konseling dan menyesuaikan dengan masalah yang dialami konseli salah satunya adalah pendekatan naratif.

Pendekatan naratif memandang manusia memiliki kemampuan untuk berpikir kreatif dan imajinatif, manusia merupakan ahli atas hidup dan kisah hidup yang mereka alami (Nugraheni, 2019:147). Pendekatan naratif melihat individu memiliki masalah ketika individu tidak mampu mengeksplorasi ke dalam diri mereka sendiri. Individu yang selalu dibayang-bayangi oleh keinginan atau harapan, aspirasi ketakutan, dan luka emosional (Nugraheni, 2019:148). Konseling naratif memandang masalah adalah hal yang terpisah dari orang yang mengalami masalah, artinya apabila seseorang memiliki masalah maka orang itu bukan orang yang bermasalah, melainkan orang yang sedang atau pernah memiliki masalah. Tujuan dari konseling naratif adalah membantu konseli memahami kisah atau cerita yang telah membentuk kehidupannya dan konseli diberikan keterampilan untuk menentang cerita tersebut. Konseling naratif mengeksplorasi peristiwa dari pengalaman hidup seseorang, titik balik kehidupan, dan kenangan-kenangan dalam rentang waktu kehidupan. Menurut Corey (dalam Nugraheni, 2019:147), konseling naratif mengajak individu agar menjelaskan pengalaman mereka dalam kisah dan bahasa yang baru dan penuh dengan harapan serta lebih optimis dalam menjalani hidup.

Pelabelan diri sendiri bahwa konseli merupakan manusia yang bermasalah karena pernah melakukan perilaku agresif sehingga mengakibatkan konseli merasa hina dan merasa tidak akan pernah diterima oleh lingkungan sesuai dengan pendekatan naratif yang berusaha melepaskan pemikiran bersalah yang menghantui seseorang dan membantu seseorang untuk menulis rencana dan cerita hidupnya yang baru tanpa perilaku agresif tersebut sehingga terciptanya suatu bayangan yang positif tentang diri konseli.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun