Mohon tunggu...
Aditya Irawan
Aditya Irawan Mohon Tunggu... -

I see and I observe

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Noda Lumpur di Koalisi Korup

30 Mei 2014   23:58 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:55 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

29 Mei 2006. Tanggal keramat yang takkan mudah dihapus dari memori puluhan ribu warga Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Tepat 8 tahun sudah peristiwa Lumpur Lapindo itu terjadi, dan sampai dengan hari ini ternyata penderitaan korban belum juga berlalu.

Memang, sudah ada tindakan yang dilakukan baik atas nama pemerintah ataupun PT Lapindo Brantas untuk menanggulangi dampak kecerobohan teknis yang menyengsarakan masyarakat Sidoarjo tersebut. Namun hingga hari ini teriakan warga yang menjadi korban tak juga surut.

[caption id="attachment_326482" align="aligncenter" width="630" caption="Dampak dahsyat malapetaka Lapindo Brantas (Sumber: http://www.nature.com/)"][/caption]

Bertepatan dengan 8 tahun Lumpur Lapindo, yang jatuh kemarin (29/05) calon presiden Joko Widodo melakukan kunjungan ke daerah yang mengalami kemalangan tersebut. Di sana Jokowi menandatangani kontrak politik dengan korban Lumpur Lapindo.

Isi kontrak politik tersebut di antaranya jaminan bagi warga miskin untuk mendapatkan akses kesehatan, pendidikan, perumahan yang layak, jaminan pekerjaan, serta penyelesaian kasus lumpur Lapindo.

[caption id="attachment_326484" align="aligncenter" width="600" caption="Jokowi menerima lumpur dari Korban Lumpur Lapindo (Sumber metrotvnews.com)"]

14014426661813984583
14014426661813984583
[/caption]
"Dalam kasus seperti ini, negara harusnya hadir sebagai representasi dari kedaulatan rakyat. Kalau negara absen, artinya negara lupakan rakyat, ujar Jokowi di hadapan ribuan warga yang menjadi korban semburan lumpur panas Lapindo." (Lihat republika.co.id --> http://bit.ly/SjotAo)


Dalam kontestasi Pilpres saat ini, sukar bagi akal sehat untuk tidak menyebut nama Aburizal Bakrie. Sedianya mengajukan diri sebagai calon presiden, namun hasil kalkulasi akhir menempatkan Partainya menjadi 'hanya' sebagai pendukung koalisi Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Nama Bakrie sudah terlanjur bergandengan dengan Lumpur Lapindo, dan memang kala malapetaka itu terjadi, posisinya menguntungkan. Menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra), Aburizal memanfaatkan keberadaannya dalam pemerintahan untuk mengelak dari tanggung jawab penuh, dan sebagaimana kita tahu malapetaka Lumpur Lapindo berakhir sebagai 'Bencana Alam', bukan Kelalaian Manusia.

[caption id="attachment_326487" align="aligncenter" width="565" caption="Aburizal Bakrie (Sumber: tribunnews.com)"]

14014429971348910679
14014429971348910679
[/caption]

Lalu, meski sudah tidak menjabat sebagai menteri, ia duduk sebagai Ketua Umum Partai Golkar, partai dengan raupan suara tertinggi kedua setelah Partai Demokrat, pemenang Pemilu 2009. Dan sebagai orang nomor satu di Partai Pohon Beringin yang tergabung dengan Setgab Koalisi Demokrat, ia masih mendapatkan keistimewaan, sehingga pada akhirnya lagi-lagi ia berhasil menghindar dari pertanggungjawaban penuh atas dampak Lumpur Lapindo.

Bagaimana dengan Pilpres 2014 kali ini? Tentunya ia masih memburu keistimewaan untuk dapat lepas tangan atas Lumpur Lapindo (lagi). Dan tak ada jalan lain selain menjadi bagian dari tampuk kekuasaan. Ia harus merapat ke Istana untuk mendapatkan kekebalan itu. Setelah upaya koalisi dengan PDIP membentur dinding, akhirnya ia melipir ke kubu Prabowo Subianto.

[caption id="attachment_326488" align="aligncenter" width="600" caption="Mendukung koalisi Sang Jenderal (Sumber: pemilu.inilah.com)"]

14014432021295404587
14014432021295404587
[/caption]

Agaknya Aburizal tengah berharap-harap cemas, terlebih setelah Jokowi mengunjungi lokasi malapetaka Lumpur Lapindo di Porong dan mengeluarkan pernyataan yang rasanya bakal membuatnya ketar-ketir:

"Ganti rugi duitnya siapa. Itu yang salah siapa. Sudah jelas belum. Masak negara nggak berani melakukan. Negara berdaulat kok. Berdaulat politik ya gitu itu."


Pernyataan di atas yang sudah mengandung 'kode' tersebut dikuatkan dengan kalimat berikut:

"Nggak dipaksa saja sudah bayar kok. Belum tentu. Kalau nanti Presidennya Jokowi belum tentu. Kalau Presidennya Jokowi siapa tahu langsung dibayar. Kan gak ngerti kita. Jangan mendahului namanya berprasangka." tutupnya. (Sumber: merdeka.com --> http://bit.ly/1tW5jOS)


Nah, selamat berusaha tidur dengan nyenyak, Bung Ical :)

[caption id="attachment_326489" align="aligncenter" width="480" caption="Aburizal Ketar-ketir (Sumber: http://2.bp.blogspot.com/)"]

14014434011124311388
14014434011124311388
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun