Kebangkitan Ekonomi Tiongkok
Republik Rakyat Tiongkok adalah negara yang saat ini disebut sebagai emerging power terbesar di kawasan Asia Pasifik, hal ini karena Tiongkok berhasil meningkatkan perekonomian negaranya dengan berbagai cara. Pada awalnya setelah revolusi komunis yang dibawakan oleh Mao Tse Tung di tahun 1949, Tiongkok menjadi negara yang tertutup dan belum mampu mengembangkan perekonomian secara besar-besaran. Namun saat kepemimpinan dipegang oleh Deng Xiaoping, Tiongkok mulai berubah sedikit demi sedikit menjadi negara yang lebih baik, berbagai transformasi telah dilakukan oleh Deng Xiaoping seperti pada bidang pertanian, saat masa kepemimpinannya dia membagikan lahan kelompok petani kepada masing-masing kepala rumah tangga dan para petani setiap tahunnya tidak lupa diupah berdasarkan seberapa banyak mereka menanam pada lahan yang dimiliki. Perubahan selanjutnya dilakukan pada bidang insudtri, untuk meningkatkan perkembangan industri di negaranya, Deng Xiaoping memberikan pajak yang rendah dengan aturan usaha yang dipermudah dengan tujuan agar produksi barang semakin meningkat. Setelah industri terbangun, Tiongkok mencoba untuk menarik para investor asing ke negaranya dan mengubah beberapa lahan pertanian yang sangat luas menjadi area industri, hal ini dilakukan agar tenaga kerja dari negara mereka dapat mendapatkan pekerjaan dan penghasilan sekaligus mengurangi angka pengangguran. Tujuan lain pemerintah Tiongkok menarik investor asing adalah untuk modernisasi yang dapat dilakukan dengan mendapatkan pengetahuan dari tenaga ahli yang didatangkan dari luar negaranya. Dalam bidang pendidikan, langkah Tiongkok untuk mengurangi jumlah orang yang buta huruf adalah dengan melakukan program wajib belajar dalam program pendidikan dasar sembilan tahun pada 1986. Dimulai saat masa kepemimpinan Deng Xiaoping inilah Tiongkok menjadi negara yang terbuka dan mendukung penjualan produk dari perdagangan domestik menuju perdagangan internasional  (Santoso, 2017).
Kebangkitan ekonomi Tiongkok terlihat jelas pada abad ke 21 ini, dengan reformasi yang dilakukan akhirnya mampu memperkuat ekonomi mereka. Pada tahun 2010 peningkatkan ekonomi yang didapatkan oleh Tiongkok sebesar US$ 5,88 triliun, hal ini naik sebesar 16 kali dibandingkan pada saat tranformasi ekonomi dilakukan mulai tahun 1978 (Masa kepemimpinan Deng Xiaoping). Pencapaian lainnya yang berhasil didapatkan oleh Tiongkok yaitu pada tahun 2011, Tiongkok disebut sebagai negara industri terbesar yang dapat melampaui Amerika Serikat terutama pada bidang manufaktur seperti ponsel, mobil, dan komputer. AS juga mempercayakan pembuatan komponen produk di Tiongkok karena biayanya yang terbilang cukup murah dengan kualitas yang baik. Di saat yang sama, perekonomian Tiongkok naik hingga 9% dan menempati posisi kedua sebagai negara dengan ekonomi terbesar dibawah negara Amerika Serikat  (Planifolia, 2017).
Rivalitas Amerika Serikat–Tiongkok
Beberapa tahun belakangan ini, persaingan antar kedua negara dapat dilihat dengan sangat jelas baik dari persaingan ekonomi dan militer. Sebagai contoh pada tahun 2018 lalu telah terjadinya perang dagang antara AS-Tiongkok, hal ini bermula ketika Amerika Serikat di kepemimpinan Donald Trump mulai menaikkan bea masuk untuk berbagai produk impor dari Tiongkok dan hal tersebut dibalas dengan hal yang sama oleh negara Tiongkok. Sampai saat ini rivalitas kedua negara masih terus berlanjut, beberapa faktor penyebab diantaranya :
1) Liberalisme vs Komunisme
Negara Amerika Serikat adalah negara yang memegang paham Liberal, secara singkat liberal berarti bebas artinya seseorang bebas untuk menyampaikan pendapat, pemikiran, serta mengekspresikan dirinya. Paham ini sangat menjunjung tinggi kebebasan dan persamaan hak, hal ini tercermin dari sistem pemerintahan yang dianut yaitu demokrasi. Berbeda dengan AS, Tiongkok memakai paham komunis yang menganggap bahwa kepemilikan pribadi adalah kepemilikan publik yang merujuk terutama pada lahan dan sumber daya alam. Negara memiliki otoritas tertinggi dan kekuatan absolut. Wajah negara terefleksikan kepada pemimpinya, sehingga paham ini akan dekat dengan yang namanya kediktatoran. Dalam sejarah dunia kita mengetahui bagaimana panjangnya rivalitas antara dua negara superpower saat itu yaitu USSR dan USA. Persaingan yang terjadi pada masa perang dingin adalah persaingan ideologi antara komunis dan liberal yang akhirnya dimenangkan oleh Amerika Serikat setelah runtuhnya negara komunis Uni Soviet.
Persaingan antar ideologi berpotensi akan berlanjut hingga masa yang sekarang. Sebagai salah contoh yang mengindikasikan bahwa potensi persaingan ideologi ini masih ada adalah dalam pidatonya pada tahun 2020 lalu presiden Tiongkok yaitu Xi Jinping berpidato dan menyampaikan kepada dunia bahwa keberhasilan mereka menangani pandemi Covid-19 adalah berkat sistem sosialis dengan karakteristik Tiongkok, sentralitas kekuasaan PKT yang disampaikan oleh Xi Jinping seakan sebagai ajakan agar negara-negara di dunia beralih memegang paham komunis agar dapat mengatasi berbagai permasalahan di negaranya  (CNN, 2020).
2) Peningkatan Kapasitas Militer Tiongkok
Kebangkitan ekonomi Tiongkok berdampak positif bagi kelangsungan negara mereka, pendapatan yang didapatkan dapat dialokasikan secara bertahap dan meningkat untuk belanja militer. Pada tahun 2010 Tiongkok menggelontorkan dana belanja militer sebesar US$ 119 miliar, di tahun 2011 sebesar US$ 91,5 miliar, tahun 2012 mengalami peningkatan yang cukup tajam sampai US$ 166 miliar, dan ditahun 2013 belanja militer Tiongkok mencapai angka US$ 188 miliar  (Fathun, 2016). Tiongkok terus memperbarui kekuatan militer mereka dengan menghadirkan teknologi modern salah satu contohnya yaitu pada tahun 2013 Tiongkok menguji peningkatan kapal selam kelas JIN (Type 094) yang bertenaga nuklir dan kapal selam rudal balistik dengan kelas Shang (Type 093). Bahkan berdasarkan laporan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) tahun 2021 tentang negara mana saja di Asia yang memiliki nuklir. Diketahui bahwa senjata nuklir yang dimiliki Beijing mencapai 350 unit. Ini merupakan kenaikan sebanyak 30 unit bila dibanding tahun 2020 lalu yang berada di angka 320  (Sorongan, 2021).
3) Sengketa di Laut China Selatan
Laut China Selatan adalah wilayah laut yang membentang luas dan bersinggungan dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Selain wilayah laut, di dalamnya juga terdapat gugusan pulau-pulau kecil diantaranya yaitu kepulauan Paracels dan Spratly. Wilayah laut ini merupakan salah satu wilayah yang dianggap aman untuk dilalui sehingga dijadikan sebagai tempat lalu lintas perdagangan dunia. Di dalam penelitian para ahli pun mengatakan bahwa nilai strategis lain wilayah lautan ini adalah potensi perikanan, cadangan minyak dan gas yang berlimpah didalamya. Beberapa hal diatas mengindikasikan wajar saja apabila Laut China Selatan akan diperebutkan oleh banyak negara. Pada tahun 2009 lau, Tiongkok mengeluarkan klaimnya atas wilayah Laut China Selatan dengan mengajukan peta nine dash line kepada PBB untuk diakui sebagai wilayah resmi milik mereka. Peta sembilan garis putus-putus tersebut memotong wilayah laut negara Vietnam, Malaysia, Indonesia, Brunei Darussalam, dan Filipina. Tak lupa juga kepulauan yang ada di dalamnya juga ikut diperebutkan oleh berbagai negara. Sebenarnya keputusan ICJ pada tahun 2016 mengatakan bahwa klaim Tiongkok terhadap LCS yang berlandaskan sejarah tidak cukup kuat sehingga mengindikasikan bahwa Tiongkok tidak memiliki hak atas kepemilikan LCS  (Hattu & Priangani, 2020). Walaupun keputusan telah dikeluarkan Tiongkok tetap berpegang pada klaimnya dan melakukan berbagai langkah yang cukup agresif seperti pada akhir tahun 2019 lalu, kapal nelayan yang dikawal oleh kapal Coast Guard Tiongkok memasuki perairan natuna, Indonesia. Sampai saat ini gesekan yang terjadi di LCS masih belum selesai, bahkan pada tanggal 1 September 2021 lalu Tiongkok mengeluarkan UUD Lalu Lintas Maritim yang isinya adalah setiap kapal yang mengangkut bahan berbahaya seperti nuklir, bahan radioaktif dan minyak yang hendak melintasi LCS harus melapor terlebih dahulu kepada Tiongkok  (Berlianto, 2021).
Strategi Amerika Serikat Untuk Menekan Dominasi Tiongkok
Diplomasi sering disebut sebagai seni bernegosiasi, diplomasi dianggap sebagai cara yang sangat efektif untuk menyelesaikan suatu persoalan dibandingkan dengan melakukan peperangan. Diplomasi sendiri memiliki berbagai jenis, salah satunya yaitu diplomasi koersif. Diplomasi koersif adalah suatu aksi yang dilakukan dengan memberikan ancaman kepada negara lain sebagai cara untuk menghentikan ataupun menunda gerakan atau tindakan dari pihak lawan sesuai dengan apa yang diminta oleh pihak yang memberikan ancaman (Prastiti, 2019). Gunboat Diplomacy adalah bagian dari diplomasi koersif, Gunboat Diplomacy atau sering disebut sebagai diplomasi kapal meriam pertama kali diperkenalkan oleh seorang diplomat sekaligus ahli militer inggris bernama James Cable. Menurutnya Gunboat Diplomacy didefinisikan sebagai penggunaan kekuatan angkatan laut secara terbatas yang dilakukan sebagai upaya untuk mengamankan kepentingan nasional dalam situasi konflik internasional atau untuk menekan negara lain yang berada di dalam wilayah negara bersangkutan  (Rosyidin, 2016).
2) Pembentukan Pakta Pertahanan AUKUS
AUKUS adalah sebuah aliansi terbaru yang dibentuk pada 15 September 2021, penamaan AUKUS sendiri didapatkan dari nama ketiga negara pendirinya yaitu Australia, United Kingdom, United States. Berbagai media memberitakan bahwa tujuan dibentuknya aliansi pertahanan antar tiga negara besar ini adalah untuk menjaga stabilitas keamanan di kawasan Asia Pasifik. Untuk sekarang kerjasama difokuskan pada peningkatan kapasitas militer angkatan laut negara Australia dengan cara Amerika Serikat dan Inggris memberikan pengetahuannya tentang kapal selam bertenaga nuklir yang awalnya hanya pernah dibagikan oleh AS ke satu negara mitra yaitu Inggris. Dengan kerjasama ini Australia menjadi negara ke tujuh yang akan memiliki kapal selam bertenaga nuklir di dunia (BBC, 2021).
Analisis Kritis
Kebangkitan Tiongkok dalam hal ekonomi dan militer telah menarik perhatian dunia, pasalnya PDB negara yang berhasil menduduki peringkat kedua saat ini dimanfaatkan dengan baik salah satunya untuk menjaga keamanan negaranya dengan cara menghadirkan alutsista dengan teknologi canggih dan modern. Pengembangan senjata pemusnah massal, rudal jelajah antar benua terus dilakukan oleh negara Tiongkok yang ditahun 2021 ini mereka memiliki senjata nuklir sekitar 350 unit. Kebangkitan ekonomi dan militer membuat mereka berani untuk mengambil langkah agresif dengan melakukan pengklaiman terhadap wilayah Laut China Selatan yang kaya akan sumber daya. Berbagai keuntungan akan didapatkan oleh Tiongkok apabila berhasil menguasai wilayah laut strategis ini, dalam hal keamanan apabila LCS dikuasai Tiongok maka mereka akan mampu melakukan blokade dan memutus persediaan energi negara aliansi Amerika Serikat di Asia Timur yaitu Korea Selatan dan Jepang apabila dihadapkan dengan situsasi konflik bersenjata. Tentunya hal ini didasarkan kepada sejarah dimana pada saat perang dunia pertama berlangsung, blok entente melakukan blokade terhadap negara anggota blok sentral, mereka berhasil memutus jaringan persediaan makanan sehingga mengakibatkan banyakanya korban jiwa di negara Jerman dan Austria yang meninggal akibat kelaparan. Selain itu apabila LCS dikuasai oleh Tiongkok dan sumber daya di LCS dimanfaatkan dengan baik maka akan semakin memperkaya negara mereka yang tentunya anggaran belanja militer akan bertambah pula sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa Tiongkok berhasil menempati posisi sejajar sebagai negara yang dianggap mampu menggantikan USSR untuk menyaingi negara adidaya saat ini yaitu Amerika Serikat. Perbedaan ideologi juga turut mewarnai persaingan antar kedua negara, apabila Tiongkok terus mengalami peningkatan maka hal ini berpotensi menggeser kekuatan Amerika Serikat dalam politik internasional. Beberapa hal diatas menjadi alasan mengapa Amerika Serikat menolak klaim dan dominasi Tiongkok di kawasan Asia Pasifik.
Untuk menekan dominasi Tiongkok ini Amerika Serikat terus melakukan berbagai strateginya. AS melakukan yang namanya Gunboat Diplomacy dengan menempatkan salah satu kapal induk yang dimiliki pada kawasan Asia Pasifik, kapal induk tersebut bernama USS Ronald Reagan yang mulai memasuki kawasan sengketa pada 14 Oktober 2021 lalu. Kapal induk dan kapal perang AS seringkali terlihat  melintasi wilayah LCS dengan motif untuk menekankan kembali kebebasan bernavigasi. Strategi lainnya yang dilakukan oleh AS yaitu membentuk Aliansi AUKUS, sebelum aliansi ini dibentuk pada tanggal 1 September 2021 dalam rangka untuk mengukuhkan kembali klaimnya atas LCS, Tiongkok membuat UUD Lalu Lintas Maritim yang mewajibkan kapal yang mengangkut bahan berbahaya diharuskan untuk melapor terlebih dahulu kepada pihak Tiongkok ketika akan melintasi wilayah LCS ini. Tidak lama kemudian tepatnya pada 15 September 2021 ketiga negara yaitu Autralia, Inggris, dan AS membentuk pakta pertahanan AUKUS.
Jika ditanya apakah strategi yang dilakukan oleh AS ini telah berhasil sepenuhnya maka jawabannya adalah belum, karena saat ini pun Tiongkok belum menarik klaimnya atas LCS dan kepulauan yang ada di dalamnya seperti Kepulauan Spratly, fasilitas Tiongkok yang dibangun di salah gugusan pulau kecil tersebut masih ada sampai sekarang, gesekan antar masyarakat Tiongkok dan negara lain di wilayah laut yang disengketakan tetap terjadi hingga saat ini. Tetapi langkah agresif lanjutan negara Tiongkok belum terlihat kembali yang menandakan bahwa strategi Gunboat Diplomacy dan pembuatan pakta pertahanan AUKUS ini tentunya memiliki efek tersendiri. Rivalitas kedua negara kemungkinan akan berlangsung lama, karena inti permasalahan seperti isu LCS masih terus berlanjut, Tiongkok mungkin tidak akan mundur dari klaimnya menimbang jika klaim kepemilikan LCS ditarik maka akan berdampak buruk bagi negara mereka sendiri. Partai Komunis Tiongkok dapat kehilangan kepercayaan masyarakatnya, disisi lain juga dapat menodai nama baik mereka jika kalah dan melepaskan wilayah LCS yang telah di klaim secara keras sejak tahun 2009 lalu.
DAFTAR PUSTAKA
Alunaza, H. (2020). Peran Gunboat Diplomacy dalam Diplomasi Kontemporer. Retrieved Desember 01, 2021, from reviewnesia.com: https://reviewnesia.com/peran-gunboat-diplomacy/
Arbar, T. F. (2021, Oktober 16). Mengapa Kapal Induk USS Ronald Reagan ke Laut China Selatan? Retrieved Desember 01, 2021, from www.cnbcindonesia.com: https://www.cnbcindonesia.com/news/20201016142451-4-194896/mengapa-kapal-induk-uss-ronald-reagan-ke-laut-china-selatan
BBC. (2021, September 17). Aukus: Mengapa pakta pertahanan Inggris, AS, Australia prioritaskan pembuatan kapal selam untuk tangkal China di Indo-Pasifik? Retrieved Desember 01, 2021, from https://www.bbc.com/indonesia/dunia-58592794: https://www.bbc.com/indonesia/dunia-58592794
Berlianto. (2021, Agustus 31). Ingin Kontrol LCS Sepenuhnya, China Sahkan Undang-undang Maritim Baru. Retrieved Desember 01, 2021, from international.sindonews.com: https://international.sindonews.com/read/527838/40/ingin-kontrol-lcs-sepenuhnya-china-sahkan-undang-undang-maritim-baru-1630415339
CNN. (2020, September 08). China Klaim Terdepan Tangani Covid-19 dan Pulihkan Ekonomi. Retrieved Desember 01, 2021, from www.cnnindonesia.com: https://www.cnnindonesia.com/internasional/20200908203221-43-544215/china-klaim-terdepan-tangani-covid-19-dan-pulihkan-ekonomi
Fathun, L. M. (2016). Pengaruh Peningkatan Kekuatan Militer Tiongkok Terhadap Keamanan Stabilitas Regional Asia Timur. Jurnal The Politics , 193-194.
Hattu, J. A., & Priangani, A. (2020). Strategi RRC dalam Dinamika Konflik di Laut China Selatan. Jurnal Academia Praja , 113-116.
Indonesia, C. (2021, September 21). Australia Klarifikasi ke ASEAN Soal Kapal Selam Nuklir. Retrieved Desember 01, 2021, from www.cnnindonesia.com: https://www.cnnindonesia.com/internasional/20210921191740-106-697492/australia-klarifikasi-ke-asean-soal-kapal-selam-nuklir
Kompas. (2021, Agustus 05). China Lockdown Parsial, Strategi "Toleransi Nol" Covid-19 Tujukkan Kelemahan. Retrieved Desember 01, 2021, from www.kompas.com: https://www.kompas.com/global/read/2021/08/05/115956470/china-lockdown-parsial-strategi-toleransi-nol-covid-19-tunjukkan?page=all
Planifolia, V. (2017). Strategi Rebalancing Amerika Serikat di Kawasan Asia-Pasifik. JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL , 19-23.
Prastiti, D. N. (2019). Inkonsistensi Kebijakan Countering America’s Adversaries Through Sanctions ACT (CAATSA): Studi Kasus Pembelian Senjata S-400 India. Global Strategis , 127.
Rosyidin, M. (2016). Isu Natuna dan Kebijakan Realpolitik Indonesia. Analisis CSIS , 376.
Santoso, B. (2017). Kebangkitan Ekonomi China Dan Pengaruhnya Terhadap Beberapa Negara Di Kawasan Asia. Global Insight Journal , 228-230.
Sorongan, T. P. (2021, September 21). RI 'Terkepung', Deretan Negara-negara Dekat yang Punya Nuklir. Retrieved Desember 01, 2021, from www.cnbcindonesia.com: https://www.cnbcindonesia.com/news/20210920150920-4-277682/ri-terkepung-deretan-negara-negara-dekat-yang-punya-nuklir
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H