Saat nyantri di Pesantren Tegalrejo, Magelang dibawah asuhan Kyai Khudhori, Gus Dur menyelesaikan pendidikannya selama dua tahun -- dimana pada umumnya santri lain menyelesaikan selama emapt tahun. Bahkan Gus Dur pada waktu itu ia lebih banyak menghabiskan waktunya di luar kelas dengan membaca buku-buku Barat.
Pada tahun 1990-an, sebagaimana dikutip oleh Greg Barton, bahwa Greg Fealy yang pernah mengunjungi Pesantren Denanyar Jombang melihat barang-barang berharga yang merupakan lemari tua milik Gus Dur. Dimana lemari tersebut berisi penuh buku-buku asing yang dibaca Gus Dur selama 20 tahun tinggal di pesantren.
Tahun 1964, di Kairo, Mesir merupakan salah satu kota dimana pengembaraan intelektual dan pencarian jati diri seorang Gus Dur berkembang.. Gus Dur sendiri juga sempat terpukau dengan dunia pergerakan Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir sedang mengalami kepopuleran di dunia Islam pada saat itu. Bahkan Aziz Bisri, adik laki-laki dari Nyai Solichah (Ibu Gus Dur) pernah meminta Gus Dur untuk mendirikan cabang IM di Indonesia
Beasiswa yang ia dapat di Universitas Al-Azhar nampaknya agak membuat kecewa ketika Gus Dur mulai menjalani perkuliahan di salah satu kampus tertua di dunia tersebut.Â
Perkuliahan dengan pelajaran pengetahuan dasar Bahasa Arab yang diwajibkan nampak membuat Gus Dur bosan. Oleh karenanya Gus Dur hampir selama setahun ia tidak mengukuti perkuliahan dan lebih menyibukkan diri dengan petualangan intelektual di perpustakaan-perpustakaan besar di Kairo.
Gus Dur menemukan banyak sumber bacaan yang selama ini jarang ia temukan di Indonesia. Dimana buku-buku tersebut seakan menjadi penawar dahaga rasa hausnya yang besar akan studi-studi pemikiran Islam dan Barat. Gus Dur menemukan kebebasan dan keleluasaan buku bacaan yang ia sukai, dimana karya-karya seperti William Faulkner, Ernest Hemingway, Kafka hingga Tolstoy yang mungkin sulit ia temui semasa di pesantren.
Kegiatan menulis pun telah Gus Dur lakoni termasuk menulis secara aktif di majalah yang diproduksi oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia di Mesir. Mulai dari politik, keislaman, dan modernitas ia tulis sebagai gagasan-gagasan baru yang ingin Gus Dur tawarkan pada dunia Islam terkhusus Indonesia. Â
Ketika prestasinya kurang diharapkan saat di Kampus Al-Azhar, Gus Dur malah mendapatkan tawaran beasiswa di Baghdad, Irak. Di Universitas Baghdad, Gus Dur menetapkan kedisiplinan lebih dibanding ketika di Mesir. Meski demikian ia masih punya waktu untuk menonton film dan membaca secara teratur bahkan hingga larut malam dinihari yang sesekali membuat ia mengantuk saat kuliah.
Semasa di Baghdad, ruh kecendikiawanan Gus Dur juga semakin terbentuk. Gus Dur juga lebih banyak mempunyai waktu untuk membaca serta masih senantiasa aktif menulis mengenai Islam di Indonesia. Kemampuan dan pengalaman menulis Gus Dur yang mumpuni saat di Mesir membuat dirinya juga tetap aktif memproduksi tulisan di Baghdad. Kegiatan menulis esai dan berita masih ia jalani salah satunya dengan bekerja di media cetak Ar-Rahmadani di Baghdad.
Dari kisah tersebut, yang sebagain besar dipaparkan dalam karya "The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid" nampaknya Greg Barton mengajak kita semua untuk menyelami konstruk intelektualisme seorang Gus Dur lebih natural dan apa adanya tanpa embel-embel keilmuan yang bersifat sufistik (laduni).Â
Dari Gus Dur kita belajar kembali bahwa kecerdasan literasi yang kemudian menjadi embrio intelektulalisme seseorang merupakan hasil "kegilaan" untuk menaruh minat dan tradisi baca yang tinggi pada segala hal. Sebagaimana adagium lama bahwa seorang penulis yang baik pastilah ia adalah pembaca yang baik (banyak) pula. Dan Gus Dur membuktikan itu. Wallahu'alam Bishshawab