Mohon tunggu...
Aditya Alwiyanto
Aditya Alwiyanto Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa UNJ

Jika saya mempotsting sesuatu artinya saya sedang mengerjakan tugas

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bagaimana COVID-19 Mempengaruhi Kehidupan Masyarakat Indonesia

14 November 2020   18:07 Diperbarui: 14 November 2020   18:15 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: kompasiana.com


Oleh: Aditya Alwiyanto

(Mahasiswa Pendidikan Sosiologi FIS UNJ)

COVID-19 adalah peristiwa menyebarnya penyakit korona virus 2019 di seluruh dunia. Penyakit ini disebabkan oleh korona virus jenis baru yang diberi nama SARS-CoV-2. Wabah COVID-19 pertama kali dideteksi di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok pada bulan Desember 2019, dan ditetapkan sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 11 Maret 2020.

Hal tersebut tentunya membuat hampir seluruh negara siap siaga akan Covid-19 ini, termasuk pemerintah Indonesia yang pada pidato Joko Widodo memberikan tindakan pencegahan kepada masyarakat dengan mengeluarkan perintah untuk melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di mana pembatasan aktivitas yang berhubungan dengan fisik ini dilakukan sebagai upaya pengendalian tersebarnya virus korona. Dengan adanya PSBB dapat menekan dan menghentikan rantai penyebaran Covid-19, Dengan menerapkan kebijakan yang erat hubungannya dengan pembatasan masyarakat untuk tidak melakukan banyak aktivitas di luar rumah, seperti bersekolah dan bekerja.

Dampak pada keadaan sebelum covid-19 memaksa masyarakat menjalani PSBB

Sebelum masa pandemi di Indonesia masyarakat mulai merasa cemas dikarenakan kurangnya informasi tentang pandemi covid-19. Kecemasan tersebut mulai bertambah parah seiring dengan berjalannya waktu. Penyebaran covid-19 mulai mendekati Indonesia dari berbagai arah mulai dari negara-negara di Asia tenggara dan juga dari negara Australia.

Saat himbauan tentang akan diberlakukannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) masyarakat mempersiapkan diri mereka untuk kemungkinan yang terburuk, mereka melakukan persiapan jika halnya akan diberlakukan lockdown. Masyarakat menanggapi hal ini dengan melakukan panic buying. Panic buying sendiri mempunyai makna sebagai perilaku konsumen berupa tindakan orang membeli produk dalam jumlah besar untuk menghindari kekurangan di masa depan (Shou dkk., 2011). Perilaku ini juga disebut sebagai perilaku penimbunan barang yang dilakukan oleh konsumen.

Hal ini membuat  banyak orang berlomba-lomba untuk memenuhi kebutuhan mereka akan barang-barang yang mereka butuh-kan selama masa covid-19 berlangsung, sebagai contoh ada seseorang yang melakukan panic buying untuk mempersiapkan diri mereka untuk melakukan isolasi diri selama satu tahun penuh. Mereka juga tidak akan bepikir panjang untuk mengeluarkan uang yang banyak untuk untuk mendapatkan barang tersebut. Yang seperti dikatakan simmel uang adalah perantara untuk mendekatkan orang terhadap obyek.

Hal ini yang menimbulkan banyaknya kepanikan dimasyarakat membuat mereka berbondong-bondong berbelanja kebutuhan untuk mempersiapkan jika terjadi lockdown. Hal ini dikarenakan orang-orang mengikuti tren yang dimulai karena adannya pandemi covid-19. Simmel membahas tentang kontradiksi yang hadir dalam dunia mode. Di satu sisi, mode memberi ruang bagi mereka yang ingin terlihat sebagai bagian dari kelompok tertentu. Dengan mengadopsi gaya berpakaian kelas borjuis misalnya, seorang individu dapat tampil sebagai bagian dari kelas sosial tersebut.

Mode atau tren yang dilakukan masyarakat pada masa pandemi covid-19 ini adalah melakukan panic buying. Panic buying ini dilakukan oleh masyarakat-masyarakat luar yang di mana negara mereka telah diberlakukan lockdown. Dari negara tersebut negara-negara lain mencoba mengikuti tren panic buying tersebut dengan tujuan agar mereka telah siap untuk menjalani kehidupan jika halnya  negara mereka juga melakukan kebijakan lockdown.

Hal inilah yang dimanfaatkan oleh para oknum-oknum yang tidak bertangung jawab untuk membuat melakukan penimbunan pada produk dagang mereka, merka juga menihkatkan harga pada produk mereka karena terjadinya kelangkaanpada produk tersebut. Para konsumen juga tidak peduli akan harga dari barang-barang yang mereka beli, mereka hanya membeli barang tersebut untuk mempersiapkan diri mereka jika kebijakkan lockdown diberlakukan.

Dampak setelah selesainya diberlakukannya PSBB

Pembatasan sosial berskala besar di berlakukan untuk meminimalisir dampak dari covid-19 ini, namun PSBB juga mempunyai dampak bagi kehidupan sosial kita. Dengan adanya PSBB orang-orang lebih banyak melakukan interaksi antar individu melalui media sosial. Seperti tanggapan Simmel tentang uang,  Simme beranggapan uang bukan hanya sebagai alat transaksi tetapi juga sebagai alat mediasi sama halnya seperti media sosial sebagai objek mediasi bagi orang-orang untuk mengekspresikan dirinya kepada orang lain.

Sumber: kompasiana.com
Sumber: kompasiana.com

Tetapi, berbanding terbalik dengan teori simmel tentang uang sebagai mediasi untuk mendekatkan seseorang dengan objek, media sosial melakukan hal sebaliknya bukannya mendekatkan seseorang dengan orang lain tetapi menjauhkan orang dengan orang di sekitarnya. Hal ini adalah dampak dari penggunaan media sosial sebagai media untuk berinteraksi dengan orang lain. Dampak ini dapat dirasakan setelah kebijakan PSBB di berhentikan. Saat kebijakan PSBB diberhentikan masyarakat akan kembali dengan kehidupan normalnya. Terapi kehidupan normal yang baru tidaklah sama dengan kehidupan normal yang lama. Orang-orang sudah dapat beraktivitas di luar dengan adanya batasan seperti social distancing untuk mengurangi kerumunan masa yang ada. Karena terbawanya kebiasaan untuk melakukan interaksi melalui media sosial masyarakat akan lebih memilih menggunakan media sosial dalam berinteraksi walaupun kebijakan PSBB sudah diberhentikan. Karena hal ini masyarakat akan mengalami kecanggungan dalam berinteraksi secara langsung dengan sesamanya.

Masalah ini dapat berdampak kepada sistem sosial dimasyarakat. Masyarakat menurut Parsons memiliki fungsi seperti bagian tubuh manusia jika salah satu dari bagian ini mengalami masalah maka seluruh sistem akan mengalami kegagalan dalam melaksanakan tugas. Seluruh dari sistem saling berhubungan dan bergantung satu sama lain. Masalah ini membuat seseorang lebih memilih ketergantungan terhadap media sosial dari pada orang yang lain.

Jika tidak adanya ketergantungan dengan orang lain sistem sosial yang lama akan tergantikan oleh sistem sosial yang baru. Karena sistem sosial merupakan dari bagian yang konsensus/kesepakatan bersama yang di wujudkan menjadi simbol bersama seperti aturan, nilai dan norma. Kesadaran lolektif yang di sepakati banyak orang akan menjadi aturan, nilai dan norma yang baru, di mana dalam nila dan norma yang baru ini kontak fisik antar individu tidak dibutuhkan lagi karena proses interaksi melalui media sosial telah di disosialisasikan selama masa kebijakan PSBB masih berjalan.

Keadaan ini sangat memprihatinkan karena teknologi seperti media sosial dapat bersifat adiktif (kecanduan) dan sulit untuk berubah apabila tidak dilakukan treatment khusus dan serius. Muncul nomophobia yang merupakan ketakutan bila  peralatan digital seperti ponsel ketinggalan, selalu memeriksa ponsel setiap beberapa menit, ketergantungan pada charger, bahkan merasa ketakutan dan stres bila baterai lemah atau mungkin sinyalnya tidak maksimal.   Bahaya pancaran sinar ponsel, dan penggunaan ponsel berlebihan di malam hari akan mengganggu jam tidur hingga mengurangi waktu istirahat yang pada akhirnya menjadi gangguan kesehatan.

Sumber:

Ridzer, George dan Douglas J. Goodman. 2004. Sociological Theory.Mcgraw-Hill: New York.

PROF.DR. I. B. Wirawan. 2012. Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma. KENCANA PRENADA MEDIA GROUP: Jakarta.

Dolata, ulrich dan Jan-Felix Schrape. 2018. Collectivity and Power on the Internet: A Sociological Perspective. Springer: Cham, Swiss.

Shadiqi1, Muhammad Abdan, Rima Hariati1, Khaerullah Fadhli Arasy Hasan1, Noor I’anah1, & Wita Al Istiqomah1. 2020. Panic buying pada pandemi COVID-19: Telaah literatur dari perspektif psikologi: Jurnal Psikologi Sosial 2020, Special Edition COVID-19 Vol. 18, Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru, Kalimantan Selatan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun