Seorang pelopor gerakan pragmatisme di Amerika Serikat pada awal abad ke-20 sekaligus ahli semiotika, yaitu C. S. Peirce (1839-1914). Mengemukakan bahwa tanda adalah objek yang akan diinterpretan (proses interpretasi) sehingga menghasilkan tanda lain dan makna tanda itu sendiri. Baginya, tanda itu bisa dipersepsi, tanda akan mengacu pada hal atau objek lain, dan tanda adalah sesuatu yang dapat diinterpretasi. Latar belakang tanda sendiri ada tiga yaitu: Qualisign (sifat potensial), sinsign (kenyataan eksternal yang aktual), dan legisign (aturan umum, tradisi, konvensi, atau kode) (Sulasman dan Gumilar, 2013:179-180).
Objek atau acuan adalah sesuatu yang menandakan unsur kenyataan yang ditunjuk oleh tanda. Sifat penghubungan tanda dan acuannya ada tiga macam yaitu: Ikon (tanda yang menggambarkan persamaan dengan sesuatu yang dikenal/formal), indeks (tanda-tanda yang merujuk/natural), dan simbol (tanda yang berlaku umum ditentukan oleh peraturan atau kesepakatan/arbitrer). Dari sifat-sifat ini lah tanda bisa diinterpretan, artinya tanda yang sebagai penanda diinterpretasi dengan cara merelasikan tanda dengan acuan sebagai petanda sehingga menghasilkan tanda-tanda baru dan pemaknaan dari tanda itu.
Katakanlah misalnya sumpit yang menjadi tanda orang Tionghoa yang merujuk sebagai alat makan, sendok yang menjadi tanda orang Eropa yang merujuk sebagai alat makan, dan tangan yang menjadi tanda orang Melayu/Indonesia yang merujuk sebagai alat makan. Dengan kata lain sumpit, sendok, dan tangan adalah penanda/signifier dan alat makan adalah petanda/signified.
Selain itu Peirce juga membagikan tiga kategori keterhubungan, yaitu: Rheme (interpretasi kemungkinan acuan), Dicisign (tanda informatif), dan Argument (proses berpikir yang menghasilkan kepercayaan) (Sulasman dan Gumilar, 2013:181).
Keberadaan tanda dalam kehidupan sehari-hari sudah berlangsung dari masa pra-sejarah. Setidaknya hinga kini tanda tersebut banyak ditemui pada gua-gua atau ceruk-ceruk di seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia dalam bentuk gambar-gambar atau lukisan gua. Pada awalnya gambar-gambar ini dihasilkan oleh manusia purba Neanderthal yang lahir di Eropa sekitar 100.000 tahun yang lalu dan dikembangkan oleh manusia purba Cro-magnon yang hidup sekitar 40.000 tahun lalu. Manusia purba Cro-magnon ini lah yang paling produktif dalam memproduksi tanda-tanda dalam bentuk gambar sehingga disebut sebagai "manusia seniman".
Di Indonesia sendiri penelitian mengenai gambar-gambar ini dipelopori oleh dua bersaudara dari Swiss yang bernama Paul Sarasin dan Fritz. Mereka melakukan ekskavasi di gua Sulawesi Selatan, Lamoncong, Bone, pada tahun 1902-1903 (Nur, 2018:1). Objek temuannya banyak berupa cap tangan manusia (cap tangan utuh, cap 5 jari, dan cap 4 jari) hingga gambar-gambar binatang pada masa tersebut. Seiring perkembangannya, penelitian tersebut menyebar pada gua-gua yang berada di Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Irian. Namun usia tertua pada gambar-gambar tersebut berada di Sulawesi Selatan yang berusia sekitar 10.500-5.000 tahun yang lalu (Sulasman dan Gumilar, 2013:183).
Dalam pengkajian tanda dalam bentuk gambar di gua-gua yang dibuat oleh manusia purba/tradisional sebagai pelaku budaya. Dianggap sebagai bentuk kegiatan religi maupun seni yang mengacu pada identitas manusia tersebut. Tentunya jika kita mengacu pada identitas, kita tidak bisa lepas dari para pemikir post-modernisme terkhusus penganut eksistensialisme seperti Heidegger, Sartre, Gadamer, Rorty, dsb. Sehingga dalam penafsiran kepada manusia purba/tradisional itu tidak terlepas dari eksistensi manusia yang juga mempunyai identitasnya.
Begitupun jika kita merefleksikan tanda-tanda masa kini dalam kehidupan sehari-hari yang akan menjadikan kita bersikap kritis. Sekaligus bersikap bijaksana dalam menghadapi tanda-tanda tersebut.Â
Pada dasarnya kita sebagai manusia yang berbudaya tidak akan terlepas dari tanda-tanda atau dengan kata lain tanda-tanda tersebut juga bisa menjadi identitas kepada pelaku budaya. Tanda-tanda itu tidak tunggal dan berbeda-berbeda namun saling berelasi dengan tanda lainnya.
Tanda-tanda yang hadir dalam praktek kehidupan kita sebenarnya tergantung dari kita sendiri. Apakah kita sadar dan jeli melihat tanda-tanda tersebut? Misalnya saja ekspresi atau mimik wajah orang yang kita jumpai, balasan pesan gebetan yang singkat (jika ada), hingga tanda-tanda yang disebabkan oleh alam (misalnya mendung sekaligus angin kencang menandakan akan turun hujan).
Menghadapi berbagai tanda-tanda yang kita sadari tentunya akan menentukan aksi dan tindakan. Maka pentingnya menafsirkan atau membaca tanda-tanda dalam kehidupan sehari-hari menjadikan kita lebih banyak keuntungan. Misalnya kita bisa lebih mudah diterima dalam lingkungan sosial, kita bisa mengetahui maksud seseorang yang disampaikan secara implisit maupun menghadirkan keakraban yang erat oleh alam serta makhluk hidup lainnya.
Dengan demikian tanda-tanda yang melekat pada pusaran hidup kita akan menjadi makna jika kita tafsirkan. Sehingga membuat hidup kita menjadi lebih bermakna dan tidak monoton. Jangan takut tentang salah-benar dalam menafsirkan tanda-tanda tersebut sebab jika kita menyandarkan kebenaran pada pemikiran post-modernisme maka kebenaran tersebut bersifat relatif. Hal ini berarti tiap individu mempunyai kebenaran masing-masing. Namun jangan lupa pula bahwa kebenaran tersebut mempunyai kadar yang berbeda-beda. Sehingga kehadiran kebenaran yang ada di mana-mana tersebut akan menjadikan kita bersikap plural dan toleransi.
DAFTAR PUSTAKA
Nur, M. 2018. Prasejarah Gua Tenggera dan Gua Anabahi, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Indonesia. Tesis. Pulau Pinang: Universitas Sains Malaysia.
Sulasman, H dan Gumilar, S. 2013. Teori-Teori Kebudayaan: Dari Teori hingga Aplikasi. Bandung: Pustaka Setia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H