Mohon tunggu...
Aditya Shorea Pratama
Aditya Shorea Pratama Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seorang mahasiswa tingkat akhir Jurnalistik Universitas Padjadjaran Bandung

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Budaya Sapa dan Memberi

22 Januari 2014   11:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:35 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya kebetulan ada di rumah. Karena pada Jumat kemarin, banjir di Bekasi sudah mulai "nakal". Banjir terparah kalau kata teman saya yang rumahnya memang langganan dikunjungi banjir. Dan ketika sampai di rumah, ibu saya cerita bahwa banjir sudah mulai masuk rumah walau sedikit. Ini jarang terjadi di rumah orang tua saya.

Sebagai anak yang baik, setiap pulang ke rumah, saya menjadi pendengar yang baik bagi cerita-cerita dari ibu saya. Mulai dari cerita saudara, tetangga, hingga obrolan gosip Ayu Ting Ting dan Enji yang bagi saya, "Ora urus!". Ya saya hanya pendengar dan menanggapi saja. Seperti pagi ini. Terbangun pukul lima pagi, setelah salat subuh, ibu saya mulai bercerita soal tetangga baru yang sombong.

"Hih, mama tuh sebel deh. Masak si ibu A kalo pergi gak pernah nyapa tetangga. Sombong banget kan, mas," cerita ibu saya.

"Ya mungkin buru-buru ma," jawab saya singkat.

"Gak mas. Si tante B (tetangga ibu satu lagi) juga pernah cerita ke mama sama ibu-ibu yang lain kalau si ibu A tuh kelakuannya kaya gitu," timpal ibu saya, ketus.

"Ooooh." Hanya itu yang terucap dari mulut saya. Saya kadang bingung mau menimpali apa kalau ibu saya bercerita kelakuan seseorang.

"Padahal kan gampang tho! Mbok ya buka kaca mobil, terus tinggal senyum dan ngomong, 'mari bu' atau 'mari pak'. Kan ngono ya iso tho? Angel men," omel ibu saya dengan logat jawa timuran. Ibu saya kalau ngomel, jawa timurannya keluar.

"Lha, kalau gak pergi sering ngobrol gak?" tanya saya.

"Gak. Paling kalau arisan tok. Kamu tuh jangan gitu ya nanti. Ada di lingkungan mana pun, sebisa mungkin tuh nyapa orang di sekitar kamu kalau ketemu. Minimal ya senyum terus ngangguk gitu. Kalau gak ya tambahin, 'misi pak bu'. Gitu aja," jawabnya sembari memberi petuah kepada saya.

Saya lantas tersadar, menyapa sangat penting bagi kehidupan kita. Kata banyak orang, menyapa merupakan budaya orang-orang timur. Saya tidak tahu sebenarnya bagaimana perlakuan orang-orang asia lainnya, apakah sama dengan yang di Indonesia atau tidak. Tapi, di Indonesia, menyapa adalah hal yang sangat penting dan sering dilakukan. Dan mungkin sudah menjadi kebiasaan alami seperti halnya kalau lapar, kita makan. Oleh karena itu, banyak orang luar negeri atau bule yang senang dengan Indonesia. Mereka sering mengatakan orang Indonesia ramah-ramah. Di negara-negara eropa dan sekitarnya mungkin tidak terbiasa dengan hal ini. Banyak orang sana yang solitaire sepertinya.

Selain ada budaya sapa, masyarakat kita juga terbiasa dengan beri memberi. Oleh-oleh tak pernah lupa diberikan kepada tetangga kita ketika kita pergi ke suatu tempat. Atau yang biasa ibu saya dan para tetangga lakukan, ketika memasak lebih, sepiring atau semangkok makanan yang kita masak diberikan kepada tetangga rumah, begitupun sebaliknya. Entah kenapa dari budaya sapa dan memberi ini saya teringat banjir yang sudah sering melanda kota Jakarta. Bahkan sejak zaman VOC kata orang-orang dulu.

***

Kemarin saya membaca Koran Tempo. Ada tulisan dari mantan wartawan Tempo yang kini jadi pendeta, Putu Setia atau yang di twitter biasa berkeliaran dengan akun @mpujayaprema di kolom pendapat dengan judul "Kisah Air yang Tersesat. Tulisan itu intinya, jika alam ini ada roh di dalamnya, termasuk air. Mengawali tulisan dengan cerita Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya yang selalu mengajak bicara tanaman dan pohon yang dipeliharanya. "Saya ajak ngomong tanaman itu. Kamu kenapa kok nggak mau tumbuh, padahal kan sudah kami rawat dengan baik?" tulis Putu Setia seperti yang diutarakan Risma. Tak  berselang lama, tanaman itu langsung berbunga.

Dalam tulisan tersebut, Putu juga menganggap air punya roh karena merupakan ciptaan tuhan. Manusia tidak menghormati air dengan cara menyumbat jalannya. Air -- yang dianggap punya roh -- tersesat karena jalannya disumbat hingga akhirnya mau tidak mau menjalar ke pemukiman-pemukiman. Baca selengkapnya di sini.

Saya sebenarnya ingin menambahkan. Selain air punya roh, anggap saja air adalah tetangga dekat kita. Dalam agama islam, tetangga merupakan saudara terdekat kita. Apapun yang terjadi dengan kita, yang tahu tentang keadaan kita selain orang-orang di rumah, tetangga juga tahu. Ya, intinya tetangga termasuk yang membantu kita pertama kali ketika ada musibah.

Sama halnya dengan manusia, air di sungai atau kali merupakan tetangga kita. Tetangga yang dengan ikhlasnya memberikan tempat untuk kita mencuci pakaian, mandi, bahkan buang air. Tetangga kita itu sangat ikhlas bila dia dipenuhi dengan tahi dan kotoran-kotoran hasil pemanfaatan manusia. "Setidaknya aku bermanfaat buat mereka," mungkin pikir air di sungai seperti itu. Namun apa yang kita balas dari kebaikan air? Ya, kita memberi mereka sampah. Ibarat tetangga kita yang manusia, kita memberi mereka makanan yang basi. Jengkel? Oya, mesti jengkel.

Saking jengkelnya, tetangga kita itu ngambek. Mereka bertamu secara berlebihan. Bahkan bawa teman yang banyak hingga tingginya 3-4 meter, menenggelamkan rumah. "Aku dikasih sampah sih abisnya. Aku bales nih," kata air. Seperti kata Putu Setia, jika air punya roh, saya yakin dia akan mengatakan itu. Eh, sayangnya, manusia yang bebal malah mengumpat kepada air dan tetap memberi sampah kepadanya.

Nah, sebagai tetangga yang baik, yuk kita berbuat baik kepada air. Sama halnya dengan kita yang punya hewan dan buang air besar di depan rumah tetangga kita. Kita langsung membersihkan tahi itu agar tidak dimarahi tetangga kita. Mungkin hal ini juga berlaku bagi air. Sebaiknya, tetangga kita ini dibersihkan. Dan mungkin kita hadiahi tanaman yang indah. Kasih makanan yang enak seperti kapal-kapal kecil yang bagus, baik sebagai sarana transportasi maupun sebagai tempat wisata. Jadikan wahana bermain buat anak-anak, siapa tahu tetangga kita ini suka anak-anak. Masih mau diambekin lagi? Yang di Manado, air udah ngambek parah. Marah mungkin. Hayo......

***

Ibu saya sedang memegang remot tv. Gonta ganti channel. "Eh mas. Kamu lagi internetan kan? coba deh lihat Bu Ani curhat soal instagram," kata ibu saya. Saya pun melihatnya di youtube. Lucu sih.

"Saya jengkel. Seperti contohnya kemarin. Ada yang menulis begini, 'ibu ini banjir kok main instagram?' Kan kesel saya jadinya," kata Bu Ani.

Untuk Bu Ani, anggap saja follower-follower Anda di instagram itu tetangga Anda. Anggaplah mereka sedang memberi saran dan kritik atau mencari perhatian Anda yang menurut mereka, Anda itu orang yang sangat dihormati. Orang yang sangat bisa diajak untuk menyelesaikan masalah dan sebagainya. Bahkan ada follower yang memperhatikan mas Ibas yang selalu menggunakan lengan panjang. Sangat peka sekali follower Anda itu. Saya saja gak kepikiran. Saya bukan tetangga yang baik buat Anda sepertinya. Follower Anda atau yang saya anggap tetangga Anda itu mungkin ingin melihat penampilan yang berbeda dari mas Ibas. Anda diingatkan sebenarnya bu. Seharusnya Bu Ani berterimakasih sama follower Anda yang sangat perhatian itu. Atau Bu Ani ini memang kurang peka dan kurang perhatian dengan tetangganya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun