Mohon tunggu...
Adi Triyanto
Adi Triyanto Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sebuah Perusahaan swasta Di Tambun- Bekasi-Jawa Barat

Lahir Di Sleman Yogyakarta Bekerja dan tinggal Di Bekasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Antara Bau Kolonial dan Sikap Kolonial yang Sebenarnya

15 Agustus 2024   07:22 Diperbarui: 15 Agustus 2024   12:21 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bau-baunya kolonial, selalu saya rasakan setiap hari. Dibayang-bayangi (masa kolonial)," itulah kata kata Presiden Jokowi, yang disampaikan saat memberikan pengarahan kepada para kepala daerah se-Indonesia di Istana Negara Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur.

Kata-kata Presiden Jokowi tersebut, tak pelak mendapat tanggapan yang beragam. Ada yang kontra ada juga yang pro. Dan bisa ditafsirkan bahwa semangat itu pula yang telah mendorong presiden Jokowi  membangun Ibu Kota Nusantara atau IKN, untuk menggantikan istana Negara  di Jakarta. Istana Negara warisan penjajah Belanda. Meski kondisi keuangan negara sedang tidak baik baik saja. Dan pro kotra pendapat itu hanya kembali menyegarkan ingataan  tentang arti dari bau kolonial dan kolonialisme yang sebenarnya.

Di tengah perbincangan tentang kolonialisme dalam  sejarah, sering kali muncul istilah "bau kolonial" dan "sikap kolonial" yang menggambarkan warisan dan praktik-praktik yang masih terasa hingga kini. 

Meski keduanya berakar dari era penjajahan, penting untuk membedakan antara bau kolonial sebagai sisa-sisa budaya masa lalu dan sikap kolonial sebagai tindakan aktif yang memperpanjang dominasi dan ketidakadilan. Keduanya memiliki dampak yang berbeda dalam masyarakat modern, meskipun saling berkaitan.

Bau Kolonial 

Bau kolonial mengacu pada jejak budaya, simbol, dan tradisi yang diwariskan dari masa kolonial. Ini bisa berupa arsitektur kolonial, nama jalan yang berasal dari tokoh penjajah, atau penggunaan bahasa dan adat istiadat yang dibawa oleh para penjajah. 

Sebagai contoh, di beberapa negara bekas jajahan Eropa, seperti Indonesia, kita masih menemukan bangunan bersejarah dengan gaya kolonial, seperti istana presiden baik yang di Jakarta, maupun istana Bogor. 

Ada nama-nama  jalan yang diambil dari tokoh kolonial, atau bahkan sisa-sisa hukum yang diterapkan pada masa penjajahan. Ada jalan Daendels di dekat Pantai Selatan Jawa. Bahkan jalan Anyer-Panarukan  , sebetulnya juga dahulu dinamakakan jalan Daendels atau disebut juga jalan Pos.

Bau kolonial ini sering kali tidak disadari dan dapat dilihat sebagai bagian dari identitas nasional yang kompleks, meski beberapa pihak merasa perlu menghapus atau mengubahnya sebagai upaya dekolonisasi. Menghilangkan ingatan yang telah membawa luka dalam sejarah bangsa.

Bau kolonial sebenarnya tidak begitu urgent  untuk dihilangkan. Karena dia hanya bersifat fisik. Yang tak memiliki pengaruh yang signifikan, ketika sebuah bangsa telah memiliki jiwa Merdeka. 

Jiwa yang telah mengambil pelajaran penting dari Sejarah pahit kolonialisme, dan tidak akan membuat kesalahan yang sama, sehingga menjadi bangsa yang menjadi budak kolonislisme. Kolonialisme yang telah berganti wajah, tidak lagi berbentuk penjajahan fisik seperti jaman dahulu , tapi sudah menjajah dalam bentuk penjajahan pikiran atau pemahaman.

Istana Presiden di Jakarta maupun di Bogor, tidak serta merta membuat kita memilki jiwa kolonial. Karena bangunan istana itu, sebenarnya juga dibiayai dan dibangun oleh rakyat Indonesia. Karena Belanda dapat membangun istana itu, sebenarnya juga berasal dari mengumpulkan dan menguras kekayaan bangsa indonesia. Mereka hanya mendesain. Hal yang sama terjadi dengan pembangunan yang sekarang terjadi. Yang menggunakan tenaga-tenaga ahli dari Luar negeri.

Kolonialisme yang  Sebenarnya

Sikap kolonial yang sebenarnya lebih mengacu pada pola pikir dan kebijakan yang mempertahankan atau memperkuat ketidakadilan dan dominasi yang ada sejak zaman penjajahan. Sikap ini dapat terlihat dalam hubungan antara negara maju dan berkembang, di mana negara-negara kuat sering kali memberlakukan kebijakan yang merugikan negara-negara yang lebih lemah secara ekonomi atau politik. 

Contoh nyata dari sikap kolonial ini adalah eksploitasi sumber daya alam di Afrika oleh perusahaan-perusahaan multinasional Barat, yang seringkali melibatkan praktik-praktik tidak adil seperti upah rendah, perusakan lingkungan, dan kurangnya peraturan ketat yang melindungi hak-hak pekerja lokal.

Sikap kolonialisme dalam bentuk baru adalah pikiran para pemimpin negara yang dituangkan dalam bentuk kebijakan yang tidak mengutamakan bagi kemajuan dan kesejahteraan rakyatnya , itulah yang mendesak untuk dihilangkan. Termasuk di dalamnya kebijakan pemerintah yang mengejar kemajuan pembangunan fisik namun pembangunan sumber daya manusianya utama justru  ditelantarkan.

Banyak negara yang berhasil menjadi bangsa yang maju, karena kemampuan membangun sumber daya manusianya terlebih dahulu, baru kemudian mengejar pembangunan fisik. Dan tidak sedikit bangsa yang pembangunna fisiknya bagus namun pembangunan sumber daya manusianya tidak diutamakan, akhirnya bangunan fisik tadi menjadi karya yang tidak  menambah nilai justru sebaliknya menjadi beban suatu bangsa. Apalagi kalau bangunan fisik tadi bersumber dari hutang atau pinjaman dari negara lain atau Lembaga internasional.

Perbedaan mendasar antara bau kolonial dan sikap kolonial terletak pada intensi dan dampaknya. Bau kolonial, meskipun berakar dari masa lalu yang kelam, tidak selalu dimaksudkan untuk menindas atau mendominasi, melainkan sering kali merupakan warisan yang telah terintegrasi dalam masyarakat. 

Misalnya, banyak negara yang dulunya dijajah memilih untuk mempertahankan beberapa elemen budaya kolonial sebagai bagian dari identitas mereka, seperti penggunaan bahasa Inggris atau Perancis dalam pemerintahan dan pendidikan. Namun, ketika kita berbicara tentang sikap kolonial yang sebenarnya, kita membahas tindakan atau kebijakan yang secara aktif memperpanjang ketidaksetaraan dan eksploitatif, melanjutkan praktik-praktik yang pada dasarnya tidak adil.

Oleh karena itu, penting untuk membedakan antara bau kolonial sebagai warisan budaya yang bisa jadi netral atau bahkan dipandang positif dalam konteks tertentu, dengan sikap kolonial yang masih mempertahankan dinamika penindasan. 

Mengatasi bau kolonial bisa melibatkan langkah-langkah simbolis seperti penggantian nama jalan atau revisi kurikulum sejarah, tetapi mengatasi sikap kolonial membutuhkan upaya yang lebih dalam untuk mengubah kebijakan, pola pikir. 

Hanya dengan mengatasi kedua aspek ini, kita dapat benar-benar bergerak menuju masa depan yang lebih setara dan adil, di mana warisan kolonial tidak lagi menjadi beban bagi masyarakat sebuah bangsa.

Dan jangan sampai kita justru terjebak dalam kondisi ingin menghindari bau kolonial tapi justru sumber bau yang berupa sikap kolonialisme yang sebenarnya justru melekat dalam  diri dan bangsa ini yang menjelma menjadi sikap dan kebijakan yang tidak menguntungkan rakyat tapi justru semakin menyengsarakan rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun