Menjelang penghujung tahun 2011, situasi memanas. Ada pertikaian antara polisi dan warga. Tentunya, pertikaian tersebut tidak datang tanpa sebab. Karena ada pemantik, maka, muncullah pemukulan, penembakan, dan sebagainya. Sedih rasanya telinga ini mendengar dan ngeri rasanya mata ini melihat peristiwa semacam itu terjadi. Padahalnya, pada waktu itu, tahun baru yang identik dengan suka cita akan tiba. Jika dipikirkan, bagaimana mungkin kebahagiaan dapat dialami secara bermakna mengingat ada peristiwa menyayat hati terjadi.
Peristiwa penghujung tahun 2011 di mana terjadi pertikaian antara polisi dan warga, adalah peristiwa pencederaan terhadap nama. Nama, di sini, bukan hanya menyangkut nama sebutan diri ini tetapi juga berkaitan dengan aktualisasi diri: peran yang dijalankan oleh setiap orang. Contoh saja, seseorang dipanggil "guru" oleh muridnya. Sebutan "guru" menunjukkan bahwa pribadi guru tersebut mempunyai cara hidup sebagai guru. Singkat kata, kalau guru tersebut malas atau menjiplak karya orang lain, tentunya, ia tidak pantas dipanggil guru. Guru tersebut tidak hidup dalam namanya.
Polisi dan Warga adalah nama-nama yang ada di masyarakat. Masing-masing mempunyai peran yang dijalankan. Idealnya, peran-peran ini saling menunjang. Mengapa? Polisi adalah warga. Anggota Polisi adalah warga yang memilih peran sebagai Polisi: agen yang secara khusus, menjaga keamanan. Sementara itu, warga adalah agen yang membutuhkan keamanan sekaligus menjaga keamanan, setidaknya, secara masing-masing. Oleh karena itu, jika ada wacana yang bertajuk "Polisi vs Warga", sungguh menyedihkan.
Hiduplah sesuai dengan nama; sesuai dengan peran anda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H