Aktivitas buang sampah adalah kegiatan yang dilakukan masyarakat setiap hari. Semua benda yang tidak berguna ditumpuk dan dibungkus plastik atau dimasukkan dalam tong sampah. Kita lalu tidak peduli lagi sampah yang kita buang akan berakhir di mana.
Banyak diantara kita yang menganggapnya sepele karena merasa sudah menjaga kebersihan dengan tidak membuang sampah sembarangan. Jangan salah, sampah yang tidak dipilah bisa berdampak besar bagi lingkungan.
Sampah bisa mencemari tanah, air dan udara yang tentu saja akan berakibat tidak baik bagi manusia. Saat ini masalah sampah masih menjadi persoalan besar di Indonesia. Sampah yang dihasilkan masyarakat tak semua dapat dikelola. Alhasil penumpukan sampah di Tempat Pembuangan Sampah (TPS) akhir makin menggunung.
Laporan Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dari penginputan data yang dilakukan oleh 130 kabupaten/kota se Indonesia pada 2023, timbulan sampah lebih dari 17 juta ton/tahun.
Komposisi sampah berdasarkan sumbernya terbesar berasal dari rumah tangga, yakni 38 persen. Sedangkan komposisi sampah berdasarkan jenisnya, terbanyak adalah sampah organik, berupa sisa makanan dengan persentase 44 persen lebih disusul sampah anorganik berupa plastik di urutan kedua dengan persentase 18 persen.Â
Sampah organik cenderung basah, sebaliknya sampah anorganik cenderung kering. Apabila sampah ini bercampur, persoalan akan menjadi rumit. Sampah organik dan anorganik yang tercampur jadi biang keladi masalah, sebab akan membuat pengelolaan sampah menjadi sulit. Selain itu bisa menjadi sarang kuman, bakteri dan virus yang menyebabkan penyakit.Â
Sebaliknya, sampah pun bisa dimanfaatkan, misalnya untuk menghasilkan energi maupun menjadi sumber ekonomi apabila dapat dikelola dengan baik.
Saat ini pemerintah pusat maupun daerah terus berupaya untuk melakukan pengelolaan sampah untuk mengurangi persoalan yang ditimbulkan. Di antaranya dengan metode landfill mining, atau menambang sampah yang sudah membusuk terurai dari gunungan sampah. Gunanya untuk diolah menjadi bahan bakar atau diolah menjadi sumber energi listrik pada pembangkit listrik tenaga sampah.Â
Sampah organik yang membusuk dan terurai pada tumpukan sampah yang terpapar air hujan akan menghasilkan cairan, yaitu air lindi. Meskipun air lindi sangat berbahaya dan beracun, cairan itu dapat diproses menjadi biogas dan pupuk cair. Hal ini disebabkan karena air tersebut mengandung berbagai macam bahan organik, yaitu nitrat dan mineral.
Untuk mencegah pencemaran tanah air lindi dari tumpukan sampah dikelola melalui IPAS Instalasi Pengolahan Air Sampah. Namun pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) bisa berpotensi menimbulkan masalah baru.Â
Penyebabnya, pembakaran sampah pada alat insenerator PLTSa tidak efektif karena kondisi sampah yang dibakar tidak terpilah dengan benar. Pembakaran akan efektif jika yang dibakar benar-benar sampah kering anorganik. Sebaliknya, ketika pembakaran tidak sempurna, suhu tidak terjaga, maka yang keluar tidak hanya emisi saja tetapi juga berbagai racun.
Air lindi juga bisa diproses menjadi biogas dan pupuk cair karena mengandung berbagai macam bahan organik seperti nitrat dan mineral.Â
Tapi, pengolahan menjadi biogas dan pupuk cair ini juga akan jauh lebih sulit bila air lindi berasal dari campuran sampah organik dan anorganik. Air sampah tersebut justru akan mencemari tanah dan lingkungan dan sangat berbahaya karena mengandung racun dari zat kimia sampah anorganik.Â
Untuk mengurangi masalah sampah, maka persoalan perlu dibereskan sejak dari sumbernya. Masyarakat harus dibiasakan untuk memilah sampah yang mereka hasilkan. Langkah ini sangat efektif, tak perlu mengeluarkan biaya banyak, hanya butuh rasa peduli dan bisa dilakukan secara luas.
Memilah Sampah Rumah Tangga, Dimulai dari Keluarga Sendiri.
Indonesia punya target mengurangi sampah sebanyak 30 persen dan penanganan sampah sebesar 70 persen dari total timbunan sampah pada 2025. Menangani sampah mulai dari hulu jadi cara penting mengurai persoalan.Â
Menyadari hal ini, kita sebagai masyarakat yang setiap hari menghasilkan sampah, bisa ikut berpartisipasi dalam penanganan lingkungan dan keberlangsungan sumber energi. Dimulai dari hal sederhana yang berdampak besar. Seperti membudayakan memilah sampah organik dan anorganik di rumah.Â
Kita bisa membedakan tempat pembuangan sampah organik sisa makanan, dengan sampah anorganik seperti plastik, kaleng, kertas dan lain-lain, ataupun sampah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Misalnya menyediakan tempat sampah dengan warna berbeda. Tong warna hijau untuk sampah organik. Tong warna kuning untuk sampah anorganik. Tong warna merah untuk sampah yang mengandung B3.
Sampah organik berasal dari bahan yang bisa terurai secara alamiah. Contohnya sisa makanan hasil olahan, sayuran, daun dan lainnya. Pengelolaan sampah organik secara mandiri misalnya dengan menjadikan kompos. Sampah organik juga mempunyai potensi energi biomassa yang dapat kita konversikan menjadi energi, berupa biogas.
Sedangkan untuk sampah anorganik adalah sampah yang sukar terurai secara alami. Perlu proses penanganan khusus dan waktu yang lama untuk menghancurkannya. Selain bisa didaur ulang, sampah anorganik pun bisa diubah menjadi sumber energi alternatif. Contohnya, plastik menjadi bahan bakar minyak (BBM) dengan metode pirolisis, yaitu melibatkan pemanasan plastik pada suhu di atas 4.000 C tanpa oksigen.
Sementara itu sampah B3 contohnya barang elektronik, baterai, obat-obatan, kaleng bekas cat dan lain-lain. Memilah sampah di rumah tidak terlalu sulit asalkan kita bisa mengenali jenis-jenis sampah tersebut dan mensosialisasikan ke semua anggota keluarga di rumah.
Bank Sampah
Sampah tak melulu berakhir di PLTS tapi bisa di lingkup RW. Pengelolaan itu salah satunya dalam bentuk bank sampah. Bank sampah diharapkan mengurangi sampah di hulu.Â
Sampah anorganik di kumpulkan dan dijual. Sampah organik bisa dijadikan kompos. Sampah anorganik seperti botol bekas dan plastik yang sudah dipilah oleh masyarakat, diserahkan ke bank sampah. Apalagi saat ini makin banyak bermunculan bank sampah.
Di dekat tempat tinggal penulis yang beralamat di Jl Rawa Indah Kecamatan Marpoyan Damai Pekanbaru Keberadaan Bank sampah sudah berlangsung hampir 2 tahun, dimana bank sampah ini adalah bentuk binaan dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau.Â
Adapun nama Bank Sampahnya adalah Bank Sampah Berseri (Bersih, Sehat, Ramah, dan Indah). Kami sebagai warga dirumah masing-masing telah timbul kesadaran untuk memilah sampah rumah tangga kami. Bahkan terdata setidaknya ada 80 warga yang rutin menyerahkan sampahnya untuk dihargai di bank sampah.
Untuk keseharian penulis di rumah sekurangnya menyediakan 2 tempat sampah khusus terletak bergandengan di dapur, Â jadi anggota keluarga termasuk anak penulis sudah dibiasakan membuang sampah sesuai jenisnya, apakah sampah organik ataupun anorganik untuk sampah B3 tetap dipisahkan namun penulis sendiri tidak membuatkan tempat khususnya.
Setelah sampah anorganik penulis penuh, penulis akan mengantarnya ke bank sampah, untuk saat ini bank sampah di lingkungan tempat tinggal penulis menerima sampah plastik maupun kertas/ kardus dan juga sampah buangan seperti minyak jelantah.Â
Adapun tiap sampah dapat dihargai perkilo sekitar 600 - 1.000 rupiah. Nilai Rupiah dari setoran sampah ini dicatat layaknya seperti buku tabungan, boleh diuangkan langsung namun kebanyakan warga tempat tinggal penulis akan menabungnya dulu sampai nominal tertentu dirasa cukup banyak untuk diambil, rata-rata pertiga bulan mereka cairkan.
Dukungan Pemerintah dalam bentuk Bank Sampah ini, menimbulkan kesadaran positif bagi kita semua, karena memilah sampah adalah cara mudah yang bisa kita lakukan dalam menunjukkan kepedulian pada lingkungan dan keberlanjutan energi.Â
Kalau bukan kita yang melakukannya siapa lagi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H