Mohon tunggu...
aditian wijaya
aditian wijaya Mohon Tunggu... Administrasi - masih hidup dan berpikir

Di dunia yg pararel, menertawakan diri sendiri, bisa-bisanya masih hidup dan punya kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Gamifikasi Ojek Online dan Sengkarutnya GIG Ekonomi

6 Agustus 2023   10:26 Diperbarui: 13 Agustus 2023   13:57 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://unsplash.com/

Ada reportase menarik dari tim Project Multatuli mengenai Ojol, tulisannya bisa di lihat dsini https://bit.ly/dilemaojek. Insentif yang dibuat dalam bentuk gamifikasi adalah sebuah dilema namun skaligus menyibak sengkarutnya GIG Ekonomi, dia memberikan insentif bagi yang rajin dan dsaat yang sama sbuah pecutan bagi yang sebaliknya.  Insentif tidak ubahnya seperti bedak untuk menutupi wajah bopeng atas kondisi carut marut GIG ekonomi. Tanpa regulasi dan campur tangan pemerintah, GIG ekonomi tidak lain hanyalah sebuah perbudakan modern. Yang didalamnya tersebembunyi nafsu kapitalis dan inkompetensi pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja dengan upah minimum dan jam kerja yang layak.

Kembali pada gamifikasi ojol, memang pada dasarnya insentif ini mutlak diperlukan saat jumlah ketersediaan driver lebih sedikit dari jumlah permintaan. Banyak dari kita keliru saat mendefinisikan ketersediaan, saat kita melihat banyaknya ojol yang duduk ngemper di jalanan kita berkesimpulan bahwa jumlah driver lebih banyak daripada jumlah permintaan. Namun bukan itu arti dari ketersediaan, ketersedian bukan hanya berarti dari sisi ketersedian di setiap waktu namun juga ketersediaan berdasarkan persebaran lokasi, hal ini untuk memastikan agar pelanggan tidak menunggu terlalu lama atau dalam kata lain semuanya harus sesuai dengan standard layanan yang sudah ditentukan.

Permasalahannya adalah bagi seorang driver yang rajin, yang setiap hari disiplin ngojek, mereka ini butuh penghasilan yang konstan dan terukur. Mereka adalah kelompok  yang paling dirugikan bila jumlah order harian, naik turun secara serampangan hanya karena tiba-tiba di hari tertentu, jam tertentu,  atau di wilayah tertentu ada kenaikan jumlah driver. Dimana mayoritas driver ini adalah dari kelompok driver musiman. Kelompok driver yang hanya akan ngebid kalau pekerjaan utamanya sedang tidak baik-baik saja.

Disinilah gamifikasi menjadi solusi temporer, agar order yang masuk diprioritaskan untuk diarahkan ke kelompok driver yang rajin. Bila tidak ada gamifikasi maka efek bola salju akan mulai menggelinding. Kelompok driver yang rajin, akan berpikir dua kali untuk memberikan komitment waktunya sebagai ojol. Dan bila ini terjadi maka ketersediaan driver akan jatuh.

Maka berikutnya pelanggan yang dirugikan, ketersediaan ojek berkurang dan waktu tunggu lebih lama menyebabkan frustasi di sisi pelanggan. Sebagian konsumen akan melihat layanan Ojol tidak lagi mensolusikan problem mereka dan tidak butuh waktu lama bagi kelompok pelanggan ini untuk mengurangi jumlah ordernya dan menggantinya dengan alternatif lain.



Dan akhirnya Perusahan pun akan masuk sebagai korban berikutnya. Saat ketersediaan driver dan jumlah order yang kurang, maka sampai satu titik dimana bisnis ini sudah tidak feasible lagi untuk diteruskan dan dikembangkan, maka Perusahaan akan mundur teratur dengan mengutamakan deareh - daerah yang masih memberikan keuntungan. Namun yang jadi permasalahan utama adalah saat bisnis ojek online jatuh, dia tidak jatuh sendirian. Kejatuhan ojol akan menyeret bisnis makanan, barang, sepeda motor, dan ujungnya juga akan merambat ke bisnis kredit mikro (yang lagi2 merupakan satu ekosistem bisnis mereka).


Tentunya kita tidak mau ini terjadi, tapi disisi lain kita juga tidak ingin gamifikasi ini terus berlanjut. 

Distribusi order harus lah adil ke semua driver apakah itu yang rajin atau musiman, biarlah jarak dan juga rating pelanggan yang menentukan order ini harus diterima oleh siapa!!

Lalu opsi solusi apa yang kita miliki?  Kita paham saat ini total nilai order belum berimbang dengan jumlah driver. Kalau dibagi rata, maka setiap driver tidak akan pulang ke rumah dengan jumlah uang yang cukup dan belum lagi jam kerja yang tidak layak.

Maka salah satu opsinya adalah Pemerintah bantu dengan subsidi, insentive yang selama ini berupa prioritas order yang lebih baik untuk driver yang rajin, harus dirubah menjadi insentive tambahan berupa uang. Sehingga kelompok driver yang rajin tetap akan ngebid walau mungkin jumlah order akan berkurang karena tidak adanya lagi gamifikasi. 

Pemerintah tidak boleh lagi tutup mata dan duduk manis menikmati efek positif ekonomi digital yang hampir semuanya bertumpu pada kerja keras dan bakar modal dari pihak swasta. Modal ada batasnya dan beban frustasi ekonomi dari para driver sudah pada puncaknya. 

Dan bila pemerintah tetap tutup mata, maka kita perlu bersiap menunggu ledakannya, ledakan sosial dan ekonominya. Gojek & Grab sudah terlalu besar untuk gagal, sehingga pada akhirnya bila worst case terjadi maka pemerintah pun yang harus bail out mereka, BUMN atau APBN akan jadi korban. Subsidi ini harus di cicil dari sekarang, untuk memberi waktu ekosistem untuk bisa berkembang. Dan juga memberi waktu bagi konsumen untuk menumbuhkan nilai real pendapatannya karena pada akhirnya konsumen yang harus menanggung biaya platform, tentunya dengan harga atau tarif layanan yang lebih tinggi dari saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun