BAGIAN 1
Seminggu terakhir banyak skali tulisan mengenai start-up yang akhirnya harus lakukan PHK, narasinya adalah start-up selama ini hanya bisa berkembang karena bakar uang, model bisnisnya tidak berkelanjutan dan sebagainya. Belum lagi tulisan mengenai IPO Goto dan Bukalapak, yang fokusnya hanya pada "financial statements" semata. Pada akhirnya penulis pun bertanya dengan semua tulisan kritis yang beredar tentang model business startup, memangnya Indonesia bisa apa tanpa strategi bakar uang dr start up?
1. Ojek : kamu harus ikhlas digetok 20ribu untuk perjalan kurang dari 2KM bahkan pernah hanya kurang dr 1KM! Hn karena si ojek liat muka saya panik karena diburu waktu.
2.e-commerce: Yang selama ini dapat uang sebagai dropshipper, reseller, atau tukang kirim paket siap2 gigit jari, karena pengguna e-commerce angkanya ga substansial. Mana ada sih orang yang mau terjun ke bisnis yg volumenya ga ada, cuannya di mana??? Trus buat kita2 yang mengaku early adopters, yang sebulannya bisa lebih dari 5 checkout barang per bulan! Mungkin saat ini posisi kita seperti orang tua kita, yg baru sadar dan kegirangan karena ternyata skarang blanja cukup klak klik klak klik.
3. Go food/grab food: bayar sampai dgn 30% lbh mahal emangnya mau? Klak klik klak klik online food delivery hanya buat yg punya uang aja kali, buat orang kebanyakan?? Msh lbh suka nyalahin motor atau jalan 5 menit dan nunggu 15 menit di resto, kan lumayan bisa hemat 10-30ribu :). Beberapa resto keberatan karena potongan 20%, padahal mah 20% itu di bakar lagi sama Goto/Grab buat subsidi ongkir, blm lagi subsidi discount (saat jaman jaya2nya dulu mereka bs kasih diskon s.d 60% lho tanpa resto tanggung apapun!!). Tp ga bs dipungkiri kondisi bisnis model saat ini terlalu membebani resto dan ga mendidik konsumen juga untuk menghargai proses online food delivery yg memang ada biaya tambahan. Kita akan bahas detailnya nanti di tulisan berikutnya.
4. Online travel agent: Buat traveler yg dibayarin perusahaan menjadi beda banget, dulu masih bisa request ke travel agent untuk buat tiket dummy (agar bisa reimburse tanpa harus pergi, lumayan kan dapat SPPD hmmm....) skarang paling banter ya nikmatin point dr traveloka aja :). Klo buat traveler non bisnis, ya silahkan dateng ke ruko atau telp langsung travel agent, harganya? Ya terima aja yang ada, karena pasarnya adalah di tentukan oleh suply side. Slama ini OTA itu bakar fee yg mereka dapatkan dari maskapai dan akomodasi dan bahkan nombokin lagi agar harga bisa lebih murah, bahkan mereka nego lsg ke maskapai untuk tekan harga
Hal diatas adalah sebagain cerminan apabila kebijakan bakar uang nihil dilakukan. Bakar uang di digital economy sejatinya adalah mengenai upaya untuk menggeser perilaku transaksi offline masyarakat ke online secara instan dengan harapan saat perilaku sudah terbentuk subsidi bisa di turunkan dan angka demand secara umum terjaga karena masyarakat tidak bisa hidup tanpa semua kemudahkan yang diberikan oleh start-up yang BAKAR DUIT.
Jadi Indonesia bisa apa tanpa start-up bakar duit, ya ga bisa apa2. Kegiatan ekonomi masih akan di dominasi offline.
Bakar duit adalah fenomena global, ga bisa dihindarkan karena itu bagian dari skema kapitalis dengan end game pasar oligoloy.
Faktanya saat  ini kita diuntungkan, kalau mau hitungan kasar, rata2 per orang bisa diuntungkan lebih dari  1 juta per tahun dari diskon ongkir, diskon makanan/travel/ecommerce. Jadi selama itu bukan uang kita ga usah nyinyir lah, apalagi nyinyir kpd orang2 yang kerja di start-up. Dengan adanya investasi lsg dr VC ke Start-up, kualitas SDM kita meningkat pesat dan mereka itu ujung tombak reformasi Indonesia, itu juga seandainya pemerintah mau sadar dan rubah skema gaji PNS hhha.Â
Bagian kedua - Nyinyir tuh ke Pemerintah, sok2an ekonomi tumbuh padahal konsumsi tumbuh karena start-upnya bakar duitÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H