"Mendapatkan tindakan represif di atas jalan saat ia mengemukakan aspirasi dan luapan hatinya, itu adalah tragedi kemanusiaan. Tidak ada toleransi, tidak ada maaf. Apa dan siapa pun dia..."
Langit di beberapa kota hitam. Entah hitam karena hujan, atau tumpahan air mata yang kemudian mengendap ke awan. Siapa pun tentu bisa memprediksi apa yang terjadi beberapa waktu lalu, luapan emosi massa, kekerasan, hingga jatuhnya korban luka-luka. Massa berusaha mengekspresikan kecemasan hatinya akibat ancaman demokrasi yang tidak adil melalui regulasi Pilkada, negara-pun menanggapinya dengan pasukan bersenjata dalam jumlah besar. Entah ada apa, jika anak kecil melihat, tentu yang ada dibenaknya, seperti ada perang antara negara vs warganya.
Sampai tulisan ini saya buat, rasanya masih sulit bagi saya untuk mengurai akar masalah yang sebenarnya mengingat saya bukan seorang politisi/ilmuwan politik, bukan juga peramal/dukun yang bisa membaca alam pikir para pembentuk UU, hanya yang bisa diamati secara politik adalah, rezim saat ini (2019-2024) dalam beberapa tahun belakangan sangat gemar memproduksi regulasi non populis (tidak pro rakyat). Sebenarnya alam pikiran saya selalu berimajinasi, betapa sejuknya alam negeri ini, saat kekuasaan mengerti apa yang dikehendaki rakyatnya tanpa rakyat harus berteriak, parlemen menjadi tegas layaknya singa yang buas untuk menerkam kebijakan yang serba dzalim, dan rakyat yang teduh hidup dengan keluarganya penuh dengan cinta kasih tanpa ada kekhawatiran finansial dan kelaparan.
Dalam keadaan seperti itu saya membayangkan, tidak perlu uang Miliyaran dan energi yang berlebihan untuk merawat intrik-intrik kekuasaan melalui agenda-agenda tertentu. Kebijakan yang pro rakyat, rakyat yang sejahtera dan bahagia, maka tentu falsafah Pancasila akan tertanam baik dalam dada dan kepala setiap manusia. Tapi itu hanya imajinasi/utopia, saat mata sadar terbangun, realitas menunjukkan lain!
Saya selalu berdiri pada sikap yang sama seperti pakar hukum, masyarakat, mahasiswa dan elemen-elemen lainnya yang menaruh atensi terhadap ambivalensi (perasaan bertentangan) pada demokrasi di negeri ini. Khusus secara pribadi, sedari duduk di bangku kuliah S1 dulu, isu demokrasi pada sektor pembentukan Undang-Undang cukup sering menguras perhatian saya. Atas dasar itulah hingga saat ini saya cukup sering melakukan penelitian seputar Hukum Tata Negara (HTN) pada isu-isu kontemporernya. Namun, tulisan ini bukan untuk mengulas hal ini.
Beberapa hari ini, saya cukup banyak dimintai komentar baik oleh rekan-rekan sejawat, junior dan pihak-pihak lainnya mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada aksi peringatan darurat belakangan ini. Oleh karena itu dalam tulisan ini, saya hendak memberi komentar sedikit tentang ‘apa yang terjadi belakangan ini, dan bagaimana ke depan?’.
Sajian Dinasti Politik dalam Tubuh Yudikatif dan Legislatif
Pertama, apa yang terjadi dalam kurun waktu belakangan ini? Dinasti Politik. Ini adalah titik kulminasi (titik puncak) dari rusaknya Demokrasi yang sebenarnya sudah harus disadari sejak menjelang akhir tahun 2023, saat itu lahir Putusan Mahakamah Konstitusi (MK) Nomor 90. Ya, putusan ini memberikan kesempatan masuknya Anak Presiden yang belum memenuhi ambang batas usia 40 Tahun sesuai UU Pemilu. Di sisi lain, hal ini menunjukkan jika mesin partai politik tidak berhasil menjalankan rekrutmen yang ideal berbasis pada kaderisasi dan ideologi Partai.
Ditambah lagi, lembaga negara seperti yudikatif disorientasi dengan mengambil peran menjadi pembentuk norma yang mematikan unsur produk hukum (UU Pemilu) meski telah memberikan tekanan dan komando penormaan yang jelas dan konkrit terkait ambang batas Usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden yakni 40 Tahun. Akibat putusan MK, partai politik seperti berlomba-lomba memanfaatkan elektabilitas Anak Presiden dan seakan menunjukkan paling demokratis dalam menjalankan rekrutmen, meskipun kenyataanya jauh panggang dari api. Bungkusnya demokratis, namun tindakannya sangat elitis dan pragmatis.
Kedua, terdapat kecendrungan pola yang sama dari Putusan MK No. 90 dengan Putusan Mahkamah Agung (MA) No.23 P/HUM/2024 tentang pengujian Regulasi Pilkada dalam PKPU. Putusan  MA ini mengubah pemaknaan PKPU yang telah ketat mengatur ambang batas Usia Calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah khusus saya soroti untuk Pilkada Provinsi adalah 30 Tahun untuk Cagub dan Cawagub, dan kriteria ini menjadi syarat 'penetapan Calon', kemudian Pasca Putusan MA beralih batas usia terhitung pada saat 'pelantikan'. Putusan ini banyak dikaitkan dengan wacana memuluskan Anak Presiden lainnya yang belum genap 30 Tahun untuk dapat mencalonkan diri sebagai Cagub/Cawagub.