Red square kini diselimuti salju tebal. Lapangan yang berwarna merah itu sedang tidak menampakkan kemerahannya karena tertutup kilaunya salju putih. Ismail hanya duduk memandangi lapangan yang dulu menjadi simbol kemegahan pasukan komunis Uni Sovyet itu dari dalam kaca mobilnya. Ayahnya, Safik berkonsentrasi mengendarai mobil Lada tua miliknya, membawa serta keluarga kecil ini ke sebuah kota besar. Bukan sembarang kota, tapi ibukota negara Rusia, Moskow.
Dihadapannya, berdiri angkuh bangunan tinggi berkepala bawang bombay. Komplek Kremlin ini memang sebuah fenomena dan manifesto dari kejayaan komunis. Peninggalan yang masih tersisa sebagai saksi bisu dari sebuah ideologi yang kini usang. Ideologi ini memang terdengar menjanjikan harapan, terutama bagi kaum pekerja, walaupun kemudian paham ini menjadi bergerak terlalu liar merambah ke ranah keingkaran terhadap eksistensi Sang Pencipta dan pengkultusan tokoh yang menjadi "imam" sekaligus pemakmuran segelintir kelompok juga disinyalir menjadi kegagalan komunisme.
Dagestan bukanlah kota dimana seorang bisa berjalan-jalan di taman pada sore hari, atau menikmati roti khas Rusia sambil duduk di kafe. Di kota sebelah tenggara Moscow itu, nyawa sesorang terancam kapan saja. Penembakan, penusukan, penculikan bukanlah hal aneh di wilayah bagian selatan Rusia ini. Safik, yang selama 5 tahun belakang hidup bersama keluarganya di daerah bergejolak tersebut, kini bisa bernafas lega. Moskow, walaupun bukanlah kota yang familiar buatnya, setidaknya memberi rasa aman baginya. Untuk saat ini, land of opportunity. Begitulah harapnya.
Pekerjaan sebagai buruh penambang di pertambangan emas bukanlah pekerjaan yang bisa dibanggakan. Upah harian 30 rubel hanya berkategori cukup, tidak lebih dan tidak kurang. Bahkan bisa dibilang kurang kalau perusahaan tempatnya bekerja sedang sepi proyek. Dirumahkan tanpa uang sepeserpun adalah hal yang harus dia terima. Sebenarnya Safik bercita-cita sebagai pesepakbola. Tumbuh melihat Lev Yashin bermain memotivasinya untuk menggeluti sepakbola. Tapi keadaan ekonomi yang tidak pernah pasti dan pendudukan dari pasukan Rusia membuatnya harus mengubur dalam-dalam cita-citanya. Pendudukan militer membuat kesempatan penduduk daerah pendudukan menjadi sangat terbatas.
Untuk menambah penghasilan, Safik bermain bola. Dengan mengandalkan kemampuannya mengolah si kulit bundar, dia sering menjuarai turnamen internal perusahaan atau kadang-kadang turnamen diluar perusahaan. Kepiawaiannya sebagai playmaker sudah terkenal. Kemampuannya dia turunkan kepada Ismail, putra sulungnya. Ismail tumbuh menyaksikan Alexandr Mostovoi, Valery Karpin dan Andrei Kanchelkis bahu membahu menyokong Beruang Putih menancapkan kukunya di kancah persepakbolaan Eropa.
Masa kecil Ismail dihabiskan di daerah konflik. Pernah suatu ketika sedang bermain bola, rentetan Kalishnikov dan ledakan hand grenade membahana. Ismail kecil yang baru akan mencetak gol dibuat terpana dan gelap. Setelah terbangun di pangkuan ibunya, Dinara, dia hanya mendapati cerita 3 orang kawan bermain bolanya tewas.
Peristiwa traumatik yang membekas itu sempat membuatnya berhenti bermain bola. Bukan karena dia takut, tapi karena ibunya mati-matian melarangnya. Tapi karena sepakbola sudah mengalir dalam darahnya, pembangkangan tak terhindarkan. Diam-diam Ismail masih sering bermain bola. Sepulang sekolah ataupun pada jam istirahat sekolah. Itupun jika keadaan aman. Kiprah Rusia di Euro 2008 Austria-Swiss hingga ke semifinal menjadi inspirasi buatnya.
Ismail kini sudah berusia 18 tahun. Di kota Moscow kini dia berharap melanjutkan cita-citanya. Cita-cita ayahnya yang direnggut paksa oleh perang. Dia ingin bermain di Euro 2012!
@aditchenko
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H